Sosialisasi Pemilu untuk Penyandang Disabilitas Belum Maksimal
Reformasi Hukum

Sosialisasi Pemilu untuk Penyandang Disabilitas Belum Maksimal

Reformasi Hukum dan HAM (Refhuk) adalah program yang mengetengahkan problematika hukum dengan narasumber kompeten. Hadir setiap Senin pukul 09.00-10.00 WIB. Program ini disiarkan oleh 156 radio jaringan KBR di seluruh Indonesia.

RED
Bacaan 2 Menit
Foto: KBR
Foto: KBR
Jumlah penyandang disabilitas yang punya hak suara diperkirakan mencapai 20 juta jiwa. Dengan angka sebesar itu, kemungkinan jumlah penyandang yang akan menggunakan hak suaranya bisa menjadi yang terbesar dalam sejarah pemilu di Indonesia. Masalahnya, menurut Ketua Pusat Pemilihan Umum Akses Penyandang Cacat (PPUA Penca), Ariani Soekanwo, penyelenggara pemilu belum optimal dalam memenuhi kebutuhan penyandang disabilitas.

“Jumlah penyandang disabilitas di Indonesia ada sekitar 20 juta di seluruh Indonesia yang memiliki hak suara. Kesadaran penyandang disabilitas sebetulnya sangat tinggi. Hanya saja sosialisasi di daerah sangat kurang. Hanya di kota-kota besar saja,”ujarnya.

Menurut dia, meski penyelenggaraan tahun ini lebih baik dari pemilu sebelumnya, namun sosialisasi soal bagaimana kaum difabel harus menggunakan hak pilihnya hanya ada di beberapa kota besar saja dan tidak merata di seluruh Indonesia.

“Penyandang disabilitas pada Pileg lalu sangat mengeluhkan soal pelayanan, terutama soal pelayanan di TPS,” ujarnya. Dia berharap ada perbaikan pelayanan di TPS terhadap kaum difabel pada Pilpres 9 Juli nanti. Lagi pula tidak sulit melayani kaum difabel di TPS saat pencoblosan.

“Cukup sediakan tempat TPS yang ramah dengan kaum penyandang berkebutuhan khusus, karena ketika TPS sudah ramah dengan kaum difabel, maka TPS tersebut sudah pasti ramah untuk yang lain,” ujarnya.

Kemudian, Ariani berharap ada simulasi sebelum hari pencoblosan yang digelar. Tujuannya untuk memaksimalkan sosialisasi tentang tata cara pemilihan saat di tempat pemungutan suara (TPS) dan pengenalan terhadap alat bantu pencoblosan, yaitu 'template braille' bagi tuna netra.

“Simulasi ini juga untuk melatih pihak Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), serta pihak pendamping yang dipercaya oleh pemilih dalam membantu kaum difabel di TPS,” ujarnya.

Kata dia, tahapan simulasi dimulai dari tata cara pencoblosan dengan menggunakan template braille dan memasukan surat suara ke dalam kotak suara. Dalam melakukannya, peserta pemilih didampingi oleh petugas KPPS atau orang yang dipercaya.

“Sosialisasi diperlukan karena banyak kaum difabel belum secara penuh mengetahui tentang informasi dan tata cara pemilu,” ujarnya. Posisi kotak suara juga seharusnya tidak terlalu tinggi supaya tidak menghambat proses jalannya pemilihan di TPS.

Peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM), Fadli Ramadhanil mengatakan, pihaknya masih banyak menemukan kekurangan KPPS yang tidak mengakomodir keperluan kaum difabel. Kata dia, sebenarnya ada hukuman pidana dan denda apabila penyelenggara pemilu tidak memenuhi kebutuhan kaum difabel.

“Sebelum mendampingi pemilih, pendamping harus mengisi formulir C3, yang mana berjanji untuk merahasiakan pilihan pemilih. Kalau tidak, menurut Pasal 283 UU No. 8 Tahun 2012 mengatur larangan menyebarkan pilihan orang lain, dengan dipidana kurungan paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp 12.000.000,” ujarnya.

Kata dia, pendamping harus orang yang dipercayai oleh pemilih difabel, siapapun itu, baik dari KPPS maupun dari luar. Pendamping diwajibkan untuk merahasiakan pilihan kaum difabel. Khususnya bagi pendamping yang bukan dari anggota KPPS.

“Hari ini Perludem sedang sosialisasi di Bogor soal TPS di RSJ yang pada pemilu sebelumnya tidak pernah ada. Hal ini penting karena jumlah suara saudara kita penyandang disabilitas cukup signifikan. Oleh karenanya haknya harus dipenuhi,” ujarnya.

Hasil temuan dari Perludem, selama ini petugas KPPS tidak punya perspektif perlindungan difabel. “Sebelumnya tidak ada aturan syarat kartu C3 bagi pendamping, sehingga difabel tidak ada dasar hukum mempersoalkan jika pilihannya bocor,” ujarnya.

Selain itu, petugas KPPS tidak teliti/tidak ramah pada difabel. Pemilih difabel juga kerap diminta buru-buru karena banyaknya antrian. Fadli menambahkan, temuan lain terkait ketidakramahan dan ketidaknyamanan TPS juga sangat masif.
“TPS kurang nyaman/tidak aksesibel. Misalnya ada tangga menuju TPS tidak bisa dilewati kursi roda, menyulitkan orang tua. Lingkungan TPS berumput tebal, licin, banyak selokan tanpa titian,” ujarnya. Selain itu, bilik suara tidak bisa dimasuki kursi roda, meja pencoblosan terlalu tinggi, dan letak kotak suara tinggi/sulit dijangkau.

Ketua PPUA Penca, Ariani Soekanwo mengatakan kewajiban pemenuhan kebutuhan kaum difabel juga diperkuat oleh penandatanganan nota kesepahaman antara KPU dengan PPUA Penca.

“Dalam kesepahaman itu, KPU memastikan akan memenuhi hak politik warga negara penyandang cacat dalam pemilihan umum legislatif, pemilihan presiden, dan pemilihan kepala daerah. MoU ditujukan untuk meningkatkan dan menjamin terpenuhi hak berpolitik tanpa diskriminasi bagi penyandang cacat,” ujarnya. Kata dia, dengan ini KPU bisa meningkatkan lagi partisipasi para penyandang cacat dalam menggunakan hak suara.

Menutup perbincangan, Ariani berharap siapapun pemenang dalam pemilihan presiden 9 Juli 2014 nanti, bisa memenuhi janjinya memenuhi kebutuhan kaum difabel di seluruh Indonesia. Jika segala yang dibutuhkan terpenuhi, penyandang difabel tidak akan menyusahkan orang lain.

“Sebenarnya bukan kasihan yang kita butuhkan, cukup penuhi kebutuhan dan segala aktivitas kita dalam melakukan aktivitas di ruang publik, maka kami pastikan kami akan mandiri,” ujarnya. Dia berharap Rancangan Undang-Undang Perlindungan Kaum Disabilitas bisa segera disahkan pada pemerintahan baru nanti.

Artikel ini sebelumnya disiarkan pada program Reformasi Hukum dan HAM KBR. Simak siarannya setiap Senin, pukul 09.00-10.00 WIB di 89,2 FM Green Radio.

Sumber: www.portalkbr.com
Tags:

Berita Terkait