Belasan UU Tak Layak Jadi Undang-Undang
Berita

Belasan UU Tak Layak Jadi Undang-Undang

Kesalahan berpikir bahwa semua aspek kehidupan harus diatur dengan Undang-Undang.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Suasana presentasi hasil penelitian Bayu Dwi Anggono, Peneliti Pusat Kajian Konstitusi FH Universitas Jember di kantor PSHK, Selasa (7/10). Foto: www.pshk.or.id
Suasana presentasi hasil penelitian Bayu Dwi Anggono, Peneliti Pusat Kajian Konstitusi FH Universitas Jember di kantor PSHK, Selasa (7/10). Foto: www.pshk.or.id
Amandemen UUD 1945 telah menggeser kekuasaan membentuk Undang-Undang (UU) dari Presiden ke DPR. Meskipun demikian, UUD tetap mengharuskan persetujuan bersama atas suatu RUU agar bisa disahkan menjadi Undang-Undang. Pergeseran juga terjadi pada materi yang akan diatur dengan Undang-Undang, seolah-olah semua aspek kehidupan perlu diatur dengan Undang-Undang. Akibatnya, banyak UU yang dari sisi materi tak layak dituangkan dalam bentuk Undang-Undang.

Bayu Dwi Anggono, peneliti Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Jember, mengatakan ada belasan UU yang tak layak disebut sebagai Undang-Undang. Untuk kepentingan disertasinya di Universitas Indonesia, Bayu telah meneliti 428 Undang-Undang selama periode 1999-2012. Dari jumlah itu, 200 diantaranya adalah UU di luar daftar kumulasi terbuka.

Dari 200 UU tersebut, Bayu menemukan 14 UU yang terindikasi tidak layak diatur dengan Undang-Undang atau materinya tidak layak diatur dengan Undang-Undang. Untuk memilah mana yang layak mana yang tidak, Bayu menggunakan 12 parameter gabungan dari pandangan sejumlah ahli hukum antara lain Prof. Jimly Asshiddiqie, Prof. Hamid Attamimi, Prof. Maria Farida, dan Prof. Soehino.

“Saya sudah sangat berhati-hati menetapkannya,” ujar Bayu dalam diskusi yang diselenggarakan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) di Jakarta, Selasa (07/10). Diskusi ini banyak membahas materi disertasi Bayu tentang perkembangan pembentukan Undang-Undang di Indonesia. “Terbuka penelitian lebih lanjut,” sambungnya, memberi kesempatan kepada kajian berikutnya untuk mematahkan argumentasi mengenai ketidaklayakan 14 UU sebagai Undang-Undang.

Sebagian dari Undang-Undang yang tak layak itu memang karena secara formal sudah diperintahkan untuk diatur dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP). Misalnya, UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Materi ini selayaknya diatur PP karena sudah diamanatkan dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Atau, UU No. 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan, karena sesuai dengan UU No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, industry khusus (pertahanan) seharusnya cukup diatur dengan PP. Demikian pula UU No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin, yang seharusnya diatur PP sesuai amanat UU No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.

Undang-Undang yang mengatur kelembagaan dan tidak layak menjadi Undang-Undang adalah UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, UU No. 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika; UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

Ada pula yang mengatur profesi seperti UU No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan; UU No. 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan, UU No. 12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka. Empat sisanya adalah  UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi; UU No. 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura; UU No. 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial; dan UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun.

Bayu meminta pembentuk Undang-Undang untuk taat asas, terutama asas materi hukum yang tepat. Jangan memaksakan diri membentuk Undang-Undang padahal dari sisi materi tidak layak diatur dengan Undang-Undang. Untuk itu, ia berharap ada upaya pengetatan baik di lingkungan pemerintah (Kementerian Hukum dan HAM) maupun di DPR (Badan Legislasi).
Tags:

Berita Terkait