Klien Bisa Dirugikan Bila RUU Advokat Diberlakukan
Utama

Klien Bisa Dirugikan Bila RUU Advokat Diberlakukan

Karena tidak ada standarisasi.

Ali Salmande/Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) David ML Tobing. Foto: SGP.
Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) David ML Tobing. Foto: SGP.
Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) David ML Tobing menilai klien selaku konsumen dari jasa hukum berpotensi dirugikan bila Rancangan Undang-Undang Advokat yang sedang dibahas di DPR dan Pemerintah diberlakukan.

Ia mengatakan advokat harus terikat pada standar resmi yang ketat, agar ada kepastian hukum bagi konsumen (klien). Ini yang dinilai David tidak ditemukan dalam RUU Advokat yang menggunakan sistem multibar (banyak organisasi advokat). “Jadi, standarnya bisa berbeda-beda,” ujarnya.

“Advokat pada setiap aktivitas pelayanan hukum yang diberikan harus terikat dengan standar resmi yang ditetapkan sehingga sama sekali tidak ada peluang untuk mengadakan penyimpangan,” ujar pria yang dikenal sebagai pengacara konsumen ini dalam diskusi di Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta, Senin (9/9).

Lebih lanjut, David mengatakan hal tersebut sudah diamanatkan oleh Pasal 3 huruf d UU Perlindungan Konsumen. Ketentuan itu berbunyi, ‘Perlindungan konsumen bertujuan menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi’.

David berpendapat standar resmi bagi advokat ini dibagi dalam dua tahap, yakni pada tahap pra pemberian jasa dan pasca pemberian jasa. Pada tahap pra pemberian jasa, di antaranya, mencakup pendidikan profesi advokat dan ujian. “Standarisasi kurikulum untuk menjamin kualitas pemberi jasa hukum. Untuk itu, harus ada satu lembaga yang membuat standarisasi pendidikan profesi advokat,” ujarnya.

“Hal ini tidak mungkin apabila dianut sistem multibar,” tambahnya.

Sedangkan, pada tahap pasca pemberian jasa, mencakup monitoring dan evaluasi. Ia melihat bahwa RUU Advokat tidak memberikan kepastian hukum adanya satu lembaga khusus untuk memonitoring dan mengevaluasi advokat. Pasalnya, dalam RUU Advokat ini, setiap organisasi advokat dapat membuat dewan kehormatannya sendiri (Pasal 32 ayat (1)).

David menilai UU No.18 tentang 2003 tentang Advokat sudah cukup tepat untuk menjamin standarisasi yang berujung kepada keuntungan klien tersebut, meski ada beberapa hal yang belum mencapai target dan mesti dipenuhi. “Keberadaan UU Advokat saat ini sudah mendukung proses standarisasi dan kualitas pemberian jasa hukum oleh advokat,” ujarnya.

Standarisasi itu bisa terwujud karena UU Advokat yang berlaku saat ini menggunakan sistem single bar atau wadah tunggal. Ia melihat memang ada banyak calon advokat yang protes karena tidak lulus ujian yang dilaksanakan oleh Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI). “Memang, banyak yang protes tidak lulus. Tapi itu baik untuk memenuhi standar kualitas,” tambahnya.

“Jika RUU Advokat diloloskan maka RUU tersebut berpotensi mengancam eksistensi standar mutu advokat dan akhirnya berujung pada buruknya jaminan perlindungan konsumen,” sebutnya.

Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Chandra M Hamzah menilai bahwa carut marut organisasi advokat yang terjadi selama ini telah merugikan sejumlah pihak. Yakni, masyarakat, klien, calon advokat, hingga advokat itu sendiri.

Chandra yang merupakan partner pada firma hukum Assegaf Hamzah and Partners (AHP) ini berpendapat carut marut organisasi advokat yang ada saat ini seharusnya bukan diselesaikan dengan cara merevisi UU Advokat. “Seandainya RUU Advokat ini diundangkan pun tidak akan menyelesaikan masalah,” ujarnya pada kesempatan yang sama.

Lebih lanjut, Chandra menilai kebiasaan advokat bertarung di pengadilan yang menganggap kliennya selalu benar, dan lawannya salah, kerap terbawa ke setiap lini. “Profesi kita kan seakan mengajarkan kita bahwa klien saya benar, anda salah. Dan ini dibawa dalam mengurus organisasi advokat,” tuturnya.

“Untuk menyelesaikan persoalan ini, yang dibutuhkan adalah leadership (kepemimpinan,-red). Jangan gunakan pendekatan yuridis,” pungkasnya.  

Sebelumnya, Anggota Panja RUU Advokat Nudirman Munir mengatakan, advokat merupakan profesi terlantar yang diterlantarkan. Menurutnya, advokat acapkali dipandang sebelah mata oleh penegak hukum lainnya. Oleh karena itu, perlu diperkuat peran dan fungsi advokat. Menurutnya, keberadaan DAN dalam RUU Advokat merupakan bagian penguatan advokat.

Meski nantinya dimungkinkan banyak organisasi advokat maupun hanya satu organisasi advokat, tetap satu kode etik advokat. Nah, keberadaan DAN ini nantinya memiliki peranan yang cukup banyak dalam penegakkan kode etik. Ia tak menampik, banyak organisasi advokat yang ada saat ini memiliki kode etik masing-masing.

Ia khawatir jika saja terdapat advokat yang merupakan anggota organisasi advokat tertentu dipecat karena diduga pelanggaran etik dapat berpindah ke organisasi lainnya. Untuk itulah, DAN akan bersikap objektif dalam menentukan sikap atas dugaan pelanggaran etik yang diduga dilakukan advokat.

Menurutnya, anggota dewan advokat terdiri dari mantan advokat senior, akademisi, dan tokoh masyarakat. Memang idealnya komposisi lebih didominasi dari kalangan mantan advokat. “Jadi mereka yang duduk tidak punya kepentingan. Sehingga sanksi yang diberikan jadi objektif,” ujar Nudirman.
Tags:

Berita Terkait