Surat KPK dinilai Mengintervensi Pembentukan UU
Utama

Surat KPK dinilai Mengintervensi Pembentukan UU

KPK hanya meminta kepada pemerintah dan DPR untuk menunda pembahasan RKUHAP dan RKUHP.

Oleh:
ROFIQ HIDAYAT/NOVRIEZA RAHMI
Bacaan 2 Menit
Ketua KPK Abraham Samad (tengah) saat konferensi pers terkait surat KPK tentang penundaan RKUHAP, Rabu (19/2). Foto: RES
Ketua KPK Abraham Samad (tengah) saat konferensi pers terkait surat KPK tentang penundaan RKUHAP, Rabu (19/2). Foto: RES
Permintaan penghentian pembahasan RKUHAP dan RKUHP tampaknya tidak hanya datang dari kalangan koalisi masyarakat sipil. KPK rupanya memiliki keresahan yang sama. KPK melayangkan surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang ditembuskan kepada DPR, Komisi III, Menkumham, serta Panja RKUHAP dan RKUHP. Beragam tanggapan bermunculan dari anggota Komisi III DPR.

Komisi III yang awalnya mengagendakan pembahasan RKUHP dengan pemerintah menjadi runyam karena diwarnai perdebatan soal lanjut tidaknya pembahasan. Anggota Komisi III Ahmad Yani mengatakan, sikap dari Fraksi PPP tetap melanjutkan pembahasan. Ia menyayangkan sikap KPK dengan melayangkan surat kepada presiden yang ditembuskan ke DPR.

Yani berpendapat, tindakan KPK merupakan bentuk intervensi terhadap pemerintah dan DPR dalam pembentukan UU. Ia meminta agar pimpinan komisi segera melakukan pemanggilan terhadap pimpinan KPK. Dalam surat tersebut, ditandatangani oleh Ketua KPK Abraham Samad.

“Bagi saya ini sudah mengintervensi pembentukan UU. Surat pimpinan KPK Abraham Samad meminta kita untuk tidak melakukan pembahasan lebih lanjut,” katanya di Gedung DPR, Rabu (19/2).

Anggota Komisi III lainnya, Sarifudding Sudding, mengamini pandangan Yani. Menurutnya, tugas DPR adalah membuat UU. RKUHAP dan RKUHP merupakan inisiatif pemerintah. Sepanjang tidak ada keputusan pemerintah untuk menarik RKUHAP dan RKUHP dari DPR, maka pembahasan tetap dilanjutkan.

Dikatakan Sudding, presiden mengamanatkan Menkumham untuk melakukan pembahasan dengan DPR. “Walaupun ada surat KPK tidak menghalangi kita untuk melanjutkan pembahasan UU ini. Kalaupun nantinya pihak pemerintah mau menarik itu persoalan lain,” katanya.

Lebih lanjut, Politisi Partai Hanura itu berpendapat penghentian pembahasan tergantung dari keputusan pemerintah. Posisi DPR tidak berkapasitas menolak pembahasan, tapi sebaliknya wajib melakukan pembahasan. Kunci soal ditarik tidaknya RKUHAP dan RKUHP berada di tangan pemerintah. Beda halnya jika sebuah RUU atas insiatif DPR, maka lembaga legislasi berhak melakukan penarikan dan menghentikan pembahasan.

“Tidak ada yang menghalangi tugas-tugas  kita menjalankan tugas konstitusi. Kita tidak ada posisi menolak ketika ini diajukan pemerintah,” ujarnya.

Anggota Komisi III dari Fraksi Demokrat Marcus Silanno menambahkan, KPK berhak mengusulkan penghentian pembahasan RKUHAP dan RKUHP. Tapi tidak kemudian DPR dapat menghentikan pembahasan tanpa persetujuan dari pihak pengusul sebuah RUU. Menurutnya, DPR tetap harus melaukan pembahasan.

“Saya kira surat KPK kita abaikan saja sepanjang belum ada jawaban dari presiden, jadi kita bahas saja. Jangan KPK itu seperti angker dan kita takut,” katanya.

Desmon J Mahesa anggota komisi III dari Fraksi Gerindra meminta komisinya membahas terlebih dahulu surat KPK sebelum melanjutkan pembahasan RKUHAP dan RKUHP. Menurutnya, pembahasan RKUHAP dan RKUHP ditunda terlebih dahulu sebelum ada keputusan dari presiden.

Ia khawatir jika pembahasan terus dilanjutkan, sementara pemerintah belakangan menarik RKUHAP dan RKUHP, pembahasan yang dilakukan akan sia-sia. “Kita ingin komitmen pemerintah, kalau mau dihentikan yah dihentikan saja, kalau lanjut ya dilanjut. Saya ingin suara pemerintah juga menyikapi,” tuturnya.

Dirjen Hak Asasi Manusia (HAM) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Harktistuti Harkrisnowo mengatakan, pihaknya tidak dapat mengambil keputusan yang semestinya diambil presiden. Menurutnya, surat KPK sebaiknya dijadikan masukan, sementara pembahasan tetap dilanjutkan. Soalnya, perumusan RKUHAP dan RKUHP sudah berlangsung puluhan tahun oleh berbagai kalangan akademisi, LSM dan pimpinan KPK saat masih dijabat Taufiqurahman Ruki.

“Dia (KPK, red) kan cuma korupsi. Jadi saya juga bertanya-tanya kenapa dia harus meminta. Kalo dia bilang tolong dong pelajari lagi soal korupsi, oke. Kita sepakat. Tapi kalo dia menghentikan proses nasional yang sudah berjalan sekian puluh tahun saya menganggap bahwa dia tidak mendukung pembangunan hukum,” ujarnya.

Lebih lanjut, guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu mengatakan ada baiknya KPK memberikan masukan soal pemberantasan korupsi. Prinsipnya, kata Harkristuti, pemerintah dan DPR terbuka. Namun begitu, ia menilai tidak ada alasan kuat untuk menarik pembahasan RKUHAP dan RKUHP dari DPR.

Makanya, lanjut Harkristuti, sepanjang tidak ada perintah dari presiden, pembahasan terus dilanjutkan. “Kenapa harus ditarik, kita kan punya 766 pasal, korupsi hanya dalam 2,3, 4 pasal. Mengorbankan 99 persen pembicaraan pasal-pasal soal pidana hanya untuk memfasilitasi kebutuhan mereka, saya pribadi jadi agak tersinggung juga,” katanya.

Minta Ditunda
Terpisah, Ketua KPK Abraham Samad menegaskan bahwa posisi KPK tidak sedang dalam posisi menolak RKUHAP dan RKUHP. Menurutnya, KPK hanya meminta kepada pemerintah dan DPR untuk sebisa mungkin menunda atau menangguhkan pembahasan kedua RUU ini. KPK melihat ada beberapa hal yang sangat krusial jika pembahasan RUU terus dipaksakan, diantaranya akan memnggangu upaya pemberantasan korupsi.

“Oleh karena itu ada beberapa poin yang ingin saya sampaikan untuk meminta kepada pemerintah dan DPR menangguhkan sementara pembahasan,” katanya.

Abraham menjelaskan, ada beberapa hal mengapa KPK meminta penundaan pembahasan RKUHAP dan RKUHP. Pertama, di dalam RKUHP, sifat kejahatan luar biasa dari korupsi itu menjadi tereliminir dalam Buku II RKUHP.

Menurut Abraham, sifat ekstraordinary crime (seperti narkoba dan terorisme) menjadi hilang kalau dimasukkan ke Buku II RKUHP. Konsekuensinya, lembaga-lembaga yang punya kompetensi seperti KPK, PPATK dan BNN menjadi tidak relevan lagi. Lembaga-lembaga ini bisa bubar apaila UU yang sifatnya luar biasa masuk dalam Buku II.

Kedua, berbicara mengenai substansi. Abraham mengatakan, ada beberapa substansi yang bisa menghambat pemberantasan koruspi, misalnya kewenangan penyelidikan menjadi hilang. Padahal, fungsi kewenangan penyelidikan yang dimiliki KPK sangat berguna untuk memberantas korupsi.

Ketiga, delik-delik atau aturan-aturan terkait penyuapan dan gratifikasi yang ada di UU Korupsi, bisa tidak masuk lagi dalam delik korupsi, tapi masuk dalam delik yang berhubungan dengan jabatan.

“Misalnya, PN menerima suap. Maka hal itu tidak akan bisa disidik KPK kalau kejahatan berupa suap menyuap ini dimasukkan dalam delik pidana jabatan karena tidak masuk dalam delik korupsi,” jelas Abraham.

Keempat, kewenangan penyitaan. Abraham mengatakan, dalam RUU ini ditegaskan bahwa kewenangan penyitaan harus seizin hakim pendahuluan dan izin pengadilan. Menurutnya, hal ini akan menghambat cara kerja KPK.

Kelima, waktu penahanan yang diberikan dalam tahapan penyidikan selama 5 hari. Menurut Abraham, kejahatan white collar crime akan sulit dirampungkan pemberkasannya untuk masuk ke penuntutan. “Kalau ini tetap diteruskan akan menghambat pemberantasan korupsi,” tandasnya.
Tags:

Berita Terkait