Unika Atmajaya Gugat Balik Praktisi Psikologi
Sengketa Merek

Unika Atmajaya Gugat Balik Praktisi Psikologi

Yon Nofiar dinilai mendaftarkan merek CHRP dengan iktikad buruk.

HRS
Bacaan 2 Menit
Kampus Universitas Atmajaya Jakarta. Foto: RES
Kampus Universitas Atmajaya Jakarta. Foto: RES
Universitas Katolik Atma Jaya balik menggugat praktisi psikologi Yon Nofiar yang telah menggugat secara perdata dan melaporkan Rektor Unika Atma Jaya ke polisi. Kampus yang terletak di Jakarta Selatan ini meminta majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk membatalkan merek CHRP milik Yon Nofiar.

Selain itu, Unika Atma Jaya juga meminta majelis untuk menolak ganti rugi yang dimintakan Yon Nofiar. Menurutnya, permintaan ganti rugi tersebut juga penuh rekayasa. Pasalnya, dalam posita gugatannya Yon Nofiar meminta ganti rugi yang mencapai Rp18,5 miliar, tetapi dalam petitum gugatan, praktisi tersebut menuliskan angka Rp8 miliar.

“Perhitungan ganti rugi materil oleh Penggugat penuh dengan rekayasa,” ujar kuasa hukum Unika Atma Jaya Agustinus Prajaka kepada hukumonline, Selasa (4/3). .

Dalam jawabannya terhadapt gugatan Yon Nofiar, Unika Atma Jaya menolak bila dikatakan sebagai pelanggar UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Unika Atma Jaya justru mengklaim sebagai pihak pertama pengguna merek CHRP -merek yang diperebutkan- di Indonesia.

“Kami adalah penyelenggara kursus dan pengguna pertama merek CHRP yang beriktikad baik,” ucap kuasa hukum Unika Atma Jaya Agustinus Prajaka kepada hukumonline, Selasa (4/3).

Alasan ini muncul karena kampus ini telah menggunakan CHRP sejak 2006 lalu. Sementara pihak penggugat yang tak lain adalah Yon Nofiar baru mendaftarkan merek CHRP pada 2008. Karena itu, Agustinus mengklaim Unika Atma Jaya adalah pengguna pertama CHRP di Indonesia.

Agustinus juga menambahkan selain sebagai pengguna pertama nama CHRP tersebut, berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, perguruan tinggi swasta yang berdiri pada 1 Juni 1960 ini adalah pihak yang berhak memberikan gelar profesional CHRP kepada peserta. Sebaliknya, Yon Nofiar sebagai individu dilarang memberikan gelar profesional kepada siapapun.

Atas hal tersebut, Agustinus mengatakan patut diduga ada iktikad tidak baik dari tindakan Yon Nofiar dalam mendaftarkan nama CHRP sebagai merek di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Pendaftaran merek tersebut semata-mata untuk mendulang miliaran rupiah dan mematikan kursus CHRP milik Unika Atma Jaya. Bahkan, Agustinus dengan tegas mengatakan pendaftaran nama CHRP oleh Yon Nofiar karena terinspirasi dari nama CHRP milik Unika Atma Jaya.

Kuasa hukum Yon Nofiar, Bambang Siswanto tak gentar mendapat jawaban dari Unika Atma Jaya. Ia mengatakan akan menjawab jawaban-jawaban Unika pada saat replik. “Kita akan hajar jawaban mereka dalam replik kita nanti,” tutur Bambang Siswanto ketika dihubungi hukumonline, Selasa (4/3).

Bambang menegaskan bila jawaban dan rekonvensi (gugatan balik) Unika Atma Jaya tidak berdasar. Menurutnya, jawaban Unika adalah bentuk kezaliman dan penindasan terhadap orang-orang biasa. Bambang menilai jawaban Unika Atma Jaya ini tidak elegan. Tak sebanding dengan gelar akademik yang disandang dengan para kuasa hukum Unika Atma Jaya.

Bambang menilai apa yang ditulis tim kuasa hukum Unika Atma Jaya tersebut tidak sesuai dengan UU Merek. Terkait hal ini, ia menjadi ragu dengan kredibilitas pengajaran ilmu hukum tentang Hak Kekayaan Intelektual yang diberikan Unika Atma Jaya kepada para mahasiswanya. Pasalnya, untuk menjawab gugatan saja Unika Atma Jaya tak mampu memberikan jawaban yang bermutu. Apalagi, salah satu kuasa hukum Unika Atma Jaya menyandang gelar Ph.d, Dr, dan LLM.

Kegeraman Bambang bukannya tak berdasar. Ia merasa geram lantaran pihak Unika Atma Jaya mendalilkan sebagai pihak pengguna pertama. Padahal, UU Merek sudah jelas menganut asas first to file, bukan first to use. Jika memang Unika mau bertarung menggunakan asas first to use, Bambang mengatakan Yon Nofiar masih tetap sebagai pengguna pertama. Yon telah menggunakan nama CHRP tersebut sejak tahun 2005.

“Nah, jadi kalau mau minta dibatalkan merek klien saya itu, mereka punya bukti apa? Ini pembodohan,” lanjutnya.

Terkait dengan pernyataan Unika yang mengatakan penghitungan ganti rugi berupa rekayasa, Bambang balik mempertanyakan butir mana dari posita gugatannya yang meminta ganti rugi Rp18,5 miliar dan petitumnya yang menuliskan Rp8 miliar. Menurutnya, gugatan Yon Nofiar telah ditulis secara cermat dan teliti. Tidak ada kesalahan apapun antara posita dan petitum. Ia juga menambahkan nilai ganti rugi tersebut juga telah dipertimbangkan dengan sangat cermat.

“Nilai ganti rugi itu ada dasarnya dan kita sudah state secara jelas kepada mereka saat pertemuan itu,” tandasnya.

Sebagai informasi, Yon Nofiar menggugat Unika Atma Jaya lantaran menggunakan merek CHRP, Certified Human Resources Professional. Yon menegaskan dirinya sebagai pemilik merek yang sah. Ia telah memohonkan pendaftaran mereknya ini ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI) pada 12 Februari 2007 dan terdaftar di Daftar Umum Merek pada 26 Agustus 2008 di kelas 41, yaitu kelas untuk melindungi produk berupa jasa yang bergerak di bidang pendidikan, program pendidikan sertifikasi di bidang sumber daya manusia, dan jasa-jasa penyelenggaraan kegiatan untuk sumber daya manusia.
Tags:

Berita Terkait