Napak Tilas Mahasiswa Bernomor 1916
Mengenang Bismar:

Napak Tilas Mahasiswa Bernomor 1916

Bismar berasal dari desa. Meski tak punya ijazah SR dan tak pernah duduk di bangku SMP, Bismar bisa kuliah dan lulus dari Fakultas Hukum UI.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Bismar Siregar dan Kampus UI Rawamangun. Foto: RES/http://old.ui.ac.id
Bismar Siregar dan Kampus UI Rawamangun. Foto: RES/http://old.ui.ac.id
Sebuah buku bersampul merah, terbit 1969, masih tersimpan rapi di perpustakaan Daniel S Lev di bilangan Kuningan Jakarta. Buku ini memuat daftar 1.590 nama, sebagian di antaranya pernah punya jejak sebagai orang penting di negara ini. Daftar ini merekam jelas siapa saja yang pernah melewati ‘kawah candradimuka’ Fakultas Hukum Universitas Indonesia periode 1950-1969.

Cobalah urut satu persatu nama dalam list itu. Aha, nama Bismar tertera pada urusan ke-242. Buku Pedoman  Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu juga memuat nomor pokok mahasiswa bernama Bismar Siregar: 1916, dan ia lulus pada 12 November 1956. Lulus dari Fakultas Hukum UI adalah prestasi luar biasa bagi Bismar karena ia tak pernah duduk di bangku Sekolah Menengah Tingkat Pertama (SMP).

Masuk Fakultas Hukum dan lulus sebagai Meester in de Rechten (Mr) adalah hasrat besar ayahnya Aminuddin Raja Baringin Siregar. Kenapa? Kepada Antonius Sudirman sebagaimana tertuang dalam buku "Hati Nurani Hakim dan Putusannya", Bismar memberi alasan. Orang tuanya berpandangan seorang Meester in de Rechten ‘mudah mengetahui apa yang ada dalam benak dan hati setiap orang’. Seorang pemegang gelar itu juga dianggap memiliki komitmen yang tinggi dan memegang teguh kebenaran dan keadilan. 

Menelusuri riwayat pendidikan Bismar tak ubahnya melihat sebuah perjuangan. Lahir di Baringin Sipirok pada 15 November 1928, Bismar kecil harus ikut orang tuanya yang pindah tugas sebagai guru sekolah desa ke Siabu. Siabu dan Sipirok dua daerah yang berjarak sekitar 100 kilometer tetapi dulu masih berada dalam satu kabupaten, Tapanuli Selatan.  

Hidup di desa Siabu tampaknya begitu berkesan bagi Bismar. Seperti ia tuliskan dalam buku Surat-Surat kepada Pemimpin, Bismar mengenang masa tinggal di Siabu sebagai kenangan yang indah. ‘Penderitaan’ yang penuh nostalgia. “Saat berada di kampung Siabu menjadi anak desa berprofesi petani”.

Bersama orang tua dan saudara-saudaranya Bismar kecil ikut membuka lahan pertanian, mengubah hutan menjadi parsabaan (persawahan) di kawasan yang oleh masyarakat setempat disebut saba rodang. Ia menuangkan cerita masa kecil itu dalam buku ‘Aku Anak Petani’. Ia juga menuangkan kehidupan masa kecilnya di kampong dalam buku kecil Aku Anak Petani.

Memasuki usia sekolah, Bismar sempat mengenyam pendidikan sekolah rakyat di Holland Inlandse School (HIS) Kotanopan, berjarak 60-an kilometer dari Siabu. Di kota kecil di kaki pegunungan itu Bismar bersekolah bersama kakaknya. Keadaan ekonomi membuat Bismar tak bisa melanjutkan pendidikan di HIS Kotanopan.

Bismar juga mencatat pernah berguru bahasa kepada Imbalo gelar Sutan Sori Mulia di Batunadua, Padangsidempuan. Sepuluh jam perjalanan dari Siabu menuju Batunadua. Kadang jarak 60 kilometer itu ditempuh Bismar dengan berjalan kaki, agar dapat berguru bahasa kepada Imbalo. Kalau berangkat ‘sekolah’ ke guru Imbalo, Bismar selalu dibekali nasi oleh ibunya, Siti Fatimah.

Berkat ilmu itulah mampu di Bismar kecil muridmu tanpa melalui SMP bisa mengikuti pelajaran di SMA di kaki Gunung Sumbing Magelang, kemudian menyelesaikan SMA di Billiton Bandung,” tulis Bismar dalam Surat-Surat kepada Pemimpin.

Bismar memang tak sempat menjejakkan kakinya di bangku SMP.  Menjelang ujian di HIS, Jepang masuk Indonesia. Pada tahun 1950, Bismar merantau ke Jakarta. Di Ibukota tak bertahan lama karena abangnya meminta Bismar ke Magelang. Sang abang memintanya bersekolah. Sayang, usianya sudah terlalu tua untuk SMP. Berkat bujukan dan dorongan abangnya, Bismar memberanikan diri masuk SMA Pejuang di Magelang. Tetapi ia lulus sekolah lanjutan atas dari SMA Billiton di Bandung.

Meskipun mengakui lemah di pelajaran Aljabar (matematika), Bismar berhasil menyelesaikan sekolahnya. Bahkan kemudian diterima masuk Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Kuliah di sini diselesaikan dengan cepat, empat tahun. “Ini sesuai dengan amanat orang tua saya,” kenang Bismar, seperti tertuang dalam buku Sajadah Panjang Bismar Siregar.

Tidak banyak cerita yang bisa digali dan terungkap dari tulisan-tulisan Bismar mengenai masa-masa kuliahnya. Sebagian mahasiswa FHUI pada dekade 1950-an tinggal di asrama Jalan Pegangsaan Timur No. 17 Jakarta. Bismar tidak tinggal di asrama itu, seperti yang ia kisahkan dalam Rasa Keadilan. “Terkenang kembali, saat saya kemudian menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan bersama tinggal ‘sekamar’ di Jalan Pekalongan 12 Jakarta, di rumah Prof. Ir. Tarip Harahap. Selama menjadi mahasiswa, banyak duka yang sama dikenang. Banyak nikmat, sungguh tidak terbilang”.

Teman ‘sekamar’ yang disebut Bismar adalah Tagor GM, seorang dokter RS Harapan Kita. Bismar mengenang kembali saat mereka bersama di dua masa: saat masih kuliah dan saat bersekolah rakyat di Kotanopan. Tagor adalah anak kepala sekolah HIS Kotanopan, teman sekolah Bismar, yang kemudian diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Mereka bertemu lagi di Jakarta.

Begitulah kehidupan Bismar, dari satu desa ke desa lain, lalu merantau dari satu kota ke kota lain. Menariknya, meskipun sudah merantau sejak remaja, Bismar tak melupakan kampung halamannya. Ia bukan tipikal pejabat yang lupa kacang pada kulitnya. Bahkan dalam salah satu tulisannya di Bunga Rampai Karangan Tersebar (jilid 2), Bismar mengingat bahwa di Siabu dulu ada vervolgschool, sekolah sambungan atau sekolah dua. Sekolah ini lanjutan dari Volkschool (sekolah desa), dengan masa pendidikan dua tahun. Bahasa pengantarnya masih menggunakan bahasa daerah (bahasa Mandailing).

Bismar bukan hanya mengenang masa lalunya di Tapanuli Selatan, tetapi juga tertarik untuk menggali aspek historis dan budaya daerah ini. Pada awal Desember 1984 Bismar pernah didaulat jadi pembicara dalam seminar Norma-Norma Adat Batak. Ia diminta panitia mempresentasikan tema Pengaruh Agama Islam Terhadap Perkembangan Kebudayaan Batak. Dalam makalah itu tergambar jelas pengetahuan Bismar tentang budaya masyarakat Tapanuli Selatan.

Bismar mengakui terus terang, untuk membahas pengaruh Islam di tanah Batak ia merujuk buku Tuanku Rao karya Mangaraja Onggang Parlindungan. Buku ini kemudian memicu polemik kebudayaan dan sejarah antara sejumlah tokoh, antara lain Buya Hamka dan sejarawan Tapanuli Selatan Basyral Hamidy Harahap.

Bismar pun pernah ‘terseret’ polemik mengenai sejarah pendidikan di Tapanuli Selatan, khususnya mengenai peran dan sosok Willem Iskander. Willem Iskander adalah sosok penting di balik sejarah pendidikan khususnya di Mandailing Natal.

Lepas dari polemik itu, Bismar termasuk tokoh yang tak melupakan masa lalunya. Lantaran sibuk sebagai hakim yang berpindah-pindah tugas, mengurus keluarga, dan mengikuti berbagai kegiatan, Bismar tak bisa sering-sering mudik. “Sudah lama tidak mudik…Biarlah tetap menjadi kenangan yang indah,tulisnya.
Tags:

Berita Terkait