Langsung atau DPRD, Politik Uang Tetap Terbuka
RUU Pilkada:

Langsung atau DPRD, Politik Uang Tetap Terbuka

Pilkada serentak diyakini salah satu cara menghemat.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Foto: KHN
Foto: KHN
Proses pembahasan RUU Pilkada terus dikebut. Hingga Rabu (24/9) siang, kata Ketua Fraksi PKB Marwan Jafar, masih ada beberapa isu yang dibahas intensif. Ada sejumlah opsi yang dipersiapkan baik oleh pemerintah maupun DPR. Termasuk opsi dalam penyelenggaraan pilkada, apakah langsung atau lewat DPRD, apakah kepada daerah dipilih dalam satu paket atau tidak. Namun ia memastikan PKB tetap mendukung pilkada langsung.

“Pilkada langsung adalah hasiul reformasi yang paling monumental dari sisi keterlibatan rakyat berdemokrasi,” ujar Marwan via telepon dalam diskusi mengenai RUU Pilkada yang diselenggarakan Komisi Hukum Nasional (KHN), Rabu (24/9).

Sekretaris KHN Mardjono Reksodiputro lebih menekankan pada upaya bersama untuk mencegah politik uang dan praktek korupsi lain dalam penyelenggaraan pilkada. Prof. Mardjono percaya, mekanisme manapun yang dipilih, tetap membuka peluang politik uang. “Resiko korupsinya sama,” kata Mardjono dalam diskusi tersebut.

Karena itu, Mardjono mengingatkan isu utama yang perlu disorot dalam RUU Pilkada adalah mencegah korupsi. Selama ini rencana mengubah mekanisme pilkada dari langsung ke DPRD juga didasari mahalnya biaya politik dan sosial pilkada langsung. Biaya politik tampak dari pembagian uang oleh calon kepada konstituen, biaya pembuatan iklan kampanye, dan ‘biaya perahu’ – istilah yang dipakai untuk biaya dukungan dari partai politik kepada si calon. Biaya sosial timbul karena di beberapa daerah terjadi konflik antarkelompok masyarakat selama pilkada.

Fenomena anggota Dewan menggadaikan surat keputusan pengangkatannya untuk meminjam dana ada kaitannya dengan mahalnya biaya yang dikeluarkan si calon. Utang yang timbul selama kampanye pilkada harus ditutupi segera. Menurut Mardjono, peluang korupsi itulah yang harus ditutup rapat-rapat.

Namun Wakil Ketua Perludem, Didik Supriyanto, menepis argumentasi yang dibangun pemerintah. Argumentasi tentang biaya yang mahal, misalnya, bisa ditekan dengan menyelenggarakan pilkada serentak. Demikian pula argumen tentang konflik sosial. “Konflik biasanya terjadi jika KPU-nya tidak profesional,” ujarnya.

Didik sependapat betapa pentingnya mencegah politik transaksional dalam pilkada. Transparansi seluruh proses, termasuk mekanisme pencalonan, bisa mengurangi politik transaksi. Ia percaya pemilihan lewat DPRD juga berpeluang disalahgunakan. Bahkan korupsinya bisa lebih besar.

Prof. Mardjono berpendapat pilkada langsung bisa mendidik rakyat berdemokrasi. Selain mendidik bagaimana cara memilih wakil, juga mendidik rakyat bagaimana mengawasi orang yang mereka pilih, hingga memberikan sanksi politik jika yang dipilih ingkar janji.
Tags:

Berita Terkait