MK: Larangan Politik Dinasti Inkonstitusional
Berita

MK: Larangan Politik Dinasti Inkonstitusional

Dengan putusan ini semua calon kepala daerah yang memiliki hubungan dengan keluarga/kekerabatan dengan petahana boleh ikut dalam pilkada.

ASH
Bacaan 2 Menit
Kuasa Hukum Pemohon Heru Widodo dan Supriyadi Adi saat mendengarkan amar putusan perkara pengujian UU Pilkada, Rabu (8/7) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Foto: Humas MK
Kuasa Hukum Pemohon Heru Widodo dan Supriyadi Adi saat mendengarkan amar putusan perkara pengujian UU Pilkada, Rabu (8/7) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Foto: Humas MK
   MK mengganggap aturan itu bertentangan dengan UUD 1945.     “Pasal 7 huruf r beserta Penjelasan Pasal 7 huruf r UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ucap Ketua Majelis MK, Arief Hidayat saat membacakan putusan bernomor 33/PUU-XIII/2015 yang dimohonkan Adnan Purichta Ichsan di ruang sidang pleno MK, Rabu (8/7).     Sedangkan Pasal 7 huruf s UU Pilkada terkait syarat pemberitahuan pengunduran diri anggota legislatif yang kepada pimpinan dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang dimaknai pengunduran diri ditetapkan sejak memenuhi persyaratan oleh KPU sebagai calon kepala daerah bagi anggota DPR, DPD, DPRD.       
        Selain Adnan, kedua ketentuan itu juga dimohonkan oleh Aji Sumarno (menantu Bupati Selayar ,    Dalam pertimbangannya, Mahkamah menganggap Pasal 7 huruf r dan Penjelasan Pasal 7 huruf r UU Pilkada mengandung muatan diskriminasi. Ketentuan nyata-nyata (dan memuat pembedaan perlakuan yang semata-mata didasarkan atas kelahiran dan status kekerabatan seseorang yang bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Diakuinya, tidak setiap pembedaan serta-merta diskriminasi. Namun, kasus , tampak nyata kalau pembedaan tersebut dibuat semata-mata mencegah kelompok orang tertentu (anggota keluarga kepala daerah petahana untuk menggunakan hak konstitusionalnya).    

Sejak Ditetapkan KPU
Dalam putusan lain, MK menyatakan pengujian Pasal 119 dan Pasal 123 UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang dimohonkan delapan orang PNS diantaranya Rahman Hadi, Genius Umar, Rahmat Hollyson Maiza pun inkonstitusional bersyarat. Mahkamah menyatakan kedua pasal dimaknai pengunduran diri sebagai PNS bukan sejak mendaftar sebagai calon, melainkan sejak ditetapkanoleh KPU sebagai calon peserta kepala daerah, pemilu presiden/wakil presiden, dan pemilu anggota legislatif.

Alasannya, seperti termuat dalam dua putusan MK sebelumnya undang-undang mensyaratkan pengunduran diri PNS atau TNI/Pori yang hendak menduduki jabatan publik/politik termasuk pencalonan kepala daerah tidaklah bertentangan dengan UUD 1945. Meski tidak bertentangan, Mahkamah perlu mempertimbangkan aspek kepastian hukum dan keadilan berkenaan dengan pertanyaan “kapan” pengunduran diri harus dilakukan sesuai tafsir Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) UU ASN.

Di sisi lain, dalam Pasal 7 huruf s UU Pilkada terdapat ketentuan yang mempersyaratkan PNS mengundurkan diri sejak mendaftar sebagai calon kepala daerah atau wakil kepala daerah. Sementara anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD hanya dipersyaratkan memberitahukan kepada pimpinannya jika hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah.

Namun, pertanyaannya mengapa syarat yang sama tidak berlaku bagi anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD? Karena itu, agar proporsional demi memenuhi tuntutan kepastian hukum yang adil baik PNS maupun anggota legislatif haruslah sama-sama dipersyaratkan mengundurkan diri apabila hendak mencalonkan diri dan menduduki jabatan publik/politik lain yang mekanismenya dilakukan melalui pemilihan (elected officials).

“Demi memenuhi tuntutan kepastian hukum yang adil pula, pengunduran diri dimaksud dilakukan bukan saat mendaftar, melainkan saat yang bersangkutan ditetapkan sebagai calon oleh penyelenggara pemilihan dengan membuat surat pernyataan pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali,” demikian bunyi putusan bernomor 41/PUU-XII/29014.

Kuasa hukum Adnan, Heru Widodo mengatakan dengan putusan ini semua calon kepala daerah yang memiliki hubungan dengan keluarga/kekerabatan dengan petahana boleh ikut dalam pilkada. Menurut pandangan pemerintah Pasal 7 huruf r UU Pilkada bersifat sementara. Namun, MK memandang tujuan sementara ini tidak dapat dibenarkan karena menghalangi setiap warga negara untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah.

“Tetapi, sebenarnya yang terpenting ke depan dalam demokrasi pilkada bagaimana UU Pilkada itu memformulasikan aturan yang membatasi kesewenangan petaha dalam hal penyalahgunaan anggaran, memobilisasi jajaran di bawahnya,” kata Heru di Gedung MK usai persidangan.    

Terpisah, Ketua Komisi II DPR Rambe Kamarul Zaman mengatakan mau tidak mau menerima putusan MK tersebut. Ia menjelaskan sebenarnya alasan DPR membuat aturan soal larangan keluarga petahana maju dalam pilkada lantaran untuk memutus rantai dinasti politik dalam jabatan kepala daerah.

“Ya kalau dihapus ya sudah, habislah itu semua. Jadi peraturan KPU (PKPU) dan UU sudah berantakan,” ujar Rambe saat dihubungi.

Rambe melanjutkan adanya putusan MK ini, tidak dimungkinkan merevisi UU Pilkada dalam waktu yang sangat mepet dengan pelaksanaan pilkada. Karena itu, dia menyarankan substansi norma yang diputuskan MK hanya tinggal diubah melalui PKPU dan dibuat aturan teknisnya.
Akhirnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan pengujian Pasal 7 huruf r UU No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atasUU No. 1 Tahun 2015tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota (UU Pilkada) terkait syarat larangan bakal calon kepala daerah memiliki hubungan darah/perkawinan dengan kepala daerah petahana.




Permohonan ini diajukan Adnan yang merupakan putra Bupati Gowa Sulsel Ichsan Yasin Limpo. Dia meminta agar syarat calon kepala daerah tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana dihapus karena diskriminatif dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil. Sementara Pasal 7 huruf s UU Pilkada dinilai diskriminatif bagi calon kepala daerah yang berasal dari PNS, Polri, TNI, pejabat BUMN. Karenanya, ketentuan itu minta ditasfirkan secara bersyarat.

SulselSyahrir Wahab), Lanosin (adik kandung Bupati Petahana Ogan Komering Ulu Timur, Sumatera Selatan), Ali Nurdin (Bakal Calon Bupati Pandeglang), Irwan Hamid (bakal calon Bupati Pinrang, Sulsel), serta pemohon lain. Dengan begitu, putusan ini berlaku terhadap pemohon lain.  

a quoa quo

“Cara ini tidak memenuhi syarat Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 karena seseorang karena kelahirannya atau memiliki hubungan kekerabatan dengan kepala daerah petahana tidaklah mengganggu hak atau kebebasan orang lain,” tutur Hakim Konstitusi Patrialis Akbar saat membacakan pertimbangan putusan.  
Tags:

Berita Terkait