Penggugat UU OJK Ajukan Provisi
Berita

Penggugat UU OJK Ajukan Provisi

Hakim menyarankan ke pemohon untuk menguraikan dampak jika provisi tidak dilakukan.

Oleh:
FAT
Bacaan 2 Menit
Penggugat UU OJK Ajukan Provisi
Hukumonline
Sidang perdana gugatan terkait sejumlah pasal dalam UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) digelar di Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam permohonannya, sejumlah masyarakat yang tergabung dalam Tim Pembela Kedaulatan Ekonomi Bangsa (TPKEB) mempersoalkan fungsi pengawasan dan pengaturan perbankan OJK. Hal itu dikarenakan fungsi pengawasan dan pengaturan perbankan di OJK tak diatur dalam konstitusi.

Pasal yang diuji merupakan 'jantung' dari keberadaan OJK. Kuasa Hukum TPKEB Syamsudin Slawat Pesilette mengatakan, kata 'independen' dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 UU OJK bertentangan dengan ketentuan Pasal 23D dan Pasal 33 UUD 1945. Menurutnya, kata 'independen' dalam konstitusi hanya dimungkinkan dengan melalui bank sentral, bukan OJK. Atas dasar itu, kata 'independen' dalam Pasal 1 angka 1 UU OJK dicangkok secara utuh dari Pasal 34 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia (BI).

“Independensi itu hanya dikenal melalui turunan regulasi yang merujuk dan mengacu pada ketentuan Pasal 23D UUD 1945, yang dapat dimungkinkan adanya bank sentral yang independen,” kata Syamsudin dalam persidangan, Selasa (25/3).

Bukan hanya pasal ‘jantung’ dari keberadaan OJK yang digugat para pemohon. Anggota TPKEB Ahmad Suryono menambahkan, keberadaan OJK sangat bertentangan dengan konstitusi. Alasannya karena keberadaan OJK mendorong terbentuknya pasar bebas yang berpihak pada orang kaya dan pemilik modal, bukan kepada rakyat dan ekonomi kerakyatan.

Selain membatalkan Pasal 1 angka 1 UU OJK, lanjut Suryono, pihaknya meminta MK untuk membatalkan Pasal 5 dan Pasal 37 UU OJK. Pasal 5 UU OJK yang menyebutkan bahwa OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan dapat berdampak pada penumpukan kewenangan.

“Penumpukan kewenangan dalam satu tangan/badan dapat menimbulkan potensi moral hazard,dimana kemudian OJK di-setting untuk independen sehingga pengambilan keputusan, kebijakan dan akuntabilitas organisasi menjadi sulit terkontrol,” katanya.

Sedangkan Pasal 37 UU OJK terkait pungutan OJK, dapat berdampak pada berkurangnya kemandirian OJK. Pungutan ini memicu tanda tanya lantaran akan ditempatkan di pos apa dalam nomenklatur APBN. “Jika akan ditempatkan sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), maka patut dipertanyakan sejauh mana Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) akan melakukan audit,” tanyanya.

Selain itu, Suryono meminta MK untuk menyatakan frasa ‘..tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..’ sebagaimana terdapat pada Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66 UU OJK dianggap bertentangan dengan UUD 1945.

Dalam persidangan, para pemohon juga mengajukan provisi lantaran beroperasinya OJK berpotensi terjadinya kerugian negara secara masif.  Isi provisi tersebut di antaranya adalah dihentikannya operasional OJK untuk sementara hingga sampai ada putusan pengadilan yang bersifat final dan mengikat.

Kedua,  BI mengambil alih sementara fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan sebagaimana merupakan amanah langsung dari Pasal 23D UUD 1945 sampai ada putusan pengadilan yang bersifat final dan mengikat. Dan terakhir, BPK melakukan audit, analisis dan penelitian mendalam terkait dengan adanya kerugian keuangan negara, potensi kerugian keuangan negara, serta memberikan rekomendasi siapa saja para pemangku kebijakan yang yang turut serta dalam pengambilan kebijakan tersebut.

Menanggapi permohonan ini, majelis panel menyatakan dalam hukum acara di MK, tak mengenal putusan sela atau yang disebut pemohon dengan provisi tersebut. Meski begitu, Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengatakan, provisi bisa dilakukan apabila ada alasan yang sangat mendesak.

Misalnya, jika tak ada putusan provisi, akan berdampak hingga membahayakan kepada kerugian negara. Apalagi, lanjut Arief, tak ada batas waktu dalam sidang pengujian UU di MK. “Kalau tidak segera diputus, maka akan dirugikan ini ini dan membahayakan kerugian negara,” katanya.

Hakim Konstitusi Muhammad Halim menyarankan agar para pemohon memperbaiki gugatannya terkait uraian pasal yang diuji dengan cantolannya ke UUD 1945. Menurutnya, uraian yang sudah dijabarkan para pemohon belum detil. “Kasih dalam lagi karena itu menyangkut hal yang penting,” katanya.

Atas dasar itu, majelis panel memberi waktu 14 hari kepada para pemohon untuk memperbaiki gugatannya.
Tags:

Berita Terkait