Hakim Australia: Circumstantial Evidence Penting dalam Kasus Kartel
Berita

Hakim Australia: Circumstantial Evidence Penting dalam Kasus Kartel

Istilah circumstantial evidence lebih tepat daripada indirect evidence.

HRS
Bacaan 2 Menit
Hakim Australia: Circumstantial Evidence Penting dalam Kasus Kartel
Hukumonline
Hakim Agung Pengadilan Federal Australia Nye Perram mengatakan bahwa circumstantial evidence atau bukti keadaan (istilah yang diyakini lebih tepat daripada indirect evidence) sangat diperlukan dalam pembuktian kasus kartel.

Ia berpendapat bahwa kartel sangat tidak mungkin hanya dibuktikan dengan bukti langsung (direct evidence). “Pembuktian kartel itu selain dari pengakuan juga perlu adanya penggunaan circumstantial evidence,” ujarnya dalam seminar Business Compliance on Fair Competition, pertengahan Juni lalu.

Pernyataan Nye Perram ini menjawab keresahan Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Nawir Messi karena hakim-hakim Indonesia belum mengakui eksistensi indirect evidence sebagai alat bukti di hukum persaingan usaha. Contohnya, Mahkamah Agung (MA) sepakat membatalkan putusan KPPU tentang kasus kartel minyak goreng dan kartel fuel surcharge yang menggunakan indirect evidence.

Padahal, lanjut Messi, di negara-negara lain yang memiliki UU Persaingan Usaha telah lama menerapkan indirect evidence sebagai salah satu alat bukti untuk pembuktian kartel. Hanya Indonesia, yang hingga kini masih mendebatkan mengenai sah tidaknya indirect evidence.

Nye Perram melihat banyak orang yang salah persepsi tentang circumstantial evidence. Persepsi yang terbentuk adalah bukti circumstantial ini sangat lemah dibandingkan dengan bukti langsung. Padahal, tidak semua demikian. Ia pun mencontohkan kasus pembunuhan yang terkenal di Australia yang dilakukan oleh Ivan Milat.

Ivan Milat adalah pembunuh para backpacker muda di hutan bagian selatan Sidney. Jaksa berhasil membuktikan Milat bahwa ia membunuh para backpacker, berdasarkan ada baju korban yang mirip dengan yang dimiliki Milat di atap rumahnya. Lantas, apa hubungannya dengan konteks persaingan usaha?

Prinsipnya adalah, sambung Nye Perram, terapkan teori yang sama, yaitu semakin banyak bukti circumstances (keadaan-keadaan), semakin kuat bukti itu. Di Amerika Serikat saja, perhatian para juri dan hakim saja telah menunjukkan betapa kuatnya peran circumstantial evidence ini. Memang juri sebagai pemutus apakah kartel terbukti atau tidak, tetapi hakim tetap memegang peran penting yaitu sebagai pemutus apakah buktinya cukup atau tidak sebelum dilanjutkan ke juri.

Ada tiga tahap yang dilihat oleh hakim sebelum meyakini circumstantial evidence tersebut dapat digunakan atau tidak. Tahapan ini dikenal dengan Plus Faktor, yaitu ada suatu tindakan yang dilakukan seorang tersangka yang berlawanan dengan kepentingan ekonominya sendiri. Pertama, contohnya, ia tidak memotong harga untuk meningkatkan market share sedangkan lawannya menaruh harga diatas marginal cost. Kedua, bertemu atau berganti informasi. Ketiga, ada motif untuk mengatur harga.

“Sekarang, faktor-faktor tersebut perlu dipertimbangkan dengan hati-hati,” lanjutnya.  

Lebih lanjut, Nye Perram mengatakan ada beberapa hal yang dapat dijadikan pelajaran dalam pembuktian kartel ini, di antaranya adalah hal yang sangat penting, jangan pernah “mendiskon” sebuah potensi kekuatan dari argumentasi circumstantial. Hanya karena sebuah argumentasi, circumstantial tidak berarti kekuatannya lemah.

Meskipun pula tidak menggunakan Plus Faktor sebagaimana yang digunakan Amerika Serikat, circumstantial evidence tersebut tetap menjadi alat untuk menganalisis peristiwa yang terjadi. Menurutnya, bukti itu berguna untuk bisa membuka kasus kartel.

“Semakin banyak bukti-bukti keadaan yang tersedia, semakin kuat pembuktian kasusnya,” pungkasnya.
Tags: