Menakertrans Berniat Bentuk Pokja Outsourcing
Berita

Menakertrans Berniat Bentuk Pokja Outsourcing

Melibatkan serikat pekerja dan asosiasi pengusaha.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Menakertrans Berniat Bentuk Pokja Outsourcing
Hukumonline
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) berniat  membentuk kelompok kerja (pokja) outsourcing yang melibatkan unsur pengusaha dan pekerja yang tergabung dalam Lembaga Kerjasama (LKS) Tripartit Nasional.

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Muhaimin Iskandar, mengklaim telah bersepakat dengan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sofyan Wanandi, pimpinan serikat buruh untuk membentuk pokja khusus yang menangani persoalan outsourcing atau alih daya. “Baik yang sifatnya kasus maupun penyempurnaan Permenakertrans pembatasan outsourcing," kata Muhaimin.

Muhaimin mengatakan pembentukan pokja khusus itu ditujukan untuk memfasilitasi aspirasi pengusaha dan pekerja dalam mengatasi berbagai permasalahan outsourcing yang muncul sejak pemberlakuan Permenakertrans No. 19 Tahun 2012 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain.

Salah satu faktor yang mendasari pembentukkan pokja adalah prokontra. Buruh menganggap Permenakertrans melahirkan ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK), sedangkan pengusaha menganggap pembatasan jenis pekerjaan outsourcing mengakibatkan inefisiensi. Muhaimin menargetkan Pokja itu terbentuk tahun ini dan dapat segera bekerja dalam empat bulan. Ia berharap Pokja bisa menjadi fasilitator pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja untuk membahas persoalan outsourcing.

Muhaimin juga mengimbau perusahaan outsourcing dan pengguna jasa pekerja di seluruh Indonesia melaksanakan aturan Ketenagakerjaan yang berlaku. Serta menghindari praktik-praktik yang menyimpang dari ketentuan. Jika melakukan pelanggaran, perusahaan outsourcing akan ditindak tegas dan diberikan sanksi. "Bagi perusahaan perusahaan outsourcing nakal dan melakukan pelanggaran terhadap norma dan ketentuan yang berlaku, maka pemerintah takkan segan-segan memberikan sanksi tegas berupa pencabutan izin operasional, " tegas Muhaimin.

Selain itu Muhaimin menambahkan dalam pelaksanaan hubungan kerja dengan menggunakan mekanisme outsourcing, perusahaan harus menjamin adanya keberlangsungan kerja. Kemudian terpenuhinya hak-hak pekerja seperti cuti, THR, ganti rugi, hak istirahat dan perhitungan masa kerja untuk penetapan upah.

Anggota LKS Tripartit Nasional dari unsur serikat pekerja, Said Iqbal, mengatakan pemerintah tidak perlu repot-repot membentuk pokja untuk mengatasi masalah pekerja alih daya. Sebab, dalam Permenakertrans Outsourcing disebut secara jelas bahwa penangguhan tidak boleh untuk kegiatan pokok dan inti produksi kecuali untuk lima jenis pekerjaan.

Lebih baik, lanjut Iqbal, Permenakertrans Outsourcing dijalankan secara konsisten dan dibarengi penegakan hukum yang tegas. Dengan begitu ketika ada perusahaan yang menggunakan Outsourcing di luar lima jenis pekerjaan yang ditentukan maka sanksi harus dijatuhkan. Baik administratif sampai pencabutan izin usaha.

Iqbal menilai masih banyak terjadi penympangan pada praktiknya di lapangan. Misalnya, perusahaan seolah-oleh melakukan outsourcing jenis pemborongan pekerjaan. Namun, pekerjaan itu dilakukan di pabrik yang sama dengan kegiatan perusahaan pengguna. Padahal, Permenakertrans Outsourcing mengamanatkan kegiatan itu harus dilakukan di tempat terpisah. "Masih banyak penyimpangan peraturan tentang outsourcing ini di lapangan," ucapnya.

Selain itu, mengingat Apindo menggugat Permenakertrans Outsourcing ke Mahkamah Agung (MA), Iqbal menyarankan pemerintah untuk menunggu putusannya. Walau begitu ia tidak sepakat dengan dalih pihak pengusaha yang mengatakan peraturan outsourcing menghambat investasi. Sebab, jika pengusaha tidak mau mengangkat pekerjanya berstatus tetap maka dapat melakukan perjanjian kerja dengan mekanisme kontrak atau waktu tertentu. Kontrak kerja itu bisa dilakukan secara langsung oleh pengusaha dengan pekerja tanpa menggunakan perusahaan outsourcing.

Ketua Komisi IX DPR, Ribka Tjiptaning, juga berpendapat Kemenakertrans tidak perlu membuat pokja outsourcing yang beranggotakan pemerintah, pengusaha dan pekerja. Sebab, sudah ada LKS Tripartit nasional. "Tidak perlu Pokja," ujarnya.

Sebaliknya, Ketua Asosiasi Bisnis Alih Daya Indonesia (Abadi), Wisnu Wibowo, menyambut gembira gagasan Muhaimin. Ia berpendapat pemerintah mestinya sejak awal menggandeng pemangku kepentingan untuk membahas Permenakertrans Outsourcing agar masukan masing-masing pihak dapat diakomodasi.

Wisnu mengklaim selama ini Apindo kerap meminta masukan dari Abadi tentang alih daya. Namun Wisnu belum mendapat informasi terkini mengenai pembentukan Pokja itu. Tapi Wisnu menyebut Abadi sudah menyiapkan usulan agar Permenakertrans Outsourcing dibenahi. Misalnya, tentang pembatasan terhadap lima jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan lewat mekanisme penyedia jasa pekerja. Bagi Wisnu ketentuan itu harus diubah agar tidak ada pembatasan. Sebab, perkembangan bisnis sangat dinamis sehingga dibutuhkan pekerja outsourcing dengan jenis pekerjaan yang variatif.

Oleh karenanya dalam mengatur soal Outsourcing, Wisnu mengusulkan pemerintah harusnya tidak terlalu jauh mencampuri masalah teknis. Tapi hanya mengatur sisi ketenagakerjaan seperti kesejahteraan pekerja agar hak-hak normatifnya sama dengan pekerja tetap.

Terkait gugatan yang diajukan Abadi ke Mahkamah Agung (MA) terhadap Permenakertrans Outsourcing Wisnu mengatakan harusnya sudah masuk pada tahap persidangan. Sebab judicial review yang dilakukan pekerja keamanan atas UU Ketenagakerjaan ke Mahkamah Konstitusi (MK) sudah diputus. Tapi ternyata sampai saat ini proses gugatan di MA itu belum berproses. "Kalau hasil pembahasan pokja nanti pembatasan terhadap lima jenis pekerjaan itu dicabut, kami akan tarik gugatan di MA," pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait