Payung Hukum Pungutan Negara di Mata Ahli
Berita

Payung Hukum Pungutan Negara di Mata Ahli

Prosentase penentuan pungutan negara bidang telekomunikasi harus ditetapkan dalam UU Telekomunikasi.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Payung Hukum Pungutan Negara di Mata Ahli
Hukumonline
Ketentuan Pasal 3 ayat (2) UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dinilai sebagai produk hukum yang ragu-ragu dan tidak selaras dengan kehendak Pasal 23A UUD 1945. Pasal 23A UUD 1945 menyebutkan setiap pajak dan pungutan lain yang memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang, bukan dengan peraturan pemerintah.

“Agar selaras dengan kehendak Pasal 23A UUD 1945, maka rumusan hukumnya harus berhenti pada redaksi yang berbunyi ‘ditetapkan dengan Undang-Undang’, agar menunjukan adanya kepastian hukum,” kata Dr. Mustaqiem saat memberi keterangan sebagai ahli dalam sidang lanjutan pengujian UU PNBP dan UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasidi gedung MK, Rabu (30/4).

Pasal 3 ayat (2) UU PNBP menyebutkan, “Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Undang-undang atau Peraturan Pemerintah yang menetapkan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersangkutan.”

Mustaqiem mengutip Penjelasan 23 ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan segala tindakan yang menempatkan beban kepada rakyat, seperti pajak dan lain-lainnya harus ditetapkan dengan UU yaitu dengan persetujuan DPR. “Penerimaan negara di luar penerimaan perpajakan yang menempatkan beban kepada rakyat juga harus didasarkan pada UU,” kata Mustaqiem.

Dia mengungkapkan UU No. 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambangan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah juga menentukan tarif pajak yang pengaturannya teknisnya dituangkan dalam Peraturan Pemerintah.

Menurutnya, setiap produk hukum di bidang pajak atau pungutan lainnya yang menempatkan besarnya prosentase tarif pajak/pungutan yang dibebankan kepada masyarakat (wajib pajak) seharusnya diatur dalam peraturan dalam tingkatan Undang-Undang. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat sebagai pembayar pajak dapat dilibatkan dalam penentuan tarif pajak/pungutan meski melalui lembaga perwakilan.

Karena itu, prosentase penentuan pungutan negara bidang telekomunikasi harus ditetapkan dalam UU Telekomunikasi. Seperti halnya dalam bidang perpajakan. “Jadi, tidak sepenuhnya pengaturan prosentase tarif pungutan diserahkan melalui produk hukum peraturan pemerintah,” tegasnya.

Ahli pemohon lain, Ni'matul Huda mengatakan salah satu asas penting di negara hukum adalah asas legalitas. Menurut Ni'matul, subtansi dari asas legalitas tersebut adalah menghendaki agar setiap tindakan badan/pejabat administrasi berdasarkan UU.

“Tanpa dasar UU, badan/pejabat administrasi negara tidak berwenang melakukan suatu tindakan yang dapat mengubah atau mempengaruhi keadaan hukum warga masyarakatnya,” kata dosen Universitas Islam Indonesia Yogyakarta itu.

Permohonan ini diajukan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) dan Ahmad Suwandi Idri. Mereka memohon pengujian Pasal 2, Pasal 3 UU PNPB dan Pasal 16, Pasal 26, Pasal 34 UU Telekomunikasi lantaran dikenakan berbagai jenis tarif biaya penyelenggaraan jasa telekomunikasi.

Misalnya, Pasal 2 dan Pasal 3 UU PNBP menyebutkan jenis dan tarif PNBP selain yang disebutkan dalam UU itu, dapat diatur melalui peraturan pemerintah. Seperti, PP No. 7 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif Atas PNBP yang Berlaku pada Kemenkoinfo dan kemudian diubah dengan PP No. 76 Tahun 2013 dimana pemerintah dapat secara bebas menambah jenis pungutan dan tarifnya tanpa campur tangan DPR.

Akibatnya, besaran tarif dan biaya penyelenggaraan telekomunikasi ditentukan sesuka hati oleh pemerintah. Berlakunya ketentuan itu sangat memberatkan pemohon berupa pungutan PNBP atas kontribusi kewajiban pelayanan universal telekomunikasi (universal service obligation/USO), biaya hak penyelenggaraan (BHP) telekomunikasi, dan biaya hak penggunaan spektrum frekuensi.

Pasal-pasal itu dinilai bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 yang menyebutkan ‘Pajak dan segala pungutan memaksa lainnya diatur dengan undang-undang.’ Sebab, PNPB salah satu pungutan memaksa, sehingga tarifnya tidak boleh diatur dalam PP. Karenanya, pemohon meminta MK menghapus Pasal 2, Pasal 3 UU PNBP dan Pasal 16, Pasal 26, Pasal 34 UU Telekomunikasi karena bertentangan dengan  UUD 1945.
Tags:

Berita Terkait