Pembentukan OJK Tak Langgar Konstitusi
Berita

Pembentukan OJK Tak Langgar Konstitusi

Pertimbangkan aspek resiko atau bahaya.

ASH
Bacaan 2 Menit
Pembentukan OJK Tak Langgar Konstitusi
Hukumonline
Pemerintah menyatakan pembentukan UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merupakan pengejawantahan tujuan konstitusional dibentuknya Negara Indonesia yang terdapat dalam alinea keempat UUD 1945. Salah satu tujuan bernegara adalah memajukan kesejahteraan umum yang diwujudkan melalui pelembagaan negara Indonesia.

Pemerintah menyatakan pelembagaan negara itu (OJK) juga amanat Pasal 33 UUD 1945 untuk mewujudkan perekonomian nasional. ”Yang mampu tumbuh dengan stabil dan berkelanjutan, menciptakan kesempatan kerja kuas dan seimbang di semua sektor perekonomian dan memberikan kesejahteraan secara adil kepada seluruh rakyat Indonesia,” kata Staf Ahli Menteri Keuangan Isa Rachmahtarwata dalam sidang lanjutan pengujian UU OJK di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (05/5).

Menurut Isa, UU OJK merupakan amanat Pasal 34 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1999 tentang BI seperti diubah dengan UU No. 6 Tahun 2009. Ketentuan itu menyebut tugas pengawasan bank dan perusahaaan sektor jasa keuangan yang meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, perusahaan pembiayaan, dan badan yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat dilakukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan independen yang dibentuk undang-undang.

Pemerintah berpendapat konstitusionalitas norma UU tidak hanya diukur pasal-pasal batang tubuh UUD 1945, melainkan juga bisa melalui pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya terdapat tujuan dibentuknya Negara Indonesia. Karenanya, OJK yang memiliki sifat constitutional importance untuk mencapai tujuan bernegara yang diamanatkan dalam Pembukaan dan Pasal 33 UUD 1945.

”Sama halnya dengan lembaga-lembaga negara independen lainnya seperti KPK, Komisi Penyiaran Indonesia, Bawaslu, PPATK, KPPU dan sebagainya adalah merupakan contoh lembaga yang bersifat independen dan memiliki fungsi campuran dan dibentuk berdasarkan UU dan memiliki sifat constitutional importance,” kata Staf Ahli Bidang Kebijakan dan Regulasi Jasa Keuangan dan Pasar Modal ini.

Dia menilai pengaturan pungutan OJK pun sudah sejalan dengan Pasal 23A UUD 1945 yang mengatur pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk kepentingan negara yang diatur undang-undang. Atas dasar itu, OJK berwenang memungut biaya dari industri jasa keuangan dan berwenang menerima, mengelola, dan mengadministrasikan pungutan itu secara akuntabel dan mandiri. “Namun, jika jumlah pungutan telah melebihi kebutuhan pembiayaan OJK, kelebihan tersebut ke kas negara sebagai penerimaan negara,” jelasnya.

Terkait pelaporan akuntabilitas OJK, lanjut Isa, sudah diatur dalam Pasal 38 UU OJK yang menyusun laporan keuangan secara periodik atau insidentil apabila DPR memerlukan penjelasan. “Laporan keuangan OJK juga diaudit oleh BPK dan wajib diumumkan kepada publik melalui media cetak dan elektronik. Selain itu, ada pengawasan internal yang dilakukan salah satu dewan komisioner,” tegasnya.

Menurutnya, jika permohonan dikabulkan justru akan mengganggu atau menimbulkan instabilitas pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan. Bahkan membahayakan industri sektor jasa keuangan dan konsumen. Selain itu, dapat menimbulkan risiko perekonomian nasional akibat lemahnya pengawasan terhadap total dana sebesar Rp5,910 triliun yang dikelola pelaku usaha jasa sektor keuangan.

”Jadi tidak terdapat alasan yang tepat jika permohonan pengujian Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 34, Pasal 37, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66 UU OJK bertentangan dengan UUD 1945,” tegasnya.

Hal senada disampaikan DPR yang menyatakan secara konstitusional pengaturan pembiayaan OJK berupa pungutan tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945. ”Menyatakan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37  dan Pasal 6, Pasal 7, Pasal 37, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66 UU OJK sepanjang frasa ’tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Anggota Komisi XI Harry Azhar Aziz.

Sebelumnya, elemen masyarakat yang tergabung dalam Tim Pembela Kedaulatan Ekonomi Bangsa (TPKEB) mempersoalkan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 37, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66 UU OJK terkait fungsi pengawasan dan pengaturan perbankan oleh OJK. Sebab, kedua fungsi OJK itu tak diatur dalam tak diatur dalam konstitusi yang mendorong terbentuknya pasar bebas.

Misalnya, kata “independen” dalam Pasal 1 angka 1 bertentangan dengan Pasal 23D dan Pasal 33 UUD 1945. Sebab, kata “independen” dalam konstitusi hanya dimungkinkan dengan melalui bank sentral, bukan OJK. Pasal 5 UU OJK --yang menyebutkan OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan sektor jasa keuangan --dapat berdampak pada penumpukan kewenangan, sehingga menjadi sulit terkontrol.

Pasal 37 UU OJK terkait pungutan OJK, dapat berdampak pada berkurangnya kemandirian OJK. Pungutan ini memicu tanda tanya akan ditempatkan di pos apa dalam nomenklatur APBN? Karena itu, pemohon meminta MK membatalkan Pasal 5 dan Pasal 37. Selain itu, pemohon meminta MK menghapus  frasa ‘..tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..’ dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66 UU OJK karena bertentangan dengan UUD 1945.
Tags:

Berita Terkait