Pengakuan Wilayah Adat Perlu Dipercepat
Berita

Pengakuan Wilayah Adat Perlu Dipercepat

Pemerintah pusat dan daerah dituntut punya terobosan.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Pengakuan Wilayah Adat Perlu Dipercepat
Hukumonline
Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang terdiri dari Epistema Institute, Perkumpulan HuMa, Walhi dan Kemitraan menuntut pemerintah mempercepat pengakuan wilayah adat dan perluasan wilayah kelola rakyat. Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengakui wilayah adat menjadi payung hukum yang kuat untuk pengakuan itu.

Menurut badan pengurus Perkumpulan HuMa, Chalid Muhammad, tuntutan itu sesuai dengan putusan MK No. 35/PUU-X/2012 yang intinya menyebut wilayah adat bukan milik negara. Selaras itu Nawa Cita yang diusung Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menunjukan komitmen pemerintah terhadap perluasan wilayah kelola rakyat.

Chalid menjelaskan dalam Nawa Cita yang dihasilkan Rumah Transisi, pemerintah berkomitmen mendistribusikan 40juta hektar wilayah untuk dikelola rakyat. Namun, dalam RPJMN 2015-2019 targetnya turun jadi 12,7 juta hektar. Walau turun,  jumlah itu berkali lipat lebih besar dari target yang pernah dicanangkan pemerintahan periode sebelumnya.

Agar target itu tercapai, Chalid mengusulkan pemerintah melakukan beberapa hal seperti pembenahan birokrasi di instansi terkait seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), komunikasi pemerintah pusat dan daerah. Serta regulasi terkait dan membuat roadmap tentang distribusi 12,7 juta hektar wilayah kelola rakyat.

"Dalam RPJMN pemerintah menargetkan minimal 12,7 juta hektar wilayah harus dikelola rakyat, harus tercapai dalam 5 tahun ini. Pemerintah harus serius menindaklanjuti itu," katanya dalam diskusi di kantor Perkumpulan HuMa di Jakarta, senin (13/4).

Walau begitu Chalid mengakui tidak mudah melakukan percepatan pengakuan wilayah adat dan perluasan wilayah kelola rakyat. Sebab, hal itu menuntut birokrasi untuk mengubah budaya kerjanya dari yang sebelumnya melayani kepentingan korporasi menjadi melayani rakyat. Ia menilai birokrasi terlihat mudah jika berurusan dengan korporasi terkait pengelolaan wilayah karena hanya perlu berkomunikasi dengan pihak perusahaan.

Jika pengelolaan itu akan diserahkan kepada rakyat, karakternya bisa berbeda karena semakin banyak orang yang diajak bicara. Misalnya, jika target distribusi 12,7 juta hektar wilayah itu meliputi 10 ribu desa, bisa saja memerlukan 10 ribu pendekatan yang berbeda kepada masyarakat. Tapi ia berpendapat akan lebih baik jika pemerintah punya terobosan sehingga percepatan bisa dilakukan.

Chalid menilai kerja-kerja yang dilakukan pemerintah pusat cukup membawa harapan. Misalnya, KemenLHK membentuk satgas Perhutanan Sosial. Walau belum bekerja optimal tapi keberadaan satgas itu bisa digunakan sebagai pintu masuk untuk membahas implementasi percepatan pengakuan wilayah adat dan perluasan wilayah kelola rakyat. Begitu pula dengan Kementerian Agraria yang berencana menetapkan 15 wilayah sebagai role model wilayah adat. Kemudian, MoU antara KemenLHK dan Kementerian Agraria untuk perluasan wilayah kelola rakyat.

Manager Program, Lingkungan dan Ekonomi Kemitraan, Hasbi Berliani, menilai untuk penetapan wilayah adat sebagaimana putusan MK No.35 sampai saat ini belum ada peraturan operasionalnya. Baik Undang-Undang atau peraturan di bawahnya. Padahal, peraturan tingkat nasional itu penting mendorong percepatan pengakuan wilayah adat.

Namun, Hasbi melihat pemda punya kewenangan menetapkan wilayah adat dengan menerbitkan peraturan daerah (perda). Masalahnya, tidak semua daerah punya komitmen untuk menetapkan wilayah adat.

Soal perluasan wilayah kelola rakyat, Hasbi melanjutkan, peraturan pendukung yang tersedia bentuknya masih sektoral seperti peraturan yang diterbitkan KemenLHK. Menurutnya, untuk memperkuat, dibutuhkan regulasi lintas sektoral sehingga bisa mendorong pemda untuk melaksanakan kebijakan perluasan wilayah kelola rakyat. “Dibutuhkan kebijakan nasional untuk mencapai 12,7 juta hektar wilayah kelola rakyat, bentuknya bisa Peraturan Presiden atau Instruksi Presiden,”
urainya.

Koordinator Program HuMa, Nurul Firmansyah, putusan MK No.35 mengakui masyarakat hukum adat sebagai subjek tapi bersyarat. Syaratnya, harus ada penetapan terhadap masyarakat hukum adat di wilayahnya masing-masing. Persoalannya, penetapan wilayah hukum adat yang dilakukan selama ini tidak seragam. Ada yang menggunakan basis UU Desa, UU Kehutanan dan Permendagri. Oleh karenanya pemerintah pusat perlu mensinkronkan berbagai varian itu.

Dalam menetapkan wilayah adat, Nurul mengatakan yang paling penting bagimana posisi wilayah adat kuat secara hukum setelah ditetapkan. Hal itu salah satunya bisa dilakukan dengan kebijakan yang diterbitkan Kementerian Agraria guna membuka pintu pendaftaran wilayah adat. “Itu bisa perkuat wilayah adat secara hukum,” tukasnya.
Tags:

Berita Terkait