Menaker Terbitkan Peraturan Perlindungan PRT
Berita

Menaker Terbitkan Peraturan Perlindungan PRT

Jaringan advokasi tetap menginginkan dalam bentuk Undang-Undang.

ADY
Bacaan 2 Menit
Menaker, Muh Hanif Dhakiri. Foto: RES
Menaker, Muh Hanif Dhakiri. Foto: RES
Menteri Ketenagakerjaan, Hanif Dhakiri, telah menerbitkan Permenaker No. 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan PRT. Ia berharap peraturan itu bisa menjadi terobosan hukum untuk melindungi PRT. Sebab selama ini Indonesia belum punya UU yang khusus mengatur pekerja domestik atau PRT.

“Oleh karena itu terobosannya adalah kita buat Permenaker yang secara substansi inline dengan sejumlah ketentuan yang terkait dengan perlindungan tenaga kerja secara internasional,“ kata Hanif sebelum menerima audiensi JALA PRT (Jaringan Advokasi Pekerja Rumah Tangga) dan Komite Aksi Perlindungan PRT dan Buruh Migran (KAPPRT-BM) di Kantor Kemenaker di Jakarta, Selasa (20/1).

Hanif menjelaskan proses pembuatan Permenaker tentang Perlindungan PRT itu sudah dilakukan sejak lama dan melibatkan banyak pemangku kepentingan. Permenaker itu ditujukan memberi perlindungan terhadap PRT, sehingga negara hadir dalam memberi perlindungan kepada pekerja tak terkecuali sektor domestik atau PRT.

Walau mengutamakan perlindungan, dikatakan Hanif, Permenaker itu tetap menghormati budaya dan adat istiadat yang ada di masyarakat. Pasalnya, pola pekerja domestik di Indonesia beragam, ada yang jadi PRT karena bagian pengabdian dan hubungan keluarga. Namun, apapun polanya PRT tetap berhak mendapat perlindungan.

Sebagai bentuk perlindungan, Hanif menandaskan Permenaker itu mengatur dalam perjanjian kerja harus disebut hak normatif dan kewajiban PRT. Misalnya hak atas upah, libur, cuti, istirahat dan hak untuk beribadah.

Lembaga penyalur PRT yang melanggar aturan terancam kena sanksi, mulai peringatan tertulis hingga penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha. Yang fatal adalah pencabutan izin. “Sampai pencabutan izin oleh Gubernur,” tukasnya.

Permenaker tentang Perlindungan PRT mengatur pembinaan dan pengawasan lembaga penyalur PRT dilakukan oleh Gubernur atau pejabat yang ditunjuk. Termasuk soal pemberian, perpanjangan dan pencabutan izin.

Lita Anggraini mengapresiasi niat baik Menaker. Tetapi Koordinator Nasional JALA PRT ini  menilai melindungi PRT tidak cukup dengan Permenaker. Kekuatan hukum Peraturan Menteri relatif lemah dibanding Undang-Undang. “Permenaker itu tidak dibuat berdasarkan amanat UU,” urainya.

Lita tak yakin Permenaker bisa menghadirkan negara dalam banyak kasus PRT. Hak-hak PRT tak secara tegas dicantumkan dalam Permenaker, sehingga kesepakatan mengenai standar upah minimum, libur dan hak untuk berorganisasi tetap berpijak pada kesepakatan PRT dengan majikan. Begitu pula perjanjian kerja yang dibuat antara majikan dan PRT tidak wajib tertulis, bisa dilakukan secara lisan sebagaimana yang berlangsung selama ini.

Lita melanjutkan, batasan situasi kerja juga tidak diatur dalam Permenaker itu. Seperti batasan jam dan beban kerja. Ia menilai pengaturan hak-hak normatif PRT diserahkan pada kesepakatan dalam perjanjian kerja antara majikan dan PRT yang bersangkutan. Padahal posisi itu tidak setara karena PRT berada di pihak yang lemah. “Kalau posisinya begitu bagaimana bisa menyebut negara hadir?,” tegasnya.

Lita berpendapat Permenaker itu lebih banyak mengatur lembaga penyalur PRT. Jika serius melindungi PRT, pemerintah harusnya mendorong terbitnya UU tentang Perlindungan PRT dan meratifikasi Konvensi ILO No. 189. Menurutnya, perlindungan terhadap PRT merupakan amanat konstitusi.
Tags:

Berita Terkait