Mahasiswa FH Ingin Kawin Beda Agama Dilegalkan
Utama

Mahasiswa FH Ingin Kawin Beda Agama Dilegalkan

Mereka mengajukan judicial review UU Perkawinan. Menguji penafsiran Pasal 2 ayat (1).

Oleh:
HASYRY AGUSTIN
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Seorang mahasiswa dan empat orang alumnius Fakultas Hukum (FH) Universitas Indonesia mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP). Secara spesifik mereka meminta tafsir atas Pasal 2 ayat (1) UUP, sehingga tidak ada hambatan bagi siapapun untuk melakukan kawin beda agama.

Pasal 2 ayat (1) UUP menyebutkan “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.

Anbar Jayadi, mahasiswa hukum dimaksud, bersama beberapa alumni, yakni Rangga Sujud, Varida Megawati, Damian Agata, dan Lutfi Sahputra, meminta Mahkamah Konstitusi (MK) member tafsir atas Pasal 2 ayat (1) UUP. Mereka melihat selama ini masih terjadi multitafsir, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. MK sudah mengagendakan sidang atas perkara ini pada 4 September mendatang.  

“Kami tidak cuma mempermasalahkan multitafsir. Kami juga ingin meminta kepastian, namun kepastian yang membolehkan,” jelas Rangga kepada hukumonline, Senin (25/8).

Para pemohon mendalilkan norma Pasal 2 ayat (1) UUP telah memaksa setiap warga negara untuk mematuhi hukum dari masing-masing agama dan kepercayaan. Termasuk dalam hal perkawinan. Menurut Rangga, hak beragama adalah hak yang paling privat, pelaksanaannya tidak dapat dipaksakan, dan termasuk salah satu hak yang tak bisa dicabut dalam keadaan apapun (non-derogable right).

Norma UUP telah menyebabkan setiap warga negara tidak punya opsi melaksanakan atau tidak melaksanakan aturan agama pada saat melangsungkan perkawinan. Jika tidak berdasarkan agama, perkawinan bisa dianggap tidak sah. Mematuhi aturan agama adalah urusan pribadi seseorang dengan Tuhan, sehingga dalam hal perkawinan pun seharusnya diperlakukan demikian. “Kalau kita kawin mau sesama agama ya silahkan, kalau beda agama jangan dilarang juga dong, “ ujar Rangga.

Pemohon tidak terlalu khawatir legal standing mereka dipersoalkan. Sebab, Mahkamah Konstitusi juga sudah mengakomodasi kerugian potensial. Dengan kata lain, para pemohon suatu saat akan menghadapi pernikahan, dan bisa saja mengalami kerugian akibat berlakunya Pasal 2 ayat (1) UUP. “Kerugian potensial karena suatu saat kami tidak tahu akan nikah dengan siapa. Indonesia kan majemuk. Meskipun saat ini belum ada, itu sangat mungkin terjadi ke depannya,” ujarRangga.

Untuk memperkuat basis argumentasi permohonan, jelas Rangga, para pemohon sudah menemui para pelaku kawin beda agama, melakukan riset, mencari data, berdiskusi, dan melacak putusan pengadilan. Mereka juga sedang mempersiapkan saksi dan ahli yang bisa memberikan keterangan pada persidangan mendatang.

Heru Susetyo, Manager Kemahasiswaan dan Pendidikan FH Universitas Indonesia mengapresiasi langkah mahasiswa mengajukan judicial review. Sebab, langkah semacam ini adalah wujud kemajuan berpikir. Selama ini, berdasarkan pemantauan Heru, yang mengajukan permohonan materi banyak dilakukan pengacara, dan lebih sering mengenai bidang publik.

“Sebagai pengajar dan pernah mengajar mereka dan masih di kampus saya lihat ini sebagai suatu kemajuan. Biasanya  yang melakukukan bukan mahasiswa, atau yang menggunakan kuasa hukum. Jarang mahasiswa hukum, Bagusnya sudah ada kemajuan, keberanian, dan daya kritis,” tutur Heru kepada hukumonline.

Di satu sisi, Heru memuji langkah mahasiswa –dan alumni; tetapi di sisi lain secara pribadi ia tak sepakat Pasal 2 ayat (1) UUP dipersoalkan. Pasal ini, kata dia sudah jelas. “Kalau saya sendiri cenderung apa yang ada sekarang sudah baik. Untuk saya sudah memadai dan cukup,”  jelasHeru.

Menurut Heru menikah merupakan masalah privat. Sedangkan Indonesia merupakan negara yang berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa,  sehingga perkawinan dilakukan menurut hukum agama masing-masing. Pernikahan beda agama juga tidak perlu dilarang negara. Biarkan agama yang mengaturnya.

“Yang tidak boleh itu adalah ketika agamanya dibatasi. Kalau dibatasi enam saya tidak setuju. Karena kita punya akar kebudayaan yang berbeda, Negara punya policy, ini kan cuman pilihan hukum saja, choice of law. Saya sepakat (Pasal  2 ayat 1 UUP—red)) tetap dipertahankan,” ujar Heru.

Meskipun demikian, ia tetap mempersilakan pihak lain yang tak setuju menempuh upaya hukum. “Silakan kalau pihak lain menguji,” pungkasnya.

Kini, tinggal menunggu pelaksanaan sidang perdana yang sudah dijadwalkan pada 4 September mendatang. Pada hari yang sama MK akan menyidangkan judicial review UUP yang dimohonkan Yayasan Kesehatan Perempuan.

Atas pemberitaan ini, terdapat Hak Koreksi dari pada pemohon pengujian undang-undang terkait. Untuk melihat dokumen asli "Hak Koreksi", silakan klik di sini.

Ralat:
Paragraf 1, tertulis:
Seorang mahasiswa dan empat orang alumnius Fakultas Hukum (FH) Universitas Indonesia mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP).

Yang benar:
Seorang mahasiswa dan empat orang alumni Fakultas Hukum (FH) Universitas Indonesia mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP).

Paragraf 3, tertulis:
Anbar Jayadi, mahasiswa hukum dimaksud, bersama beberapa alumni, yakni Rangga Sujud, Varida Megawati, Damian Agata, dan Lutfi Sahputra, meminta Mahkamah Konstitusi (MK) member tafsir atas Pasal 2 ayat (1) UUP.

Yang benar:
Anbar Jayadi, mahasiswa hukum dimaksud, bersama beberapa alumni, yakni Rangga Sujud, Varida Megawati, Damian Agata, dan Luthfi Sahputra, meminta Mahkamah Konstitusi (MK) member tafsir atas Pasal 2 ayat (1) UUP.

@Redaksi

Tags:

Berita Terkait