Beberapa Hal yang Berpotensi Gagalkan Pilkada Serentak
Berita

Beberapa Hal yang Berpotensi Gagalkan Pilkada Serentak

Mulai elemen membengkaknya pembiayaan Pilkada yang dibebankan ke negara, kepesertaan, hingga penyelesaian sengketa Pilkada. Dari segi peraturan perundangan dinilai telah siap.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Suasana pemungutan suara Pilkada. Foto: SGP (Ilustrasi)
Suasana pemungutan suara Pilkada. Foto: SGP (Ilustrasi)
Sejumlah persoalan yang bakal dihadapi dalam perhelatan akbar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang akan digelar 9 Desember 2015. Mulai anggaran hingga kesiapan calon peserta Pilkada menjadi bayang-bayang keberlangsungan berhasil tidaknya Pilkada serentak.

Anggota Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Muhammad Mawardi, mengatakan banyak persoalan yang menggambarkan kondisi gagalnya penyelenggaraan Pilkada serentak. Sedikitnya terdapat 269 jabatan kepala daerah di berbagai daerah yang bakal diperebutkan para peserta. Ia berpandangan, jika terdapat satu daerah yang gagal melaksanakan pilkada, maka dapat dikatakan penyelenggaraan Pilkada serentak gagal.

“Karena jadi tidak serentak,” ujarnya dalam sebuah diskusi di Gedung DPD, Rabu (20/5).

Persoalan pendanaan menjadi masalah yang mesti dipertimbangkan. Penyelenggaraan Pilkada serentak yang awalnya dapat menghemat 30 persen dari anggaran sebelumnya, justru membengkak. Pada penyelenggaraan Pilkada sebelumnya, beban pendanaan dibebankan kepada calon peserta Pilkada. Mulai biaya atribut hingga perangkat peraga kampanye.

Namun, dalam UU No.8 Tahun 2015 tentang Pilkada, beban dana kampanye dibebankan kepada negara melalui APBN dan APBD. Ironisnya, biaya yang direncanakan efisien dan hemat, justru membengkak. “Ini berbeda dengan sebelumnya, kalau dalam UU Pilkada pembiayaan menjadi tanggungjawab negara,” katanya.

Hal lainnya terkait dengan kepesertaan. Sebagaimana diketahui, dua partai besar yakni Golkar dan PPP tengah mengalami konflik internal. Malah, upaya hukum yang ditempuh masing-masih kubu belum mendapatkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Hal ini berdampak adanya wacana usulan revisi UU Pilkada. Selain itu, penyelesaian sengketa Pilkada patut diperhitungkan. Pasalnya, sebagaimana amanat UU Pilkada, perlunya dibentuk badan penyelesaian sengketa.

Ia berharap agar Pilkada serentak dapat berjalan lancar, diperlukan sikap kenegarawanan dari masing-masing pihak bersengketa. “Saya berharap Menkumham berjiwa besar agar kepentingan bangsa lebih besar, bukan masuk ke persoalan dan menjadi runcing,” kata senator asal Kalimantan Tengah itu.

Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti, mengatakan terdapat beberapa hal yang mesti diperhatikan agar pelaksanaan Pilkada serentak berjalan lancar. Pertama, elemen publik. Menurutnya, publik mesti memahami makna Pilkada serentak yang akan digelar di penghujung 2015 mendatang.

“Karena  dalam satu provinsi bisa enam sampai tujuh Pilkada serentak,” ujarnya.

Kedua, kesiapan peserta. Selain terdapat 10 partai politik yang akan menjadi peserta, terdapat calon independen. Dengan kata lain terdapat 11 peserta. Dari 11 peserta itulah setidaknya terdapat 2 partai politik yang masih menunggu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Ketiga, elemen dana. Ia berpendapat dari 269 daerah, hanya 26 daerah yang sudah siap dengan APBD nya.

Keempat, peraturan perundangan. Menurutnya, peraturan dan perundangan yang mengatur pelaksanaan Pilkada serentak prinsipnya sudah cukup memadai. Namun munculnya wacana revisi UU Pilkada menjadi patut dipertanyakan apakah revisi UU Pilkada membuat Pilkada menjadi tidak terlaksana atau sebaliknya. Dari sejumlah catatan LIMA, Ray berpandangan pelaksanaan Pilkada sudah cukup siap.

Terkait dengan membengkaknya anggaran, Ray menyarankan agar KPU pusat membuat kajian. Menurutnya, KPUD mengajukan anggaran kepada Pemda. Oleh sebab itu, KPU pusat mesti menghitung secara detail mulai komponen terkecil hingga besar agar pembiayaan Pilkada dapat terhitung secara jelas.

“KPU nasional perlu melakukan kajian soal kebenaran pengajuan anggaran ke Pemda masing-masing. Jangan-jangan penganggaran itu tidak terkontrolnya pengawasan tehadap KPU daerah,” ujarnya.

Mantan Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, Djohermansyah Djohan, berpandangan tujuan pelaksanaan Pilkada serentak untuk efisiensi anggaran serta menghindari konflik. Saat menjabat Dirjen Otda, pihaknya telah menghitung pembiayaan Pilkada yang dilakukan tidak serentak. Namun setelah menjadi UU Pilkada, belakangan membengkak anggaran dana yang diluar perkiraan.

“Perhitungan kita waktu itu menghemat 60 persen, tetapi ada laporan menjadi membengkak.Penyebabnya adalah di UU ini biaya ditanggung para kandidat seperti baliho dan lainnya dan  menjadi tanggungan negara,” ujarnya.

Terkait dengan penyelesaian konflik partai, sudah menjadi ranah UU No.2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Namun, ia berpendapat jika Golkar dan PPP tidak mengikuti Pilkada serentak maka akan menjadi persoalan yang mesti mendapat perhatian. Ia berharap Golkar dan PPP tetap mengikuti Pilkada serentak.

“Jangan sampai gagal Pilkada serentak,” ujarnya.

Kendati demikian, dosen Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) itu berpandangan UU Pilkada telah memadai dalam pelaksanaan Pilkada serentak. Begitu pula dengan penyelesaian konflik partai sudah menjadi ranah UU Partai Politik. Dengan kata lain, UU Pilkada tak perlu dilakukan revisi. “UU Pilkada sudah siap. So far so ready,” ujarnya. 

Direktur Monitoring, Advokasi, dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Ronald Rofiandri, menilai wacana revisi UU Pilkada patut dipertanyakan. Pasalnya, dalam pembuatan maupun revisi UU mesti menganut asas kepatutan dan ketaatan terhadap UU sebagaimana tertuang dalam UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan.

“Wacana revisi itu belum memenuhi proses di UU No.12 Tahun 2011,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait