Antonius Sudirman: Bismar Siregar itu Sosok Visioner
Mengenang Bismar:

Antonius Sudirman: Bismar Siregar itu Sosok Visioner

Terinspirasi menulis tesis yang kemudian menjadi buku karena kagum dengan sosok seorang Bismar Siregar.

Oleh:
RZK
Bacaan 2 Menit
Antonius Sudirman bersama buku “Hati Nurani Hakim dan Putusannya: Suatu Pendekatan dari Perspektif Ilmu Hukum Perilaku Kasus Hakim Bismar Siregar”. Foto: RFQ
Antonius Sudirman bersama buku “Hati Nurani Hakim dan Putusannya: Suatu Pendekatan dari Perspektif Ilmu Hukum Perilaku Kasus Hakim Bismar Siregar”. Foto: RFQ
Dunia hukum Indonesia memiliki sejumlah nama tokoh mantan hakim yang inspiratif. Mereka dipandang dan dikenang tidak hanya loyalitasnya tetapi juga karena rekam jejaknya yang ‘mentereng’ yang tergambar dari putusan-putusan yang dihasilkan. Salah satu tokoh itu adalah Bismar Siregar yang telah pada 19 April 2012.   Malang melintang selama kurang lebih 38 tahun dengan mengecap dua profesi hukum, jaksa (1957-1959) dan hakim (1961-1995), Bismar hingga kini dikenang sebagai sosok yang bersih, religius tetapi juga menghormati keberagaman agama, dan progresif. Dengan citra diri seperti itu, wajar jika (alm) Bismar begitu menginspirasi banyak kalangan khususnya di dunia hukum seperti hakim, jaksa, advokat ataupun akademisi.   Salah satu yang mengaku sangat terinspirasi adalah . Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Atmajaya Makassar itu sangat mengagumi sosok (alm) Bismar. Bagi Antonius, (alm) Bismar adalah sosok yang tegas dalam menegakkan kebenaran dan keadilan yang dia tunjukkan melalui sejumlah putusan fenomenal yang dibuatnya.   Berangkat dari rasa kagum itu dan arahan dari dosen pembimbing, Prof Satjipto Rahardjo, Antonius memutuskan untuk menjadikan sosok Bismar sebagai materi tesis untuk merampungkan studi S-2 nya pada tahun 1999 di Universitas Diponegoro, Semarang.   Delapan tahun berselang, tesis berjudul “” itu dijadikan buku dengan judul sedikit berbeda, “”.   Untuk mengetahui kisah di balik penulisan tesis yang kemudian menjadi buku setebal 300 halaman itu, melakukan wawancara dengan Antonius Sudirman di penghujung Maret 2015 di sebuah hotel di Makassar, Sulawesi Selatan. Berikut ini, petikan wawancaranya:   Awalnya begini, dalam perkuliahan Prof. Satjipto Rahardjo sebagai pengasuh mata kuliah Sosiologi Hukum, menceritakan tentang Pak Bismar. Dalam perkuliahannya, Prof Tjip sering menyebut Bismar, “Inilah contoh hakim yang aneh”. Dimana dia mengambil keputusan yang warnanya adalah warna keadilan. Dia mengambil keputusan pijakannya bukan dari undang-undangnya terlebih dahulu, dia melihat dulu dari kasus konkret.   Jadi, dia berdialog dulu dengan hati nuraninya ketika dia sudah menemukan bahwa hukum yang tepat untuk kasus ini adalah ini. Kalau dia sudah pas, istilahnya hatinya sudah oke dengan kasus itu, ya maka itu memang adil. Dia cari undang-undangnya, apakah undang-undangnya nanti mendukung sebagai dasar dalam memutus. Jadi, bukan dari hukumnya dulu, dari kasus konkret baru cari hukumnya.   Pak Bismar terkadang keluar dari undang-undang untuk menemukan keadilan. Saya temukan memang bahwa dalam memutus perkara Pak Bismar menyatakan begini, “Saya demi keadilan, saya bisa mengenyampingkan undang-undang”.   Awalnya, Prof Tjip menyodorkan beberapa opsi. Ada Pak Adi Andojo, Asikin Kusumah Atmadja, Benyamin Mangkoedilaga – para mantan hakim agung – dan beberapa nama lagi. Banyak hakim yang integritasnya menonjol. Tetapi, saya memilih Pak Bismar karena bahan literaturnya cukup waktu itu.   Saya melihat memang beliau ini hakim yang visioner, hakim yang mengutamakan keadilan. Hakim yang menerapkan nilai-nilai agama dalam putusannya bukan hanya agama tertentu. Semua agama, walaupun dia Islam dan haji. Dalam bukunya yang saya baca, ada nilai-nilai agama Katholik di situ (dalam putusan). Al Quran, Bible (Injil) juga.   Jadi, dia terobos yang tidak ada dalam undang-undang demi keadilan. Lalu, dia gunakan nilai-nilai agama karena "maaf dan damai" itu dia dasarnya. Memaafkan korban, mendamaikan kedua belah pihak. Beliau tidak terpaku pada ketentuan formal dalam undang-undang. Padahal, hakim adalah corong undang-undang.   Hakim Indonesia kan lahir dari sistem hukum yang sama, produk hukum yang sama ya, pendidikan hukumnya, pengaruh sistem politik, tapi ada yang lain gitu ya. Ternyata ada yang tidak terpengaruh oleh kekuasaan, ada yang tidak terpaku pada ketentuan undang-undang. Jadi, menurut saya, hakim Indonesia perlunya output-output (putusan, Red) tersempurnakan, output yang sama terus bekerjanya dipengaruhi oleh sistem hukum dan politik yang sama. Itulah Bismar.   Yang menarik itu adalah sosoknya yang sederhana. Pak Bismar rendah hati dan inklusif. Haleluya! ketika dia tahu saya Kristen. Jadi, dia tidak pandang agamanya orang, dia memang menerima siapa saja. Kalau orang seperti ini 10 saja di Indonesia menyebar dimana-mana luar biasa ya. Tidak semua orang bisa seperti itu.   Ya, saya memang sempat ketemu. Saya pakai metode (teknik pengambilan sampel sumber data, yang pada awal jumlahnya sedikit, lama-lama menjadi besar, Red). Saya wawancara langsung pribadi dengan Pak Bismar, istrinya serta anak-anaknya sekitar tiga orang.   Saya juga wawancara kolega-kolega Pak Bismar di kalangan hakim seperti Adi Andojo Soetjipto, Paulus Effendi Lotulung, dan beberapa hakim lainnya. Saya sempat bolak-balik Semarang-Jakarta. Lalu, saya juga sempat satu bulan full di Jakarta.   Saya beruntung, Pak Bismar tidak sulit untuk ditemui. Ketika pertama kali bertemu, dia luar biasa senang. Begitu tahu nama saya Antonius, dia langsung “Haleluya”. Dan setiap bertemu “Haleluya”, saya jawab “Assalamualaikum”. Jadi, itu diucapkan dari hati bukan dibuat-buat, dari hati sanubarinya.   Suatu waktu, saya sebagai peneliti, sengaja terlambat untuk mengetahui respon Beliau. Tetapi, dia nggak pernah marah. Saya terlambat satu jam, dua jam dari jam yang ditentukan. Saya mau tahu responnya, bagaimana. Tidak ada masalah, sama dengan ketika saya tidak terlambat. Jadi, Pak Bismar orang yang kepribadiannya luar biasa ya. Suka memaafkan orang lain dan mengampuni ya. Orangnya lembut kalau bicara.   Saya juga mewawancarai narasumber lainnya. Adnan Buyung Nasution itu susah sekali, karena dia sangat sibuk. Tetapi, berbagai macam cara saya lakukan. Saya tunggu di kantornya, sampai berjam-jam tidak ada. Ketika sudah ketemu, ternyata lebih dari satu jam wawancaranya. Saya waktu itu tidak mementingkan banyaknya narasumber. Yang penting kan wakil dari komponen hakim, polisi, masyarakat, dan pengacara sudah cukup. Intinya semuanya memberikan kesan yang sama tentang sosok Bismar Siregar. Positif semua.   Semuanya fenomenal. Tetapi yang muncul ke permukaan itu yang putusan Pengadilan Tinggi Medan, dimana Pak Bismar menganalogikan kehormatan wanita sebagai “barang” (Lihat artikel: ). Yang fenomenal itu, karena hakim dilarang melakukan analogi kan. Dia melakukan itu (analogi) yang tujuannya intinya, ingin melindungi harkat-harkat wanita. Dan itu ada dalam hukum adat Tapanuli yang disebut . Jadi, dia mencampurkan hukum modern dengan hukum adat. Pak Bismar berupaya menggali nilai-nilai hukum yang hidup. Kalau tidak ada hukumnya dia gali. Pak Bismar tidak hanya melakukan (penemuan hukum) tetapi juga (pembentukan hukum).   Justru itu yang saya lihat. Makanya, saya wawancara istri dan anak-anaknya. Di dalam buku saya, ada kutipan Pak Bismar yang menyatakan   Beliau (pemikiran terbuka). Semua agama dia bilang mengajarkan kebenaran. Nah, orang kebanyakan bilang Bismar itu menggunakan syariat Islam. Oh, salah itu bukan nilai-nilai agama, dia bukan menggunakan syariat Islam. Dia seorang hakim kok, dia tidak pernah pakai syariat Islam dalam arti hukum Islamnya, bukan. Nilai-nilai agama Islam yang diterapkan diterapkan dalam putusannya. Itu yang dijadikan rujukan utamanya imannya. Ketika dalam imannya, dia tidak temukan, dia cari yang lain lagi termasuk agama lain, dan adat.  
Putusan tentang barang (Pengadilan Tinggi Medan) itukan dicerca oleh para hakim di atasnya (Mahkamah Agung, Red). Makanya, tidak dijadikan yurisprudensi. Dicaci makilah, “Bismar itu seenaknya saja menerapkan hukum tidak sesuai dengan apa yang dia diterapkan, menggunakan analogi”. Bukan itu, intinya tadi, Pak Bismar ingin melindungi wanita.

Cercaan apapun dari orang, dia tidak peduli. Menurutnya, itu putusan yang tepat demi melindungi wanita yang selalu menjadi korban apalagi dijanjikan kawin dengan calonnya, ini kok dilepas. Karena undang-undang tidak melindungi wanita.
Pak Bismar dilahirkan dari keluarga yang punya nilai-nilai agama yang menghargai kaum perempuan. Istrinya, dia hormati. Jadi sebelum tidur, ada dongeng pengantar tidur, dia menceritakan semua masalah kantor dengan istrinya. Jadi tidak ada hal yang tidak diketahui istrinya. Ketika ada masalah, dia ceritakan semua. Supaya kalau ada masalah nanti dia tidak kaget, dia sudah tahu apa yang terjadi pada suaminya. Ketika memutus perkara, beliau juga berdialog dulu dengan istrinya, namun putusan tetap pada beliau. Istri kan adalah hal-hal yang lembut, laki-laki kan pikirannya, perempuan nuraninya, hatinya, dia padukan itu.

Kenapa ‘virus positif’ seorang Bismar Siregar terkesan tidak terlalu menyebar di kalangan hakim?
Ya, menurut saya, karakter kan dibentuk dari proses. Mulai dari lingkungan keluarga. Jadi, itu yang melatarbelakangi, kepribadian Bismar yang kuat dan kokoh, tidak terlepas dari pengaruh pendidikan masa kecil, interaksinya dengan orang lain. Jadi namanya perjuangan itu bagian dari hidup. Kejujuran, nilai moral itu terbentuk bukan diformalkan tapi internalisasi nilai itu diterapkan sejak dari masih kecil, bukan formalnya tapi menjadi bagian dari hidup.

Menurut saya, kuncinya adalah keberanian. Kalau seorang hakim memiliki keberanian, berani mengambil keputusan untuk mewujudkan keadilan. Kalau hakim memang memiliki integritas pribadi yang kuat, bermoral, apapun dia lakukan untuk mewujudkan keadilan. Hakim-hakim sekarang mungkin mereka berpendidikan, tapi tidak ada keberanian yang dilandasi.

Paling dominan, menurut saya adalah pengaruh faktor integritas pribadi. Integritas pribadi yang kuatkan bisa dibentuk melalui proses pendidikannya, pergaulannya, agamanya, dan sebagainya, jadi itu. Orang yang pribadinya kuat, dia tidak mudah terpengaruh. Faktor sistem perundang-undangan, birokrasi peradilan, dan kekuatan extra yudisium lainnya hanya dapat mempengaruhi perilaku hukum Bismar sejauh faktor tersebut dapat mendukung terciptanya putusan yang sesuai dengan rasa keadilan. Dia menciptakan hukum, mengadakan pembaharuan hukum, dan menerapkan hukum.
meninggal dunia



Antonius Sudirman, SH, MH



Hakim dan Putusan Hakim: Suatu Studi Perilaku Hukum Hakim Bismar SiregarHati Nurani Hakim dan Putusannya: Suatu Pendekatan dari Perspektif Ilmu Hukum Perilaku Kasus Hakim Bismar Siregar

hukumonline

Bagaimana ceritanya, Anda memilih sosok Bismar Siregar menjadi materi penulisan tesis?








Bagaimana penilaian Anda tentang sosok Bismar Siregar?








Bagaimana metode pengumpulan data dan informasinya? Apakah sempat bertemu langsung dengan Pak Bismar serta keluarganya?
snowball









Anda tentunya meneliti putusan-putusan Pak Bismar, dari sekian banyak yang diteliti, putusan mana yang paling fenomenal?
Ketika ‘Kehormatan’ Wanita Dianalogikan Hakim sebagai ‘Barang’‘bonda’rechts vinding ,rechts vorming

Berdasarkan penelitian Anda, apakah ada korelasinya antara keseharian Bismar Siregar dengan putusan-putusan yang dibuatnya?
“aku tidak mempertanggungjawabkan keputusanku pada mereka (orang-orang) tetapi yang pertama kepada Tuhan YME, kemudian baru kepada para pihak”.

open minded

Putusan Bismar Siregar oleh sebagian kalangan mungkin dipandang sebagai terobosan atau fenomenal, tetapi sebagian kalangan lain mungkin tidak setuju dengan putusan tersebut. Berdasarkan penelusuran Anda, bagaimana Pak Bismar menghadapi situasi tersebut?
Tags:

Berita Terkait