Kepercayaan Pekerja Terhadap Pemerintah Turun
Utama

Kepercayaan Pekerja Terhadap Pemerintah Turun

Pemerintah dinilai gagal jembatani kepentingan pekerja dan pengusaha.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Demonstrasi bentuk ketidakpercayaan pekerja terhadap pemerintah. Foto: SGP
Demonstrasi bentuk ketidakpercayaan pekerja terhadap pemerintah. Foto: SGP

Hubungan industrial yang harmonis membutuhkan komunikasi yang baik antar pemangku kepentingan yaitu pemerintah, pekerja dan pengusaha. Jika tidak, kepercayaan salah satu pihak kepada pihak lain bisa menurun.

Menurut Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar, komunikasi itu dapat dikatakan sebagai dialog sosial. Dalam dialog sosial, yang pertama adalah membangun kepercayaan diantara pelaku hubungan industrial. Namun, beberapa tahun terakhir, khsususnya di masa kepemimpinan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemnakertrans) oleh Muhaimin Iskandar, Timboel merasa tingkat kepercayaan itu cenderung menurun.

Komunikasi yang dibangun, kata Timboel, terkesan hanya formalitas. Ujungnya, pemerintah tidak mampu menjembatani kepentingan para pihak, khususnya pekerja dan pengusaha. Sehingga, pekerja kerap menempuh jalan lain dalam memperjuangkan kepentingannya, lewat demonstrasi atau mogok kerja. Di era Muhaimin Iskandar, mekanisme perjuangan itu sering ditempuh pekerja. “Pemerintah gagal membangun kepercayaan diantara para pelaku hubungan industrial,” katanya kepada hukumonline di Jakarta, Sabtu (2/11).

Timboel mencatat sejumlah tindakan pemerintah yang membuat tingkat kepercayaan pelaku hubungan industrial menurun. Misalnya penerbitan Inpres No. 9 Tahun 2013 tentang Kebijakan Penetapan Upah Minimum, dan Permenakertrans No. 7 Tahun 2013 tentang Upah Minimum. Juga lemahnya penegakan hukum ketenagakerjaan, belum selesainya peraturan pelaksana BPJS dan belum dilakukannya proses verifikasi serikat pekerja secara obyektif.

Timboel melihat pemerintah belum mampu membangun hubungan industrial yang berkeadilan. Kepentingan pekerja selalu berada di bawah pengusaha dan menuntut pekerja untuk peduli terhadap eksistensi operasional industri. Pemerintah tidak mampu mendorong kemajuan industri nasional. “Buruh dipaksa menjadi korban atas ketidakmampuan dan kegagalan pemerintah mendukung industri nasional,” ujarnya.

Kegagalan pemerintah dalam menjembatani kepentingan pelaku hubungan industrial menurut Timboel juga terlihat dalam penetapan upah minimum. Misalnya di DKI Jakarta, besaran kebutuhan hidup layak (KHL) yang ditetapkan hanya Rp2.299.000 dinilai tidak sesuai dengan harga sesungguhnya di pasar. Akibatnya, upah minimum di Jakarta dipatok rendah, Rp2.442.000, naik 9 persen ketimbang tahun lalu. Kenaikan sebesar 9 persen itu menurut Timboel tergolong rendah jika dibandingkan daerah lain.

Timboel berharap Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo atau dikenal dengan Jokowi tidak terburu-buru menetapkan upah minimum walau Inpres No. 9 Tahun 2013 mengamanatkan agar upah minimum ditetapkan pada 1 November. Jika mengikuti regulasi itu, maka Jokowi menihilkan inflasi bulan November dan Desember 2013. Jokowi didesak untuk mengkaji penetapan upah minimum baik formil atau materil. Sebab, secara formil penetapan upah minimum Jakarta tidak disepakati secara quorum oleh Dewan Pengupahan Daerah DKI Jakarta karena unsur pekerja ditinggalkan.

Tags:

Berita Terkait