Pertegas Kualifikasi Novum untuk Pengajuan PK
Berita

Pertegas Kualifikasi Novum untuk Pengajuan PK

Tetap harus ada saringan agar tidak sembarang permohonan PK masuk.

MYS
Bacaan 2 Menit
Foto: KHN
Foto: KHN
Dua guru besar ilmu hukum dengan latar pekerjaan berbeda dukung putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang peninjauan kembali (PK). Yang pertama, hakim agung Gayus T Lumbuun; dan yang kedua Sekretaris Komisi Hukum Nasional (KHN) Mardjono Reksodiputro. Pandangan mereka disampaikan di tengah silang pendapat mengenai PK berulang-ulang.

Selaku pribadi, Gayus berpendapat putusan MK yang membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP adalah arif dan bijaksana. Sebab, putusan itu telah mempertimbangkan rasa keadilan. Dari sisi tujuan, hukum tak hanya bertujuan mencapai kepastian dan kemanfaatan tetapi juga keadilan. Jika kepastian berhadapan dengan keadilan, maka keadilanlah yang harus didahulukan. “Putusan itu adil dan bijaksana,” kata Gayus dalam diskusi Radio 68H yang diselenggarakan di KHN kemarin.

Di acara yang sama, Mardjono Reksodiputro mengatakan PK dibutuhkan untuk mencegah kesesatan dalam peradilan (miscarriage of justice). Meskipun terjadi permohonan PK berulang, upaya hukum luar biasa itu tetap dimungkinkan demi alasan keadilan. Sangat mungkin terjadi kebenaran materiil suatu kejadian baru terungkap puluhan tahun kemudian. Karena itu, PK beberapa kali dimungkinkan. “PK berulang kali tidak jadi masalah,” ujar dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu.

Cuma, Prof. Mardjono menegaskan tetap harus ada ‘pembatasan’ agar permohonan PK tidak menumpuk. Salah satu yang bisa dilakukan adalah memperjelas kualifikasi novum. Pihak jaksa atau terpidana dan ahli warisnya yang menemukan bukti baru alias novum punya hak untuk mengajukan PK. Karena itu, novum sangat penting artinya dalam mengajukan upaya hukum luar biasa. “Novum harus ada pedoman,” kata dia.

Pedoman tentang kualifikasi novum, menurut Prof. Mardjono, bisa dituangkan hakim lewat putusan yang akhirnya dijadikan yurisprudensi. Jalan yurisprudensi lebih cepat dibandingkan menunggu DPR merampungkan  revisi KUHAP. “Mudah-mudahan MA melahirkan yurisprudensi tentang apa itu novum,’ tambah pakar pidana ini.

Gayus sependapat perlu ada pembatasan agar permohonan PK berkali-kali tidak menjadi ‘permainan’. Hakim agung ini malah secara spesifik menyebut PK hanya perlu dua kali. Pemohon masih diberi kesempatan sekali lagi PK setelah permohonan PK pertama. Pembatasan semacam ini penting agar permohonan PK tak sembarangan dilakukan. Orang akan berpikir dan berusaha sungguh-sungguh ketika mengajukan PK pertama dan kedua.

Gayus berpendapat DPR dan pemerintah perlu segera memperbaiki rumusan Pasal 286 ayat (3) KUHAP agar warga diberi hak mengajukan PK berkali-kali. Tetapi MA juga harus mengeluarkan Peraturan (Perma) yang mengatur kualifikasi atau syarat-syarat yang jelas untuk mengajukan PK, terutama berkaitan dengan novum. “MA punya wewenang menerbitkan Perma,” jelasnya.

‘Saringan’ lain yang bisa digunakan adalah pada pengacara yang mendampingi pemohon PK. Prof. Mardjono menyarankan agar permohonan PK hanya diajukan oleh advokat yang sudah berpengalaman. Ia menilai perlu pertimbangan yang sangat matang dan analisis mendalam ketika mengajukan permohonan PK agar lebih meyakinkan hakim.

Cuma, siapa yang akan membatasi hak advokat sebagai kuasa hukum untuk mengajukan PK? Itu pertanyaan lanjutan yang perlu tak mudah dijawab. Gayus malah khawatir, pemberian hak hanya kepada pengacara senior justru dimanfaatkan untuk mengajukan permohonan asal-asalan. Tetapi guru besar Universitas Krisnadwipayana ini sependapat dengan Prof. Mardjono, permohonan PK harus sungguh-sungguh, jangan asal-asalan.
Tags:

Berita Terkait