Pemerintah: Larangan Rangkap Jabatan Konstitusional
Berita

Pemerintah: Larangan Rangkap Jabatan Konstitusional

Ketentuan Pasal 28 huruf d dan huruf e UU BPK dinilai jelas dan adil.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Ketua MK Hamdan Zoelva dan Hakim Konstitusi Wahiddudin Adams menyimak keterangan Pemerintah yang disampaikan oleh Mualimin Abdi dalam sidang Pengujian UU BPK, Senin (10/11). Foto: Humas MK
Ketua MK Hamdan Zoelva dan Hakim Konstitusi Wahiddudin Adams menyimak keterangan Pemerintah yang disampaikan oleh Mualimin Abdi dalam sidang Pengujian UU BPK, Senin (10/11). Foto: Humas MK
Ketentuan larangan rangkap jabatan anggota BPK dalam Pasal 28 huruf d dan e UU No. 15 Tahun 2006 tentang BPK dipersoalkan Ai Latifah Fardhiyah dan Riyanti. Keduanya  berprofesi sebagai advokat dan asisten notaris yang berniat menjadi pejabat publik termasuk anggota BPK. Frasa “lembaga negara lain” dalam pasal itu mengandung ketidakjelasan tafsir yang tidak adil bagi pemohon ketika mengikuti seleksi calon anggota BPK.

Menanggapi pengujian itu, pemerintah menganggap para pemohon keliru memahami substansi Pasal 28 huruf d dan e UU BPK.  “Ketentuan itu sudah secara tegas dan jelas mengatur mengenai norma larangan anggota BPK, bukan calon anggota BPK,” kata Kepala Badan Litbang Kemenkumham Mualimin Abdi saat membacakan tanggapan pemerintah dalam sidang pengujian UU BPK di ruang sidang MK, Senin (10/11).

Pasal 28 huruf d UU BPK menyebutkan ‘anggota BPK dilarang: d. merangkap jabatan dalam lingkungan lembaga negara lain dan badan-badan lain yang mengelola keuangan negara, swasta nasional/asing dan atau e menjadi anggota partai politik.   

Mualimin menegaskan larangan rangkap jabatan bagi anggota BPK dalam lingkungan negara dimaksudkan menjaga kebebasan dan kemandirian BPK dari ketergantungan pemerintah. Dalam hal kelembagaan, pemeriksaan, dan pelaporan, kemandirian sangat diperlukan BPK melaksanakan tugas.   

Mualimin mengatakan larangan rangkap jabatan sebagai anggota partai politik juga untuk menghindari terjadinya konflik kepentingan dan mengganggu independensi BPK. Hal ini juga sesuai dengan ketentuan larangan rangkap jabatan anggota lembaga negara lain seperti KPK, KY, KPU, dan lain-lain. “Ketentuan Pasal 28 huruf d dan huruf e dan itu jelas dan adil, sehingga tidak bertentangan dengan UUD 1945,” ujar Mualimin.   

Ketentuan yang mengatur rangkap jabatan itu berpotensi merugikan para pemohon ketika mengikuti proses seleksi menjadi anggota BPK di masa depan akibat ketidakjelasan tafsir pasal itu.

Misalnya, frasa “lembaga negara yang lain” dalam Pasal 28 huruf d menimbulkan multitafsir bila ada calon anggota BPK yang lolos seleksi. Padahal yang bersangkutan masih bertugas sebagai anggota lembaga negara lain, misal Dewan Perwakilan Rakyat dan masih menjadi anggota partai politik saat dinyatakan lulus seleksi.

Karena itu, para pemohon meminta MK memberi penjelasan terhadap frasa “lembaga negara yang lain”, apakah mengenai lembaga negara yang secara langsung berhubungan dengan fungsi dan kewenangan mengatur, mengawasi, dan memeriksa keuangan negara atau lembaga negara yang dipahami dalam pengertian lembaga negara secara umum.
Tags:

Berita Terkait