Anak Baru Lahir Otomatis Peserta BPJS Kesehatan
Berita

Anak Baru Lahir Otomatis Peserta BPJS Kesehatan

Menteri Kesehatan berjanji membenahi pelaksanaan BPJS. Ada usulan tambahan anggaran 400 miliar.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Anak Baru Lahir Otomatis Peserta BPJS Kesehatan
Hukumonline
Menteri Kesehatan (Menkes), Nafsiah Mboi, mengakui pemerintah masih menghadapi tantangan dalam pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang digelar lewat BPJS Kesehatan. Menanggapi berbagai persoalan yang ada, secara umum Nafsiah berjanji kementerian yang dipimpinnya akan terus melakukan penyempurnaan dengan melibatkan banyak pihak.

Salah satu langkah yang ditempuh adalah menerbitkan Surat Edaran yang pada intinya menyebutkan anak yang baru lahir dari pasangan peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) otomatis menjadi peserta BPJS Kesehatan. Mekanisme ini dipakai hingga ada data jelas dari Kementerian Sosial karena kementerian inilah yang menentukan jumlah pasti peserta PBI.

Dari sisi anggaran, Kemenkes telah mengajukan anggaran khusus buat anak panti asuhan, anak terlantar, penghuni lapas/rutan dan gelandangan, Jumlahnya sekitar Rp400 miliar, yang diusulkan pada APBN Perubahan Tahun 2014. Cuma, Nafsiah mengakui usulan anggaran itu belum disetujui DPR secara resmi. Untuk mengatasi persoalan dana ini, Nafsiah mengusulkan solidaritas sosial digalakkan.

Tetapi dukungan tambahan anggaran sudah datang dari Senayan. “Komisi IX DPR RI mendukung anggaran sebesar Rp400 milyar untuk membiayai kepesertaan penghuni panti, anak terlantar, gelandangan dan pengemis, untuk diajukan dalam APBN-P tahun anggaran 2014,” kata Ketua Komisi IX, Ribka Tjiptaning. Dukungan itu salah satu kesimpulan rapat kerja.

Solidaritas sosial itu dapat dihimpun lewat dana bantuan sosial yang ada di Rumah Sakit (RS), CSR (coporate social responsibility) dan zakat mal. Tapi Nafsiah berjanji akan memperjuangkan agar dana sebesar Rp400 milyar itu dapat disetujui dan segera dikucurkan. “Kami akan coba ajukan lagi dalam APBN-P,” katanya dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR, Senin (27/1).

Selagi mengupayakan anggaran tersebut Nafsiah menekankan kepada RS dan fasilitas kesehatan lainnya untuk tidak menolak pasien yang membutuhkan pelayanan kesehatan. “Instruksi kami jelas, RS tidak boleh menolak pasien,” tegasnya.

Soal peserta BPJS Kesehatan yang dibebani biaya obat, pelayanan darah dan lainnya Nafsiah menekankan bahwa sesuai ketentuan yang ada peserta tidak dibebani tambahan biaya. Sebab, iuran yang dibayarkan peserta sudah mencakup berbagai pelayanan kesehatan yang diberikan. Hal itu telah ditegaskan dalam peraturan yang baru saja diterbitkan. Jika masih ada peserta yang diminta biaya tambahan maka fasilitas kesehatan yang bersangkutan akan diberikan teguran.

Nafsiah juga mengatakan sudah menerbitkan Surat Edaran No. 32 Tahun 2014 untuk mengatasi masalah rujukan berulang-ulang untuk penyakit yang sama. Peserta hanya sekali melakukan rujukan sampai dirujuk balik ke fasilitas pelayanan pertama seperti Puskesmas, dokter keluarga dan klinik. Surat Edaran No. 32 Tahun 2014 itu juga mengatur agar peserta berpenyakit kronis bisa mendapat obat untuk satu bulan.

Mengenai tarif INA-CBGs, Nafsiah mengakui masih ada beberapa tarif untuk diagnosis penyakit tertentu yang belum sesuai dengan biaya sesungguhnya yang dikeluarkan RS. Oleh karenanya sampai saat ini masih dilakukan rapat secara intensif agar tarif INA-CBGs disesuaikan dengan standar keekonomian.

Sayang, tarif INA-CBGs belum dipahami secara baik oleh RS dan tenaga medis. Untuk mengatasi masalah itu Nafsiah menyebut Kemenkes bersama pihak terkait seperti BPJS Kesehatan dan organisasi profesi terus-menerus melakukan sosialisasi INA-CBGs. Nafsiah mendengar tuntutan agar diatur standarisasi jasa pelayanan dari program JKN. Tuntutan itu sampai saat ini masih dalam proses. Kemenkes sedang menyiapkan aturan jasa pelayanan di fasilitas kesehatan tingkat pertama sebesar 40-60 persen dari penerimaan, dan tingkat lanjutan jasa pelayanan sebesar 35-45 persen.

Organisasi profesi medis menurut Nafsiah juga mengharapkan insentif. Sampai sekarang hal tersebut masih dikaji Kemenkes karena variasinya sangat besar. Misalnya, Bupati di sebuah kabupaten memberikan insentif yang cukup tinggi kepada dokter umum dan spesialis. Tapi ada Bupati di suatu wilayah yang tidak memberikan insentif apa-apa.

RS pun mengeluh karena belum ada kejelasan tentang tarif dasar ambulan. Menurut Nafsiah hal itu telah diatur dalam SE yang diterbitkan Januari 2014. Ketentuan itu pada intinya mengatur penggantian biaya ambulan sesuai dengan standar biaya yang ditetapkan pemerintah daerah (Pemda). Jika Pemda belum menetapkan tarif dasar ambulan maka mengacu pada standar biaya yang berlaku pada daerah dengan karakteristik sama.
Tags:

Berita Terkait