Yayasan ‘Gugat’ Pencabutan Kekuasaan Soekarno
Utama

Yayasan ‘Gugat’ Pencabutan Kekuasaan Soekarno

Ini tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi menguji Ketetapan MPR.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Pemohon Murnanda Utama didampingi kuasanya Imam Syahtria dalam persidangan pendahuluan, Jumat (5/9). Foto: Humas MK
Pemohon Murnanda Utama didampingi kuasanya Imam Syahtria dalam persidangan pendahuluan, Jumat (5/9). Foto: Humas MK
Puluhan tahun sudah berlalu sejak Soekarno meletakkan jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia. Nyaris tak ada orang yang mempersoalkan secara hukum Ketetapan MPR yang mencabut kekuasaan dari tangan Soekarno.

Tetapi kini, puluhan tahun kemudian, Yayasan Mahakarya Pati membawa persoalan ini ke Mahkamah Konstitusi (MK). Murnanda Utama, Ketua Yayasan menjelaskan hingga kini tak ada proses peradilan yang menyatakan Soekarno terlibat dengan peristiwa G.30.S/PKI. Meskipun begitu, MPRS melalui Ketetapan No. XXXIII/MPRS/1967 mencabut kekuasaan Soekarno.  

“Kami Mahakarya Pati sebagai anak bangsa hanya ingin memulihkan nama baik Presiden Soekarno,” ujar Ketua Yayasan Mahakarya Pati, Murnanda Utama saat membacakan permohonannya dalam sidang pendahuluan yang diketuai Maria Farida Indrati di ruang sidang MK, Jumat (05/9).

Bab II Pasal 6 TAP MPRS itu menyebutkan, “Menetapkan, penyelesaian persoalan hukum selanjutnya yang menyangkut Dr. Ir. Soekarno dilakukan menurut ketentuan-ketentuan hukum dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan dan menyerahkan pelaksanaannya kepada pejabat presiden.”

Murnanda mengatakan TAP No. XXXIII/MPRS/1967 mengakhiri kedudukan Soekarno karena telah dituduh melaksanakan kebijaksanaan yang secara tidak langsung menguntungkan G-30S/PKI dan melindungi tokoh-tokohnya. Adanya ketetapan tersebut telah menciptakan stigma negatif terhadap nama baik Soekarno baik individu maupun sebagai bapak tokoh bangsa.

Secara yuridis formil Soekarno mendapat cap tersangka secara abadi dan tidak dapat dipulihkan nama baiknya. Sebab, faktanya penyelesaian hukum itu tidak pernah dilaksanakan hingga saat ini, sehingga tuduhan itu tidak pernah dibuktikan kebenarannya.

Menurutnya, masih berlakunya TAP MPRS ini bentuk justifikasi negatif. Padahal Bung Karno diberi gelar proklamator oleh Presiden Soeharto dan Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) juga memberikan gelar pahlawan. Hal ini bertentangan dengan prinsip negara hukum dan kepastian hukum yang adil seperti dijamin Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Menanggapi permohonan ini, anggota majelis panel Muhammad Alim mengingatkan ketentuan yang diajukan  pemohon pernah diputuskan oleh Mahkamah dan putusannya tidak menerima. “Kewenangan MK hanya menguji UU terhadap UUD, MK tidak berwenang menguji TAP MPR,” kata Muhammad Alim.

Muhammad Alim meminta pemohon membandingkaan dengan putusan MK No. 24/PUU-XI/2013 yang dimohonkan Hj Rachmawati Soekarnoputri. Dalam putusan ini, MK menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima karena Mahkamah tidak berwenang menguji TAP MPR.

Panel lainnya, Aswanto juga meminta penjelasan terkait kerugian pemohon terkait belum dicabutnya TAP MPRS itu. “Pemohon harus bisa menguraikan kerugian konstitusionalnya sebagai badan hukum yayasan tasa berlakunya TAP MPRS itu,” saran Aswanto.

Ketua Panel Maria Farida menegaskan MK tidak berwenang TAP MPR karena Ketetapan MPR bukan peraturan perundang-undangan dan tidak berlaku umum, hanya berlaku pada seseorang. Menurut dia MK tidak bisa memerintahkan MPR mencabut ketetapan tersebut, karena kewenangan MK memutus setingkat UU, sedangkan MPR itu membuat UUD.

“Cara memulihkan (nama baik) tidak perlu mencabut ini. Cukup dengan pemberian anugerah, maka kedudukan Soekarno kembali diangkat kembali. Kalau ini dicabut ini berlebihan,” katanya.
Tags: