Akibatnya, buruh kerap dirugikan dalam praktik perselisihan ketenagakerjaan. Misalnya, ketika buruh mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) prosesnya membutuhkan waktu yang sangat lama untuk mendapatkan kepastian hukum. "Praktiknya, penyelesaian masalah pemutusan hubungan kerja yang dialami buruh bisa bertahun-tahun," ujar Amelia di Jakarta, Minggu (12/7).
Padahal, Amelia melanjutkan, hampir semua PHK merupakan keinginan pengusaha. Tapi malah buruh yang terkena dampak dari berlarutnya proses penyelesaian perselisihan ketenagakerjaan di pengadilan. Untuk itu ia menekankan revisi UU PPHI harus mengutamakan perlindungan atau pro terhadap buruh. "Pasca reses DPR, kita akan dorong pimpinan Komisi IX DPR untuk membahas revisi UU PPHI," ujarnya.
Peneliti Constitutional Review Labour, Research and Consulting, Muhammad Hafidz, mengusulkan tiga poin yang perlu direvisi dalam UU PPHI. Pertama, Pasal 96 yang mengatur kewajiban membayar upah buruh yang menunggu putusan pengadilan di pengadilan hubungan industrial (PHI).
Kedua, revisi terhadap mekanisme penyelesaian di PHI yakni menambahkan pasal baru yang isinya mencantumkan mekanisme penyelesaian perselisihan lewat petugas pengawas ketenagakerjaan. "Perselisihan hubungan industrial mengenai hak yang sudah mendapatkan nota pegawai pengawas ketenagakerjaan, tidak perlu lagi disengketakan ke PHI, tetapi PHI langsung saja melakukan upaya paksa dengan mengeksekusi nota tersebut," katanya.
Ketiga, penyelesaian yang ditempuh menggunakan mediasi dilakukan dalam pengadilan seperti yang berlaku pada pengadilan umum. Selain itu harus ada pengaturan tentang batas waktu penyelesaian prosedural di Mahkamah Agung (MA).
Terpisah, hakim ad hoc PHI MA, Fauzan, mengidentifikasi ada perubahan substansi hukum pada ketentuan yang diatur dalam UU PPHI dengan peraturan sebelumnya. Diantaranya, UU PPHI tidak menganut prinsip job security, sehingga PHK yang dilakukan pengusaha terhadap buruh praktiknya tergolong mudah dilakukan.
Fauzan juga melihat ada masalah pada proses pembuktian di pengadilan. Buruh dalam posisi yang kurang diuntungkan dalam hal pembuktian karena sebagian besar bukti ada di tangan pengusaha. Sayangnya, UU PPHI menganut prinsip peradilan perdata dimana mengharuskan yang mendalilkan untuk membuktikan. “Ke depan sistem pembuktiannya harus adil. Yang memegang bukti yang harus membuktikan,” urainya.
Eksekusi adalah masalah lain yang kerap dikeluhkan buruh. Sekalipun putusan pengadilan memenangkan buruh, tapi proses eksekusi cenderung merugikan buruh. Sebab, banyak proses yang harus ditempuh sebelum eksekusi dilakukan. Itu berlaku karena mekanisme yang dianut UU PPHI adalah perdata. “Harus ada mekanisme khusus dalam proses eksekusi seperti (pengadilan) pajak dan niaga, harus ada upaya memaksa,” pungkasnya.