Syarat Perjanjian Pemborongan Jamin Kepastian Hukum
Berita

Syarat Perjanjian Pemborongan Jamin Kepastian Hukum

Pasal-pasal yang dimohonkan pengujian tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Syarat Perjanjian Pemborongan Jamin Kepastian Hukum
Hukumonline
Pemerintah menyatakan ketentuan Pasal 59 ayat (7) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya frasa “demi hukum” justru untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi pekerja/buruh dan pengusaha. Jika pemohon ingin terhindar dari Pasal 59 ayat (7) seharusnya pemohon wajib mematuhi Pasal 59 ayat (1), (2), (4), (5), (6) Undang-Undang tersebut.

“Sama halnya dengan implementasi Pasal 65 ayat (8) UU Ketenagakerjaan yang mensyaratkan perusahaan penerima pekerjaan pemborongan haruslah berbadan hukum,” kata Staf Ahli Menakertrans, Sunarno dalam sidang lanjutan pengujian UU Ketenagakerjaan yang dimohonkan pengurus Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) ruang sidang MK, Rabu (08/1).

Sunarno menjelaskan jika ketentuan syarat badan hukum dilanggar, maka wajar jika hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan penerima pemborongan demi hukum beralih kepada perusahaan pemberi pekerjaan (oursourcing). Demikian pula dengan implementasi Pasal 66 ayat (4) UU Ketenagakerjaan yang mengatur syarat jenis pekerjaan penunjang dan legalitas badan hukum perusahaan penerima pekerjaan pemborongan.

Jika pekerja melaksanakan pekerjaan pokok, syarat adanya hubungan kerja baik PKWT atau PKWTT dan perjanjian pemborongan tidak terpenuhi, demi hukum status hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan penyedia jasa beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan pemberi kerja. Karena itu, permohonan ini tidak diperlukan lagi pembuktian dan putusan pengadilan. “Pasal-pasal itu justru telah memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi pekerja/buruh dan pengusaha, sehingga sangat beralasan MK menolak permohonan ini atau setidaknya tidak dapat diterima,” harap Sunarno.

DPR menyatakan materi muatan Pasal 59 sudah pernah dimohonkan pengujian lewat putusan MK No. 12/PUU-I/2003 dan No. 27/PUU-IX/2011. Karena itu, permohonan uji materi serupa tidak bisa dimohonkan pengujian kembali (nebis in idem). Sedangkan perumusan Pasal 65 dan Pasal 66 memiliki legal ratio yang sama dengan Pasal 59 UU Ketenagakerjaan.

DPR berpendapat bahwa frasa ‘demi hukum’ dalam Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), Pasal 66 ayat (4) UU Ketenagakerjaan untuk memberi perlindungan dan kepastian hukum baik bagi pekerja maupun dunia usaha. Hal ini agar para pihak benar-benar memperhatikan persyaratan yang telah ditentukan dalam pasal-pasal itu.“Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), Pasal 66 ayat (4) tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Wakil Ketua Komisi III, Al-Muzzamil Yusuf.      

Pengurus (Apindo) mempersoalkan Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), Pasal 66 ayat (4) UU Ketenagakerjaan. Pemohon berdalil Pasal 59 ayat (1), (2) yang mengatur syarat perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) tidak memberi penafsiran yang pasti. Terlebih, putusan MK No. 27/PUU-IX/2011 telah menyatakan pelanggaran Pasal 59 bukan persoalan konstitusionalitas norma, melainkan persoalan implementasi.

Faktanya, implementasi Pasal 59 ayat (7) UU Ketenagakerjaaan menjadi persoalan konstitusionalitas karena penegakannya tak sesuai mekanisme hukum yang berlaku.Sehingga, penerapan Pasal 59 ayat (7) yang mengatur akibat batal demi hukum perubahan PKWT menjadi PKWTT jika tak penuhi syarat menjadi multitafsir baik pemerintah, pengusaha, pekerja/buruh.

Pemohon menilai Pasal 65 ayat (8) UU Ketenagakerjaan tidak jelas saat diterapkan di lapangan karena penafsiran yang berbeda-beda. Misalnya tentang jenis pekerjaan apa yang dapat diserahkan pada perusahaan pemborongan dan lembaga mana yang berwenang menentukan terpenuhi atau tidaknya syarat perusahaan penerima pekerjaan pemborongan.

Pasal 66 ayat (4) juga dinilai multitafsir terkait dengan jenis-jenis pekerjaan yang dapat diserahkan melalui perusahaan pemborongan, lembaga mana yang berwenang menentukan terpenuhi atau tidaknya norma UU Ketenagakerjaan, dan mekanisme penegakkan norma hukum apabila tidak terpenuhinya syarat-syarat jenis pekerjaan dan legalitas syarat badan hukum perusahaan penerima pekerjaan pemborongan. Karena itu, pemohon meminta MK membatalkan pasal-pasal itu.
Tags:

Berita Terkait