AMAN Konsultasikan RUU Perlindungan Masyarakat Adat
Berita

AMAN Konsultasikan RUU Perlindungan Masyarakat Adat

Sinkronisasinya dengan RUU Pertanahan dan RUU Desa tidak mudah.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Konsultasi publik RUU Pengaduan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat di Jakarta, 27 November 2013 (Foto: MYS)
Konsultasi publik RUU Pengaduan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat di Jakarta, 27 November 2013 (Foto: MYS)

RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat sudah ditetapkan sebagai salah satu usul inisiatif DPR. Presiden juga sudah menunjuk empat kementerian mewakili pemerintah dalam proses pembahasan, yakni Kementerian Kehutanan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Berdasarkan salinan dokumen yang diperoleh hukumonline, RUU Perlindungan Masyarakat Adat terdiri dari 58 pasal.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), salah satu pemangku kepentingan langsung dengan RUU ini, telah beberapa kali meminta masukan masyarakat adat di berbagai daerah. Terakhir, AMAN melakukan konsultasi publik atas RUU itu di Jakarta, Rabu (27/11). Sekretaris Jenderal AMAN, Abdon Nababan, mengatakan kehadiran suatu Undang-Undang yang melindungi masyarakat adat sudah dinantikan selama bertahun-tahun.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960, yang dikenal sebagai Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), mengenal hak ulayat. Pengakuan ini merupakan wujud nyata pengakuan terhadap masyarakat adat. Pengakuan semakin kuat setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan status hutan adat dalam putusan No. 35/PUU-X/2012. RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat – RUU Perlindangan Masyarakat Adat-- adalah upaya menuju pengakuan yang lebih kuat.

Namun diakui Abdon, menyelesaikan RUU itu tidak mudah. Pada saat yang sama DPR juga menerima RUU Desa dan RUU Pertanahan. Sebagian materi ketiga RUU ini bersinggungan. Ada materi RUU Perlindungan Masyarakat Adat yang filosofinya berbeda dengan yang lain. “RUU ini belum sinkron dengan RUU Desa dan RUU Pertanahan,” kata Abdon dalam acara konsultasi publik tersebut.

Salah satu yang mendasar adalah cakupan masyarakat adat. RUU Desa mengenal sebutan desa adat, yang membagi masyarakat adat ke dalam desa sebagai kesatuan pemerintahan terendah. Padahal masyarakat adat biasanya bermakna lebih luas, tak terbatas pada desa-desa. Dengan RUU Pertanahan, perbedaan terletak antara lain pada cara pandang mengenai sertifikasi lahan. Bagi masyarakat adat, tanah adalah milik komunal yang diwariskan terus menerus pada komunitas.

Belum lagi persoalan lahan yang diklaim sebagai tanah adat, tetapi bersinggungan dengan izin-izin atau Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan perkebunan. Abdon berharap ada jalan keluar terhadap masalah ini, termasuk kemungkinan renegosiasi yang difasilitasi mediator antara masyarakat adat dengan perusahaan pemegang izin.

Mina S Setra Deputi II Advokasi Hukum dan Politik AMAN menambahkan upaya mendorong RUU Perlindungan Masyarakat sudah dilakukan sejak beberapa tahun lalu. Dalam proses penyusunan naskah akademik, misalnya, AMAN telah mengundang banyak pihak dan melibatkan beberapa wakil daerah. Berdasarkan naskah itulah disusun naskah, yang kemudian diserahkan ke Badan Legislasi DPR

Cuma, Mina belum tahu persis apakah RUU ini akan dibahas dalam waktu dekat atau tidak. Yang jelas, Presiden SBY sudah menunjuk empat wakil pemerintah. “Belum dapat info kapan akan dibahas,” ujarnya di acara yang sama.

Tags:

Berita Terkait