Pengisian Jabatan di DPR Open Legal Policy
Berita

Pengisian Jabatan di DPR Open Legal Policy

PDIP mempertimbangkan untuk melaporkan tujuh hakim konstitusi ke Dewan Etik MK.

ASH
Bacaan 2 Menit
Pemohon Prinsipal (Ki-Ka) Junimart Girsang, Dwi Ria Latifa dan Trimedya Panjaitan saat mendengarkan amar putusan Pengujian UU MD3, Senin (29/9). Foto: Humas MK
Pemohon Prinsipal (Ki-Ka) Junimart Girsang, Dwi Ria Latifa dan Trimedya Panjaitan saat mendengarkan amar putusan Pengujian UU MD3, Senin (29/9). Foto: Humas MK
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) nampaknya harus berlapang dada atas ditolaknya pengujian sejumlah pasal dalam UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) terkait pemilihan pimpinan DPR dan sejumlah alat kelengkapan DPR.

Putusan ini meneguhkan kalau partai pemenang pemilu tidak secara otomatis menjadi pimpinan DPR dan pimpinan alat kelengkapan DPR lainnya. Dengan begitu, ketua DPR, ketua komisi, dan alat kelengkapan DPR lainnya tetap dipilih dari dan oleh anggota DPR. “Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua Majelis MK Hamdan Zoelva saat membacakan putusan bernomor 73/PUU-XII/2014 di ruang sidang MK, Senin (29/9).

PDIP mempersoalkan aturan mekanisme pemilihan pimpinan DPR, pimpinan komisi, pimpinan Badan Legislasi, Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP), pimpinan Badan Anggaran. Lalu, mekanisme pemilihan Mahkamah Kehormatan DPR (MKD), pimpinan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT), tetapi Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) justru dihilangkan, dan adanya hak imunitas anggota DPR saat menjalani proses hukum.

Dalam putusannya, MK mengamini eksepsi yang diajukan pihak terkait (anggota DPR terpilih partai Golkar) bahwa PDIP tidak memiliki legal standing (kedudukan hukum) untuk mengajukan permohonan. Untuk dalil permohonan, MK menilai UUD 1945 tidak menentukan bagaimana susunan organisasi lembaga DPR termasuk cara dan mekanisme pemilihan pemimpinnya.

Dengan demikian, mekanisme pemilihan pimpinan masuk wilayah kebijakan pembentuk UU (open legal policy) untuk mengaturnya. Karena itu, perubahan mekanisme pemilihan dan alat kelengkapan DPR dalam UU MD3 tidak bertentangan dengan prinsip kepastian hukum yang adil.

Lagipula, alasan PDIP yang mengatasnamakan kedaulatan rakyat dalam ranah pemilihan ketua DPR tidak berdasar. Sebab, pemilihan umum hanya untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden serta DPRD, bukan memilih pimpinan DPR. Sehingga, masalah pemilihan pimpinan DPR menjadi hak dan kewenangan anggota DPR terpilih untuk memilih pimpinannya yang akan memimpin lembaga DPR.

MK memandang kebijakan tersebut lazim dilakukan dalam sistem presidensial dengan sistem multipartai karena sistem pengelompokan anggota DPR menjadi berubah ketika berada di DPR berdasarkan kesepakatan masing-masing. Kesepakatan dan kompromi politik di DPR untuk ketua dan pimpinan DPR sangat dimungkinkan karena tidak ada parpol yang memperoleh mayoritas kursi.

“Kompromi dan kesepakatan berdasarkan kepentingan tidak bisa dihindari, berdasarkan pertimbangan tersebut menurut mahkamah mekanisme pemilihan pimpinan DPR dan alat kelengkapan DPR adalah kebijakan hukum terbuka dari pembentuk UU yang tidak bertentangan dengan UUD 1945,” ujar Hakim Konstitusi Patrialis Akbar.

Meski mayoritas hakim konstitusi menolak, putusan permohonan PDIP ini diwarnai dissenting opinion (pendapat berbeda) dari dua hakim konstitusi yakni Arief Hidayat dan Maria Farida Indrati.

Dalam dissenting opinion-nya hakim Arief Hidayat menilai UU MD3 sejak lahir mengalami cacat baik secara formil maupun materil materi muatannya. Sebab, dalam memutus norma UU MD3 perlu ditelusuri dan dipastikan apakah lembaga yang memutus ketentuan tersebut telah menggunakan prinsip hukum, menjaga imparsialitas dan mengesampingkan kepentingan dirinya, serta menempatkan amanat konstitusi. Karenanya, untuk menghindari adanya kepentingan pribadi perubahan UU MD3 harus dilakukan jauh sebelum diketahui hasil pemilihan umum legislatif 2014.

“Atas dasar pertimbangan tersebut di atas, saya berpendapat seharusnya permohonan Pemohon mengenai pengujian formil maupun materiil UU MD3 ini dikabulkan dan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” papar Arief.

Senada dengan Arief, Maria Farida pun menilai pembentukkan UU MD3 berdampak kerugian konstitusional dari anggota dan/atau lembaga-lembaga yang eksistensinya diatur dalam UUD 1945,khususnya dalam pembentukan dan pemilihan pimpinan lembaga dan alat kelengkapan dalam MPR, DPR, dan DPD.

Sebab, dia menilai pembentukkan UU tersebut dilakukan setelah dilaksanakan proses pemilu. Sehingga, tidak sesuai dengan prinsip negara yang berdasar atas hukum. “Saya berpendapat permohonan pemohon tentang pengujian formil terhadap pembentukan UU 17Tahun 2014, seharusnya dikabulkan dan UU MD3 dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.”

Menanggapi putusan, Ketua DPP Bidang Hukum PDIP, Trimedya Panjaitan justru menuding MK tidak melakukan proses persidangan sesuai dengan hukum acara yang berlaku. MK seharusnya melakukan uji materi secara komprehensif  dengan mendengarkan keterangan saksi dan ahli terlebih dahulu. Namun, dalam persidangan ini, ruang untuk mendengarkan saksi dan ahli tidak diberikan.

“Kami melihat ada hukum acara yang dilanggar MK dalam membuat putusan. Ada kepentingan agar ini segera diputus, seyogyanya ada putusan sela,” protes Trimedya usai persidangan.

Terlebih, putusan ini adanya pendapat berbeda dari dua hakim konstitusi yang menunjukkan ada pelanggaran dan kesan terburu-buru dalam memutus permohonan ini. Dia mengatakan jarang sekali MK mengeluarkan pendapat berbeda apalagi terkait uji materi yang mendapatkan perhatian besar dari masyarakat.

“Ini menunjukkan putusan ini dipaksakan dan tidak bulat. Kami pertimbangkan akan laporkan hakim konstitusi diluar dissenting opinion ke Dewan Etik MK supaya diperiksa,” tutupnya.
Tags:

Berita Terkait