Urusan Gedung di Ruang Hukum
Catatan Akhir Tahun 2013:

Urusan Gedung di Ruang Hukum

Menyewa ruangan dalam gedung membutuhkan kejelian menyusun perjanjian.

MYS/RFQ/HRS
Bacaan 2 Menit
Urusan Gedung di Ruang Hukum
Hukumonline
Di kota-kota padat penduduk seperti Jakarta, pemakaian gedung atau sewa menyewa ruangan di dalam gedung bisa menimbulkan persoalan. Sebabnya bisa beragam, mulai dari status kepemilikan hingga uang sewa. Nilai pemanfaatan gedung dan ruangan memang sangat tinggi di kawasan perkotaan, apalagi yang masuk kawasan bisnis. Sebutlah perkantoran di seputar Jalan Sudirman, Jalan MH Thamrin, dan Jalan HR Rasuna Said di Jakarta.

Sistem BOT (build, operate, transfer) sering menjadi pilihan pembangunan gedung. Pemilik lahan memberikan kesempatan kepada pemilik modal untuk membangun gedung tertentu, mengoperasikannya dalam jangka puluhan tahun, lalu mengembalikan kepada pemilik lahan. Hak kepemilikan gedung beralih. Mekanisme BOT bisa menimbulkan sengketa bukan hanya antara pemilik lahan awal dengan pemilik modal yang membangun gedung, tetapi juga dengan penyewa ruangan. Masalah hukumnya bisa pelik dan baru selesai bertahun-tahun.

Tengoklah kasus gedung BRI II di Jalan Sudirman Jakarta. Perseteruan antara Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Dana Pensiun BRI dengan PT Mulia Persada Pacific (MPPC) sudah berlangsung bertahun-tahun. Gugatan BRI berkaitan dengan perjanjian BOT yang diteken para pihak pada 11 April 1990. MPPC berhak mengoperasikan gedung dan wajib menyerahkannya dalam jangka waktu 30 tahun.

BRI menuding MPPC tak menjalankan kewajiban membangun gedung BRI III. Sejak 1994 pihak BRI terus mengingatkan, bahkan menggelar rapat belasan kali dengan MPPC. Nyatanya pertemuan-pertemuan tersebut tak berhasil meredam perseteruan hingga masuk ke ruang pengadilan.

Perseteruan kedua belah pihak terus menapaki setiap tingkat pengadilan. Hingga akhirnya pada 24 Juli 2013 lalu Mahkamah Agung memutus pada tingkat Peninjauan Kembali (PK). Dalam amar putusan PK, majelis menghukum MPPC untuk menyerahkan gedung BRI II, gedung parkir dengan seluruh fasilitas yang ada beserta hak pengelolaannya kepada BRI melalui Dana Pensiun BRI.

Pada Oktober lalu, pihak BRI sudah mempublikasikan pengumuman itu untuk melindungi kepentingan para pihak. Terutama para penyewa (tenant). Para penyewa tetap dapat melakukan kegiatan tetapi tidak boleh melakukan tindakan hukum tanpa seizin BRI atau Dana Pensiun BRI.

Putusan PK itu membuat MPPC meradang. Frederich Yunadi, pengacara MPPC, menuding putusan PK batal demi hukum. Ia beralasan jaksa tak bisa menangani atau menjadi pengacara negara untuk BUMN. Sesuai UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, kekayaan BUMN terpisah dari kekayaan negara, sehingga jaksa tak bisa menjadi pengacara BUMN. “Putusan itu batal demi hukum,” ujarnya kepada hukumonline.

MPPC  juga melaporkan majelis hakim yang memutus perkara PK – I Made Tara, Abdul Manan, Soltoni Mohdally—ke Komisi Yudisial dan Badan Pengawasan Mahkamah Agung.

Kepala Divisi Hukum BRI, Hadi Susanto, mengaku tak gentar atas pengaduan itu. “Kalau mereka mau lapor, ya kami hadapi saja,” kata Hadi lewat sambungan telepon. Hingga akhir tahun 2013, tindak lanjut pemeriksaan majelis hakim agung di Komisi Yudisial tak terdengar gaungnya.

Sewa ruangan
Urusan gedung yang juga bermuara ke ranah hukum biasanya berkaitan dengan sewa menyewa ruangan. Salah satu kasus yang sudah diputus Mahkamah Agung adalah sewa ruangan untuk kantor advokat Andrey Sitanggang.

Andrey pernah berseteru dengan PT Bumi Daya Plaza, pengelola gedung di Jalan Imam Bonjol yang lazim disebut Plaza BBD. Keduanya berseteru mengenai pelaksanaan Perjanjian Sewa Menyewa Ruangan tertanggal 8 Maret 2004. Perjanjian itu telah ditambahkan atau direvisi, terakhir dengan Addendum II tertanggal 11 April 2005. Sesuai perjanjian Andrey menyewa ruangan seluas 261 meter persegi di lantai lima Plaza BBD dengan masa sewa hingga 14 April 2006. Biaya sewa per triwulan adalah Rp68.904.000.

Ketika masa kontrak habis belum, Andrey mengirimkan surat yang memberitahukan keinginan untuk memperpanjang sewa. Pemberitahuan itu diatur dalam kontrak, dan seharusnya Andrey mendapatkan hak prioritas. Namun pihak mengelola menyatakan lewat surat tak bisa memperpanjang sewa oleh Andrey.

Andrey menilai tergugat tak beriktikad baik karena tak memberi penjelasan tentang alasan penolakan perpanjangan sewa. Apalagi penggugat sudah mengeluarkan banyak biaya untuk renovasi ruangan. Menilai pengelola gedung wanprestasi, Andrey melayangkan gugatan ke PN Jakarta Pusat dan meminta ganti rugi materiil dan immateriil. Di Pengadilan, pengelola BBD Plaza menggugat balik Andrey karena masih menempati kantor.

PN Jakarta Pusat menolak seluruh gugatan Andrey; sebaliknya mengabulkan sebagian gugatan rekonvensi pengelola gedung. Hakim tingkat banding menguatkan putusan terdahulu.

Andrey terus mengajukan upaya hukum. Sesuai salinan putusan yang dilansir laman resmi Mahkamah Agung, majelis hakim PK akhirnya menolak permohonan PK tersebut. Alasannya, judex juris tidak melakukan kekhilafan atau kekeliruan yang nyata dalam memutus perkara karena judex facti sudah mempertimbangan substansi perkara dengan benar.

Andrey menyayangkan putusan itu karena merasa dirinyalah yang dirugikan. Haknya sebagai penyewa prioritas sudah didahului dengan pemberitahuan. “Hak saya sebagai penyewa adalah untuk memperpanjang asalkan saya memberitahukan sebelumnya,” tutur Andrey kepada hukumonline.

Kalaupun misalnya pengelola gedung hendak menaikkan sewa, Andrey melanjutkan, masalah itu bisa dibicarakan baik-baik dengan tenant. Meski mengaku akan taat pada hukum, putusan majelis PK tetap dinilai Andrey tidak adil.

UU Bangunan Gedung
Adil atau tidak, tentu hakimlah yang memutuskan jika ada perkara masuk pengadilan. Kalaupun tidak ada, regulasi yang ada sebenarnya mencoba memberikan keadilan kepada semua pihak dalam pengelolaan gedung. Termasuk menjamin aksesibilitas kepada penyandang disabilitas. Kewajiban itu berlaku baik kepada pengelola maupun kepada penyewa.

UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung menegaskan setiap pemilik atau pengguna yang tidak memenuhi kewajiban pemenuhan fungsi, persyaratan, atau penyelenggaraan bangunan gedung dikenai sanksi administratif dan sanksi pidana.

Sekarang, cobalah lihat apakah semua gedung pencakar langit di Ibukota dan di kota-kota besar lain di Indonesia sudah memenuhi kewajiban fungsi, syarat dan penyelenggaraan bangunan sesuai UU No. 28 Tahun 2002. Bisa jadi, Anda akan menemukan banyak catatan pada penghujung tahun 2013…
Tags: