Putusan MK Soal Politik Dinasti Dinilai Tak Adil
Berita

Putusan MK Soal Politik Dinasti Dinilai Tak Adil

Karena hanya mengendepankan hak kolega incumbent, tanpa mempedulikan hak masyarakat di daerah pemilihan kepala daerah yang ingin maju.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan konstitusionalnya politik dinasti  dinilai tidak adil bagi masyarakat di daerah tempat pemilihan kepala daerah. Pasalnya, keadilan berlaku hanya bagi incumbent maupun kolega dan kroni terkait dengan majunya sebagai calon kepala daerah. Sementara masyarakat di daerah tempat pemilihan kepala daerah terhambat akibat incumbent beserta keluarga yang diusung memiliki kemampuan lebih.

“Saya kecewa dengan putusan MK. Sampai kiamat jadi raja dan kerajaan betul itu di daerah, bagaimana melawan incumbent yang menang. Keadilan itu proporsional, bukan sama rata. Kalau MK berpandangan keadilan yang sama, itu juga betul. Tapi tidak ada keadilan buat daerah,” ujar Wakil Ketua Komisi II DPR Reza Patrian dalam sebuah diskusi di Gedung DPR, Kamis (9/7).

Dalam UU Pilkada tersebut, DPR dan pemerintah telah memberi ruang agar kolega incumbent dapat maju setelah lima tahun kemudian. Ia menilai putusan MK melanggengkan politik dinasti. Padahal, incumbent sebelum lengser sejatinya telah menyiapkan koleganya untuk menggantikannya agar kekuasaanya tetap langgeng.

Menurutnya, MK mesti mengetahui terlebih dahulu filosofi aturan pembatasan syarat larangan bakal calon kepala daerah yang memiliki hubungan darah/perkawinan dengan kepala daerah petahana. Pembatasan syarat itu sebagaimana diatur dalam Pasal 7 huruf r UU No.8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU No.1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No.1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota (UU Pilkada). Itu pula pasal yang diuji di MK.

Reza menilai pejabat incumbent memiliki kemampuan melalui kekuasaanya untuk mengerahkan keluarganya maju menjadi penggantinya. Terlebih, memiliki anggaran miliaran rupiah dan memiliki otoritas mengangkat dan memberhentikan pegawai. Selain itu, incumbent memiliki program kerja yang dapat disisipkan kepentingan untuk melanggengkan kekuasaannya melalui kolega dan keluarganya melalui dinasti politik.

Politisi Partai Gerindra itu berpandangan, keberadaan Pasal 7 huruf r sementara penting diterapkan untuk masa waktu satu periode alias lima tahun. Pasalnya, jika terdapat anggota keluarga incumbent yang ingin maju calon kepala daerah mesti menunggu satu periode. Dengan kata lain, setelah incumbent lengser tidak kemudian dilanjutkan oleh koleganya. Namun, koleganya dapat maju setelah jeda satu periode kemudian.

Meski menghormati putusan MK, Reza menyarankan agar Partai Politik tidak merekomendasikan keluarga incumbent untuk dapat maju dalam perhelatan calon pilkada. Kedua, ia mengajak Ormas dan LSM untuk memberikan pendidikan kepada masyarakat agar teliti dan cermat  agar publik tidak tergiur politik uang dalam memiliki calon kepala daerah.

Mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Otonomi Daerah (Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Djohermansyah, mengamini pandangan Reza. Menurutnya, saat menjadi Ketua Panja dari pemerintah UU Pilkada telah melakukan riset dan evaluasi selama 10 tahun terkait dengan politik dinasti. Ironisnya, kurun waktu 2013 sebanyak 61 kepala daerah menerapkan politik kekerabatan.

“Ini menjadi kerisauan pemerintah. Apakah ini akan kita biarakan atau buat aturan,” ujarnya.

Makanya, dalam UU Pilkada dibuat aturan pembatasan, bukan larangan kolega incumbent maju Pilkada. Menurutnya, lamanya incumbent menjadi kepala daerah dikhawatirkan abuse of power. Itu pula adanya pembatasan jabatan presiden hanya dapat dijabat dua periode.

“Ini pembatasan kalau calon ada ikatan darah atau kekerabatan bisa maju setelah jeda satu periode, ini rambu-rambu membatasi bukan melarang,” katanya.

Ia menilai jika bertentangan dengan HAM, Djohermansyah mempertanyakan bagaimana hak dari jutaan hak masyarakat di daerah pemilihan kepala daerah. Ia mengaku kecewa dengan putusan MK. Lebih jauh, ia berpandangan kecenderungan lamanya incumbent menjabat sebagai kepala daerah maupun melalui koleganya dapat terjadi perilaku negatif. Oleh sebab itu, meski putusan MK bersifat final dan mengikat, calon kepala daerah yang memiliki hubungan kekerabatan mesti dilakukan uji publik.

“Saya kecewa dan prihatin. Putusan MK selamat berkembang biak politik dinasti. Kalau dilihat bertentangan hak, hak siapa, hak calon kepala daerah. Bandingkan rakyat 1 kabupaten berapa hak asasi rakyat di satu provinsi yang tidak bisa maju. Putusan MK adil buat mereka incumbent, tapi tidak adil dengan rakyat di daerah itu. Ini bertentangan dengan pancasila,” ujar Guru Besar Institut Pemerintah Dalam Negeri (IPDN) itu.

Berbeda denggan Reza dan Djohermansyah, pengamat hukum tata negara Margarito Kamis menilai putusan MK tepat. Menurutnya, ada persamaan hak warga negara di bidan hukum, politik dan ekonomi dan tidak ada alasan yang cukup untuk menerapkan Pasal 7 huruf r UU Pilkada.

“Selain inkonstitusional, karena warga negara punya hak yang sama. Kalau mau ditangguhkan, harus ada alasan yang cukup. Tapi saya tidak menemukan alasan yang cukup untuk menangguhkan aturan incumbent politik dinasti,” katanya.

Menurutnya, jika publik sudah mengetahui salah satu calon memiliki hubungan darah dengan incumbent tak perlu dipilih. Pelarangan terhadap politik dinasti sama halnya menyembelih hak warga negara. “Saya berpendapat, ini (putusan MK)  masuk akal. Ngapain takut politik dinasti. Maju bertarung, kalah yah sudah. Apa yang diputuskan MK tepat dan saya apresiasi,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait