Aturan Penjualan Bank Gagal Potensial Rugikan Negara
Berita

Aturan Penjualan Bank Gagal Potensial Rugikan Negara

Wewenang LPS dalam penjualan saham bank gagal di bawah tingkat pengembalian optimal sebagai tindakan yang sah menurut hukum.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Prof Dr Nindyo Pramono SH, MS. Foto: SGP
Prof Dr Nindyo Pramono SH, MS. Foto: SGP
Majelis MK kembali menggelar sidang pengujian sejumlah pasal dalam UU No. 7 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU No. 24 Tahun 2004 tentang LPS dan UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang dimohonkan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Kali ini majelis mengagendakan pemeriksaan sejumlah ahli yang dihadirkan pemohon yakni Dosen Pidana UGM Zainal Arifin Mochtar dan Guru Besar FH UGM Prof Nindyo Pramono.

Awalnya, pemohon memohon pengujian Pasal 45 UU Pasar Modal dan Pasal 6 ayat (1) huruf d, Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), Pasal 42 ayat (5), Pasal 85 ayat (2), (3) UU LPS terkait kewenangan LPS mengambilalih hak dan wewenang pemegang saham dalam penanganan bank gagal berdampak sistemik. Namun, sebagian pengujian pasal dinyatakan dicabut.

“Pemohon mencabut sebagian beberapa pasal yang diuji yaitu Pasal 45 UU Pasar Modal, Pasal 6 ayat (1) huruf d, Pasal 85 ayat (2), (3) UU LPS terkait persetujuan penjualan saham bank gagal dan kerahasiaan bank,” kata salah satu kuasa hukum pemohon,  Eri Hertiawan di hadapan majelis yang dipimpin Hamdan Zoelva di ruang sidang MK, Senin (1/9).      

Zainal dalam keterangannya, menilai Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), Pasal 42 ayat  (5) UU LPS potensial merugikan keuangan negara. Ketentuan itu dapat menganggu tugas dan fungsi LPS karena pengurus LPS dimungkinkan dapat dijerat tindak pidana korupsi dalam penanganan bank gagal yang berdampak sistemik atau tidak sistemik.

“Ketika LPS melakukan tindakan penyelamatan (bank gagal) tanpa perlindungan hukum karena dianggap dapat merugikan keuangan negara. Patut diingat adanya status uang negara dalam LPS, seperti tercantum dalam Pasal 81 UU LPS,” kata Zainal.  Pasal 81 UU LPS menyebutkan modal awal LPS maksimal Rp8 triliun yang merupakan aset negara yang dipisahkan.        

Dia menjelaskan model penjualan bank gagal yang diatur dalam pasal itu wajib dijual dalam batasan tertentu dan tahun yang ditentukan. Tahapan pertama, harus ada pengembalian optimal nilai uang penyertaan modal sementara yang diberikan oleh LPS. Jika dalam batas waktu dan tahun tertentu tidak ada pengembalian dapat diperpanjang beberapa kali hingga mendapatkan penawaran tertinggi.

Karena itu, lanjutnya, model penjualan saham bank gagal seperti itu sangat potensial memberikan kerugian besar terhadap keuangan negara dan premi nasabah bank yang berada di tangan LPS. Sebab, sikap pasar akan sangat mungkin menunggu hingga batas akhir penjualan agar dapat membeli bank gagal itu dengan harga jauh nilai optimal.      

“Ketentuan ini menempatkan LPS dalam posisi tidak (berimbang) menguntungkan atau merugi di hadapan pelaku usaha. Karena itu, pasal-pasal yang diuji tidak memenuhi syarat pembentukan norma karena tidak mencerminkan asas keseimbangan, keselarasan, dan keserasian antara kepentingan individu, masyarakat, dan negara,” kritiknya.

Menurutnya, dengan berlakunya pasal-pasal itu dimungkinkan pengurus LPS dapat dipidanakan lantaran dianggap merugikan keuangan negara dalam upaya penyelamatan bank gagal.  Padahal, kewenangan itu atas perintah peraturan perundang-undangan. Karenanya, pasal-pasal terkait kewenangan LPS dalam penyelematan bank harus dibatalkan secara keseluruhan.

“Jika tidak, MK bisa memberi tafsir atas kevakuman ketentuan mekanisme penjualan bank yang lebih berimbang yang dapat menutup kerugian negara dan publik atas premi yang ada di LPS,” sarannya.

Tidak Harmonis
Sementara, Prof Nindyo Pramono menilai adanya ketidakharmonisan norma antara Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), Pasal 42 ayat (5) UU LPS dengan UU Pemberantasan Korupsi, UU Keuangan Negara, dan UU Perbendaharaan Negara, dan UU BPK terkait keuangan negara. Sebab, ada “kegamangan” pengurus LPS ketika penjualan saham bank gagal yang dipastikan dibawah tingkat pengembalian optimal atau di bawah nilai penempatan modal.  

“Di sisi lain, hal itu bisa diartikan aparat penegak hukum sebagai kerugian negara yang ujungnya dapat dijerat UU Pemberantasan Korupsi,” tegasnya.    

Meski begitu, menurutnya wewenang LPS dalam penjualan saham bank gagal di bawah tingkat pengembalian optimal sebagai tindakan yang sah menurut hukum. Jika tindakan itu ditafsirkan berbeda menurut UU lain yang dapat dikualifikasikan telah merugikan keuangan negara.

“Ketiga pasal itu bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai tindakan penjualan LPS pada tahun ke-5 (pada bank gagal yang tidak berdampak sistemik) atau tahun ke-6 (pada bank gagal berdampak sistemik) tanpa memperhatikan tingkat pengembalian optimal merupakan tindakan yang sah. Seharusnya pihak lain tidak mempersoalkan hal tersebut,” harapnya.

Untuk diketahui, Kepala Eksekutif LPS Kartika Wirjoatmodjo memohon pengujian Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), Pasal 42 ayat (5) UU LPS terkait kewenangan LPS dalam penanganan penjualan saham bank gagal yang berdampak sistemik. Ketiga pasal belum memberikan perlindungan hukum yang memadai bagi LPS.

Karenanya, demi perlindungan dan kepastian hukum, ketiga pasal harus ditafsirkan apabila tahun ke-5 (pada bank gagal yang tidak berdampak sistemik) atau tahun ke-6 (pada bank gagal berdampak sistemik), pemohon dapat menjual saham bank gagal di bawah tingkat pengembalian yang optimal merupakan tindakan yang sah.
Tags:

Berita Terkait