Hasrat Hakim Ad Hoc Jadi Pejabat Negara Kandas di MK
Berita

Hasrat Hakim Ad Hoc Jadi Pejabat Negara Kandas di MK

Dalil permohonan para pemohon tidak beralasan menurut hukum.

ASH
Bacaan 2 Menit
Para pemohon pengujian UU ASN saat pembacaan putusan di ruang sidang MK, Senin (20/4). Foto: Humas MK
Para pemohon pengujian UU ASN saat pembacaan putusan di ruang sidang MK, Senin (20/4). Foto: Humas MK


Karena itu, para pemohon meminta MK menyatakan hakim ad hoc adalah pejabat negara pada semua badan peradilan di bawah MA dengan cara menyatakan Pasal 122 huruf e UU ASN sepanjang frasa “kecuali hakim ad hoc” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat bagi hakim ad hoc.

Dalam pertimbangannya, disebutkan penentuan kategori hakim ad hoc bukan sebagai pejabat negara tidak bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini mengingat sifat, pola rekrutmen, tidak adanya pembatasan usia berakhir masa tugasnya, serta ruang lingkup tugas dan kewenangan yang bersifat terbatas dan sementara.

Mahkamah menganggap tidak tepat apabila penegasan hakim karier dan hakim ad hoc sebagai pejabat negara merujuk pada Pasal 1 angka 1 UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang menyebut “Hakim adalah hakim karier dan hakim ad hoc”. Lalu, ketentuan itu dikaitkan dengan Pasal 31 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan “Hakim di bawah MA adalah pejabat negara.”

UUD 1945 tidak menentukan batasan dan kualifikasi apakah hakim termasuk pejabat negara atau bukan pejabat negara. Satu-satunya frasa pejabat negara dalam UUD 1945 terdapat dalam Pasal 24C ayat (5) UUD 1945  mengenai hakim konstitusi,” ujar Hakim Konstitusi Anwar Usman.  

Menurut Mahkamah kualifikasi hakim ad hoc apakah sebagai pejabat negara atau bukan merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang sewaktu-waktu dapat diubah pembentuk undang-undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan dan perkembangan. Dengan demikian, penentuan kualifikasi pejabat negara yang dikecualikan untuk hakim ad hoc sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang.

“Adanya perbedaan antara hakim ad hoc dan hakim karir, tidak serta merta menimbulkan perbedaan perlakuan sebagaimana dimaksud Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Justru akan menimbulkan diskriminasi apabila memperlakukan sama terhadap hal yang berbeda atau memperlakukan berbeda terhadap hal yang sama,” tegasnya.

Ditambahkan Mahkamah, walaupun antara hakim ad hoc dan hakim karier sama-sama berstatus hakim, tetapi karakter dan kebutuhan atas jabatannya berbeda. “Dalil permohonan para pemohon tidak beralasan menurut hukum.”   

Usai persidangan, salah seorang Hakim Ad Hoc pada MA, Prof Krisna Harahap mengaku kecewa dengan putusan pengujian UU ASN yang menolak permintaan sejumlah hakim ad hoc menjadi pejabat negara. “Kalau secara akal sehat, pastilah kecewa dengan putusan itu,” ujar Krisna.

Dia khawatir dengan ditolaknya pengujian Pasal 122 huruf e UU ASN ini, nanti setiap putusan pengadilan dimana hakim ad hoc turut mengadili dan memutus suatu perkara dipertanyakan keabsahannya oleh para pihak. “Kalau hakim ad hoc bukan pejabat negara, putusannya sah atau tidak?” kata Krisna.     
Demikian pula, ketika hakim ad hoc diduga melanggar etika, seharusnya KY tidak berwenang lagi memeriksa hakim ad hoc. “Kalau ada hakim ad hoc kawin lagi, memalsukan surat, seharusnya itu bukan kewenangan KY karena dia bukan pejabat negara. Tetapi, sekarang ada yang mau disidang di Majelis Kehormatan Hakim (MKH),” keluhnya.
Sejumlah perwakilan hakim ad hoc tampak kecewa seiring ditolaknya permohonan uji materi Pasal 122 huruf e UU Nomor 5 Tahun 2014tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Dalam putusannya bernomor 32/PUU-XII/2014, MK menyatakan menolak keinginan hakim ad hoc yang meminta status sebagai pejabat negara, seperti halnya hakim karier.

Sebelumnya, sebelas hakimad hoc mempersoalkan Pasal 122 huruf e UU ASN lantaran profesi hakim ad hoc bukan dianggap sebagai pejabat negara. Ketentuan itu menyebut semua hakim di lingkungan peradilan sebagai pejabat negara, kecuali hakim ad hoc. Menurut pemohon, seharusnya hakim ad hoc layak dianggap sebagai pejabat negara jika mengacu Peraturan Mensesneg No. 6 Tahun 2007 tentang Jenis dan Dasar Hukum Pejabat Negara dan Pejabat Lainnya disebutkan pengertian pejabat negara diangkat dan diberhentikan presiden. Faktanya, semua hakim ad hoc diangkat dan diberhentikan dengan Keppres.
 
Apabila hakim ad hoc tidak dianggap pejabat negara, konsekuensinya mereka boleh menerima gratifikasi dari pihak yang berperkara, dan tidak wajib melaporkan ke KPK. Soalnya, yang dilarang menerima gratifikasi adalah pejabat negara dan penyelenggara negara. Sementara hakim ad hoc bukan pejabat negara, melainkan hakim “outsourcing”. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan perlakuan diskriminatif.
Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait