Ini Daftar Larangan Dual Quotation dari BI
Berita

Ini Daftar Larangan Dual Quotation dari BI

Larangan ini juga berlaku bagi harga barang atau jasa melalui media elektronik.

Oleh:
FAT/ANT
Bacaan 2 Menit
Mata uang asing. Foto: SGP (Ilustrasi)
Mata uang asing. Foto: SGP (Ilustrasi)
Bank Indonesia (BI) telah menerbitkan Surat Edaran (SE) BI No.17/11/DKSP tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tanggal 1 Juni 2015 lalu. Pada tanggal tersebut pula, surat edaran tersebut mulai berlaku.

Dalam surat edaran tersebut, terdapat daftar larangan dual quotation atau pencantuman harga barang atau jasa dalam Rupiah dan mata uang asing secara bersamaan. Misalnya, sebuah toko mencantumkan harga untuk satu set komputer Rp15 juta dan AS$1.500 secara bersamaan.

Larangan dual quotation tersebut berlaku bagi label harga seperti harga yang tercantum pada barang. Biaya jasa (fee) seperti fee agen dalam jual beli properti, jasa kepariwisataan, jasa konsultan. Biaya sewa menyewa seperti sewa apartemen, rumah, kantor, gedung, tanah, gudang dan kendaraan.

Berikutnya, larangan juga berlaku bagi tarif seperti tarif bongkar muat, peti kemas di pelabuhan atau tarif tiket pesawat udara dan kargo. Kemudian, berkaitan dengan daftar harga seperti daftar harga menu restoran. Lalu, kontrak seperti klausul harga atau biaya yang tercantum dalam kontrak atau perjanjian.

Kemudian, dual quotation juga dilarang untuk dokumen penawaran, pemesanan, tagihan, seperti klausul harga yang tercantum dalam faktur, delivery order dan purchase order. Terakhir, larangan ini juga berlaku untuk bukti pembayaran seperti harga yang tercantum dalam kuitansi.

Seluruh larangan tersebut berlaku di wilayah NKRI. Dalam surat edaran, larangan dual quotation juga berlaku untuk pencantuman harga barang atau jasa melalui media elektronik. Surat edaran ini merupakan ketentuan pelaksana dari Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 17/3/PBI/2015 tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah NKRI. Surat edaran tersebut mulai berlaku pada tanggal 1 Juni 2015.

Surat edaran tersebut juga mengatur mengenai pelaksanaan kewajiban penggunaan Rupiah untuk proyek infrastruktur strategis yang diperjanjikan secara tertulis. Proyek infrastruktur tersebut diantaranya adalah, infrastruktur transportasi, meliputi pelayanan jasa kebandarudaraan, pelayanan jasa kepelabuhanan, sarana dan prasarana perkeretaapian.

Lalu, proyek infrastruktur jalan, meliputi tol dan jembatan tol. Infrastruktur pengairan, meliputi saluran pembawa air baku. Infrastruktur air minum, yang meliputi bangunan pengambilan air baku, jaringan transmisi, jaringan distribusi, instalasi pengolahan air minum.

Kemudian, infrastruktur sanitasi yang meliputi instalasi pengolah air limbah, jaringan pengumpul dan jaringan utama dan sarana persampahan yang meliputi pengangkut dan tempat pembuangan. Infrastruktur telekomunikasi dan informatika, meliputi jaringan telekomunikasi dan infrastruktur e-government.

Infrastruktur ketenagalistrikan, meliputi pembangkit, termasuk pengembangan tenaga listrik yang berasal dari panas bumi, transmisi atau distribusi tenaga listrik. Serta, infrastruktur minyak dan gas bumi yang meliputi transmisi dan atau distribusi minyak dan gas bumi.

Seluruh proyek-proyek infrastruktur tersebut dapat dikecualikan, jika ada pernyataan dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah sebagai proyek infrastruktur strategis yang dibuktikan dengan surat keterangan dari kementerian atau lembaga terkait kepada pemilik proyek. Atau, memperoleh persetujuan pengecualian terhadap kewajiban penggunaan Rupiah dari BI.

Sebelum memberikan persetujuan, BI akan mempertimbangkan sumber pembiayaan proyek dan dampak proyek tersebut terhadap stabilitas ekonomi makro. Persetujuan pengecualian penggunaan Rupiah tersebut mencakup transaksi dalam rangka pembangunan proyek infrastruktur strategis sampai dengan proyek selesai dibangun atau transaksi dalam rangka penjualan produk atau jasa yang dihasilkan oleh proyek infrastruktur strategis sampai jangka waktu tertentu dengan syarat penjualan produk atau jasa tersebut telah diperjanjikan sejak awal pembangunan proyek.

Deputi Gubernur Senior BI, Mirza Adityaswara mengatakan, kewajiban transaksi di dalam negeri menggunakan mata uang Rupiah ini bertujuan agar kebutuhan dolar Amerika Serikat (AS) di Indonesia tidak semakin besar. “Selama ini masih banyak transaksi yang terjadi di dalam negeri menggunakan dolar AS, ini sangat berpengaruh terhadap kebutuhan negara kita akan mata uang tersebut,” katanya di Semarang, Jumat (5/6).

Beberapa transaksi dalam negeri yang masih menggunakan dolar AS salah satunya adalah pembayaran tekstil dari perusahaan ke pembeli. Menurut dia, kondisi tersebut sudah tidak terjadi di banyak negara berkembang. “Jadi kalaupun ekspor-impor kita surplus tetapi masih banyak permintaan dolar AS di dalam negeri, itu bukan dari sektor ekspor impor tetapi justru dari transaksi dalam negeri itu sendiri,” katanya.

Kondisi tersebut, katanya, berat bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia salah satunya dari sisi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS karena Indonesia bukan negara pencetak dolar. “Oleh karena itu, kami ingin menerapkan kewajiban tersebut dengan diperkuat oleh UU No. 7 tahun 2011 dan peraturan BI bahwa transaksi dalam negeri harus menggunakan rupiah,” katanya.

Ia mengakui untuk menerapkan peraturan tersebut memerlukan waktu namun demikian peraturan harus segera dimulai agar perusahaan-perusahaan besar lebih siap untuk mengikutinya. “Peraturan ini akan berlaku mulai bulan Juni tahun ini. Dalam hal ini kami tetap menghormati perusahaan yang sudah menerapkan kontrak existing yang artinya sudah menandatangani kontrak hingga beberapa tahun ke depan, tetapi begitu selesai kontrak tersebut harus segera beralih ke rupiah,” katanya.

Dikatakannya, penerapan kewajiban transaksi dalam negeri dengan menggunakan mata uang rupiah tersebut berlaku untuk transaksi tunai dan nontunai. “Harapannya ada kesadaran dari masyarakat sehingga kami tidak perlu memberikan sanksi bagi pihak yang tidak mengikuti peraturan ini. Untuk sanksinya jika dilakukan pada transaksi tunai bisa sanksi pidana, sedangkan jika pada transaksi nontunai bisa tidak diikutsertakan dalam sistem pembayaran,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait