Sistem One Man One Vote Dinilai Lebih Konstitusional
Utama

Sistem One Man One Vote Dinilai Lebih Konstitusional

Mungkin cukup mengubah AD/ART terkait aturan teknis mekanisme pemilihan pengurus organisasi advokat.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Suasana protes dari DPC dalam Munas PERADI di Makassar, Maret lalu. Foto: RZK
Suasana protes dari DPC dalam Munas PERADI di Makassar, Maret lalu. Foto: RZK
Setelah (PERADI), Asosiasi Advokat Indonesi (AAI) bersama 14 advokat PERADI menyampaikan pandangan mereka dalam sidang lanjutan pengujian Pasal 28 ayat (1), (2)      

Faktanya, lanjut Humphrey, sistem perwakilan yang menetapkan per 30 anggota diwakili 1 advokat ini sebenarnya tidak mewakili DPC-DPC PERADI yang ada. Misalnya, seperti di DPC PERADI Jakarta Pusat dan DPC Jakarta Selatan yang anggotanya masing-masing sekitar 1.500-an advokat hanya diwakili maksimal 25 advokat. “Ada DPC yang hanya diwakili 12 advokat. Tergantung jumlah anggota PERADI di DPC itu,” kata Humphrey.    

Menurutnya, sistem perwakilan rentan menimbulkan manipulasi suara dan politik uang yang bisa dimanfaatkan kandidat ketua umum PERADI. Ia menduga ini terjadi saat Munas PERADI di Makassar beberapa waktu lalu. “Munas itu dijadikan ajang money politic, kasat matabagaimana uang itu dibagi-bagikan saat Munas berlangsung,” ungkapnya.

“Sistem perwakilan yang termuat dalam AD/ART PERADI sudah tidak bisa diterapkan lagi. Makanya, kita berharap harus ada pemaknaan Pasal 28 ayat (2) UU Advokat dengan sistem pemilihan langsung satu advokat dengan satu suara yang dituangkan dalam AD/ART.”

Diyakininya, dengan sistem pemilihan satu advokat dengan satu suara ini, bisa menjadi solusi mengatasi perpecahan di tubuh organisasi advokat dan mengembalikan marwah profesi advokat untuk lebih berkontribusi bagi kepentingan bangsa ini.      

Sudah jelas
Atas keterangan itu, hakim konstitusi Suhartoyo mencoba menyampaikan pandangan bahwa Pasal 28 ayat (2) sudah jelas mengatur kepengurusan organisasi advokat ditentukan oleh para advokat sendiri.
“Artinya, ya Bapak-Bapak ini yang menentukan susunan pengurus PERADI. Kita khawatir apabila dalam normanya ditegaskan one man one vote, bisa saja nantinya di AD/ART ‘dibelokkan’ lagi. Sebab, ini mengandung kepentingan berbeda-beda. Ini sebenarnya hanya dibutuhkan semangat persamaan,” kata Suhartoyo.

Hal senada disampaikan Hakim Konstitusi Aswanto yang menilai sebenarnya persoalan ini menyangkut penerapan norma. “Ini bukan persoalan konstitusionalitas norma, tetapi soal implementasi norma yang organisasinya sendiri yang ‘membelokkan’ AD/ART. Ini juga sudah kita nasihati saat sidang panel,” kata Aswanto.

Hakim berlatar belakang pidana itu menyarankan persoalan ini cukup mengubah AD/ART tentang aturan teknis mekanisme pemilihan pengurus organisasi advokat sesuai maksud dalam Pasal 28 ayat (2) UU Advokat. Sebab, pasal yang dimohonkan pengujian sudah cukup jelas.
“Mekanisme pemilihan langsung ini bisa dirumuskan dengan mengubah AD/ART PERADI. Misalnya, mekanisme pemilihannya dengan cara elektronik, tidak mengumpulkan para advokat di satu tempat.”

Menanggapi ini, Sekjen AAI Johnson Panjaitan mengakui pemilihan kepengurusan organisasi advokat ditentukan oleh para advokat dalam AD/ART. Namun, fakta menunjukkan apa yang ingin ditegakkan dalam pemilihan kepengurusan organisasi advokat dalam Munas berbeda.  
“Kata ‘AD/ART’ inilah yang jadi akar masalah, karena makna Pasal 28 ayat (2) UU Advokat kurang tegas sistem pemilihan yang dipakai, apalagi kalau mengikuti perkembangan sistem demokrasi (dalam pemilu) sudah mengarah sistem pemilihan langsung,” kata Johnson.

“Pilkada saja sudah langsung dan serentak, kenapa 28 ribu advokat tidak bisa melakukan demokrasi pemilihan pengurusnya secara langsung? Ini karena norma seperti ini (tidak jelas) mengakibatkan perpecahan. Apalagi, MK sendiri yang menyatakan organisasi advokat sebagai organ negara, yang selama ini tidak pernah ada konstribusinya dalam politik hukum nasional,” kritiknya.

Dia berharap bisa memutuskan persoalan ini dengan sebaik-baiknya agar perpecahan organisasi tidak semakin memburuk. “Pengujian UU Advokat sudah bertubi-tubi dipersoalkan, seiring dengan itu MK terus-menerus menegakkan nilai-nilai demokrasi dan konstitusi, tetapi organisasi advokatnya sendiri tidak kondusif menjalankan demokrasi.”       

Sebelumnya, sejumlah advokat yakni Ikhwan Fahrojih, Aris Budi Cahyono, Muadzim Bisri, dan Idris Sopian Ahmad mempersoalkan Pasal 28 ayat (1), (2) UU Advokat terkaitpenentuan susunan kepengurusan organisasi advokat. Dalam hal ini, pemilihan ketua umum DPN PERADI yang pada Munas April 2010 di Pontianak disepakati menggunakan sistem one man one vote.  Mereka menganggap Pasal 28 ayat (2) UU Advokat multitafsir karena dapat ditafsirkan sistem perwakilan atau one man one vote.

Para pemohon merasa ketentuan itu melanggar hak konstitusionalnya termasuk para advokat lain yakni melanggar hak mengeluarkan pendapat, kepastian hukum yang adil, dan hak untuk tidak didiskriminasi selaku profesi advokat. Sebab, hanya sebagian kecil advokat yang diberi hak memilih calon ketua umum PERADI, sebagian besarnya termasuk para pemohon tidak diberi hak memilih.

Menurutnya, Pasal 28 ayat (2) UU Advokat ini mengandung makna kedaulatan tertinggi ada di tangan para advokat sendiri terkait pemilihan kepengurusan organisasi advokat. Namun, hal ini dimaknai kurang tepat melalui Pasal 32 AD PERADI Desember 2004 dimana hak suara dalam Munas diwakili DPC dengan ketentuan setiap 30 anggota PERADI di suatu cabang memperoleh satu suara (perwakilan). Karenanya, mereka meminta MK menafsirkan Pasal 28 UU Advokat sepanjang dimaknai tata cara pemilihan pengurus pusat organisasi advokat dilakukan para advokat secara individual yang ditetapkan dalam AD/ART.
Perhimpunan Advokat IndonesiaUU No. 18 Tahun 2003tentang Advokat terkait mekanisme pemilihan pengurus PERADI. Dalam keterangan di depan persidangan Mahkamah Konstitusi, mereka mendukung permintaan pemohon agar pemilihan pengurus PERADI dengan sistem one man one vote (satu advokat, satu suara) karena sistem ini lebih konstitusional ketimbang sistem perwakilan.

“Sistem one man one vote bisa lebih konstitusional dan bisa dipertanggungjawabkan, serta bisa membawa perubahan organisasi advokat ke arah yang lebih baik,” ujar Ketua Umum AAI, Humphrey Djemat saat memberikan keterangan sebagai pihak terkait dalam sidang lanjutan pengujian UU Advokat di gedung MK, Rabu (03/6).  

Humphrey menilai materi Pasal 28 ayat (2) UU Advokat tak sekadar persoalan pengaturan dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) PERADI, tetapi juga potensial melanggar hak konstitusional para advokat. “Persoalan ini juga menyangkut hak perlakuan yang sama, hak mengeluarkan pendapat, dan larangan perlakuan diskriminatif,” ujarnya.  
Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait