Uji Aturan PK Tidak Menunda Eksekusi Disidangkan
Berita

Uji Aturan PK Tidak Menunda Eksekusi Disidangkan

Majelis menganggap pengujian Pasal 263 ayat (1) dan Pasal 270 KUHAP menyangkut implementasi norma.

ASH
Bacaan 2 Menit
Kuasa hukum pemohon saat membacakan dalil-dalil permohonan dalam sidang perdana pengujian KUHAP, Senin (2/2). Foto: Humas MK
Kuasa hukum pemohon saat membacakan dalil-dalil permohonan dalam sidang perdana pengujian KUHAP, Senin (2/2). Foto: Humas MK
Majelis Panel Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar perdana uji materi Pasal 268 ayat (1) tentang KUHAP yang dipersoalkan ketika diajukan peninjauan kembali (PK).   Putusan MK No.      dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang dipimpin Aswanto di ruang sidang MK, Senin (2/2). Aswanto didampingi Wahidudin Adams dan Suhartoyo.     Terkait eksekusi mati ini, akhirnya MA mengeluarkan SEMA No. 7 Tahun 2014 yang membatasi PK hanya sekali lantaran eksekusi mati berkali-kali. Meskipun, SEMA itu nampaknya bertentangan dengan putusan MK No. 34 Tahun 2013. “Jadi, jalan keluar yang bagus memberi penegasan dan perluasan makna pengajuan PK tidak menunda dan menghalangi eksekusi termasuk hukuman pidana mati,” pintanya.   Karena itu, Boyamin meminta MK menyatakan Pasal 268 ayat (1) KUHAP inkonstitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk pula berlaku bagi putusan pidana mati. “Menyatakan Pasal 268 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk pula berlaku untuk putusan pidana mati,” demikian bunyi petitum dalam permohonannya.   Menanggapi permohonan, Wahidudin menyarankan bagian (kedudukan hukum) pemohon menyebutkan adanya korban-korban akibat berlakunya Pasal 268 ayat (1) KUHAP itu. “Ini bisa dijelaskan, korban-korban itu siapa saja dan menguraikan kerugian konstitusional pemohon. Ini juga kerugian pemohon atau kejaksaan? Ini harus diuraikan,” pintanya.   Dia pun meminta kejelasan permohonan ini menyangkut pertentangan norma atau implementasi norma. Soalnya, pemohon telah menyatakan Pasal 268 ayat (1) KUHAP sudah jelas. “Ini perlu diuraikan dalam permohonan,” sarannya.   Dalam sidang terpisah, seorang terpidana korupsi Emus Mustarman mempersoalkan Pasal 263 ayat (1) dan Pasal 270 KUHAP lantaran merasa hak pengajuan PK pernah ditolak Pengadilan Tipikor Bandung dengan dalih belum menerima salinan resmi putusan kasasinya. Salah satu kuasa hukum pemohon, Haitami menuturkan setelah putusan kasasi No. 519 K/Pid.Sus/2014 ditolak, pemohon mengajukan permohonan PK ke MA melalui Pengadilan Tipikor Bandung.   “Permohonan itu dijawab melalui surat No. W.11UI/3433/HN.02.02/IX/2014 yang menyatakan Pengadilan Tipikor Bandung belum bisa menerima permohonan PK karena seluruh berkas perkara kasasi belum dikirim oleh MARI ke pengadilan,” ujar Haitami di hadapan majelis yang diketuai Patrialis Akbar.   Pasal 263 ayat (1) KUHAP menyebutkan Pasal 270 menyebutkan

Dia melanjutkan atas penolakan permohonan PK itu, pemohon mengajukan permohonan sidang Praperadilan ke PN Cianjur dan Pengadilan Tipikor Bandung atas dasar penangkapan dan penahanan ilegal. Namun, lagi-lagi kedua permohonan praperadilan ditolak. “Semua upaya hukum yang ditempuh pemohon ditolak, sehingga penegak hukum tidak melaksanakan Pasal 263 ayat (1) dan Pasal 270 KUHAP yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945,” tuturnya.

Dalam petitumnya, para pemohon meminta MK agar Pasal 263 ayat (1) KUHAP dinyatakan  inkonstitusional bersyarat sepanjang dimaknai terpidana berhak mengajukan PK kapanpun waktunya. Sedangkan Pasal 270 khususnya frasa “salinan surat putusan” inkonstitusional bersyarat sepanjang dimaknai pelaksanaan putusan tetap dilakukan berdasarkan salinan putusan tetap bukan berdasarkan petikan putusan.

Atas permohonan ini, anggota majelis Panel Suhartoyo mengingatkan MK mengadili pertentangan norma undang-undang yang diuji dengan UUD 1945, bukan mengadili implementasi norma dalam kasus konkrit. Selain itu, dia mengingatkan sesuai Pasal 268 ayat (1) KUHAP, permohonan PK tidak menunda/menghalangi proses eksekusi.

“Jadi, untuk apa pemohon mempersoalkan petikan putusan yang tidak bisa dijadikan dasar eksekusi? Sebenarnya kedua pasal tersebut sudah jelas, kalau dipersoalkan nantinya akan semakin tidak jelas,” kritik Suhartoyo. “Kalau Saudara menghendaki bahwa itu harus salinan putusan itu kan sudah jelas, tidak perlu ada yang perlu dipersoalkan lagi. Ini hanya menyangkut penerapan norma”.
sidangUU No. 8 Tahun 1981Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) dan Lembaga Pengawasan dan Pengawalan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI). Hal ini dimaksud untuk membantu Kejaksaan agar tidak ragu ketika mengeksekusi terpidana mati

34/PUU-XI/2013yangmembatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang berimplikasi PK dapat diajukan berkali-kali dinilai menjadi kendala bagi Kejaksaan saat akan mengeksekusi terpidana mati yang tengah mengajukan PK. Karenanya, mereka meminta penegasan tafsir atas berlakunya Pasal 268 ayat (1) KUHAP bahwa PK tidak menunda proses eksekusi yang dikuatkan terbitnya SEMA No. 7 Tahun 2014 yang membatasi PK hanya sekali.   

“Ini yang sebenarnya dasar dan permintaan permohonannya karena kami juga punya kepentingan terkait hukuman mati yang tersebar di sejumlah undang-undang,” ujar Koordinator MAKI, Boyamin Saiman

Boyamin mengatakan permohonan ini sebenarnya menpertegas aturan yang sudah jelas. Sebab, pernyataan Jaksa Agung HM Prasetyo di sejumlah media hukuman mati tidak bisa dilaksanakan karena adanya putusan MK yang menyatakan pengajuan PK bisa diajukan berkali-kali. “Itu statement sudah dirangkum lengkap dalam permohonan kami,” lanjut Boyamin.

terhalang pengajukan PK



legal standing



Hak pengajuan PK




“Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada MA.”“Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya.”
Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait