Dua Pakar HTN Ini Dukung KY untuk SPH
Berita

Dua Pakar HTN Ini Dukung KY untuk SPH

Keterlibatan KY dalam proses seleksi hingga pengangkatan hakim karir justru membuat pola seleksi lebih transparan dan akuntabel.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Guru Besar FH Universitas Andalas, Saldi Isra. Foto: SGP
Guru Besar FH Universitas Andalas, Saldi Isra. Foto: SGP
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Saldi Isra berpendapat suatu kekeliruan besar dan mendasar ketika undang-undang mengamanatkan Komisi Yudisial (KY) terlibat dalam seleksi pengangkatan hakim (SPH) sebagai norma yang bertentangan dengan UUD 1945. Justru, bila disederhanakan, frasa “mempunyai wewenang lain” dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 memberi ruang pembentuk undang-undang melakukan pilihan hukum untuk mendisain kewenangan KY.

Bila mengikuti semangat para pengubah UUD 1945, frasa ‘mempunyai wewenang lain’ tersebut sejalan dengan wewenang KY dalam proses rekrutmen calon hakim. Jauh lebih penting, kehadiran aturan ini tidak menabrak ketentuan apapun dalam UUD 1945,” ujar Saldi Isra saat memberi keterangan ahli dalam sidang lanjutan pengujian tiga paket Undang-Undang (UU) bidang peradilan yang diajukan IKAHI di gedung MK, Selasa (28/7).

Saldi menegaskan para pembentuk UUD 1945 telah melakukan pilihan tepat saat mengamanatkan pembentuk undang-undang memberi wewenang KY dalam proses rekrutmen calon hakim. Pembentuk undang-undang dinilai telah menjemput kembali semangat dan arus besar yang dikehendaki mereka (paling tidak mayoritas) yang terlibat dalam perubahan UUD 1945, utamanya mereka yang tergabung dalam PAH I BP MPR, reformasi kekuasaan kehakiman.

“Kekeliruan yang amat mendasar seandainya ada pendapat, keterlibatan KY dalam proses rekrutmen calon hakim dapat mengganggu independensi kekuasaan kehakiman,” kata ahli yang sengaja dihadirkan KY ini.

Dia sependapat dengan pandangan Prof Moh. Mahfud MD, mantan Ketua MK, yang menyebut pemberian kewenangan bagi KY untuk ikut seleksi pengangkatan hakim justru untuk memperkuat tampilnya lembaga yudikatif yang merdeka plus kuat, bersih dan profesional. Menurutnya, secara filosofis, kewenangan besar menegasikan keterlibatan dan peran pihak lain sangat mungkin menghadirkan kekuasaan yang korup.

“Postulat Lord Acton mengatakan power tends to corrupt, abolute power corrupt absolutely. Pemberian wewenang KY dalam proses seleksi calon hakim untuk mencegah terbukanya ruang penyalahgunaan wewenang. Sebab, bagaimanapun proses seleksi sangat rawan praktik curang yang dapat diminimalisir dengan proses terbuka dan partisipatif dengan melibatkan pihak lain,” papar Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas ini.

Ditambahkan Saldi, saat ini pola pengisian eselon satu atau jabatan lain dilakukan terbuka dan partisipatif yang tidak lain bertujuan mencegah terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Anehnya, keterlibatan KY dalam proses seleksi calon hakim justru menimbulkan kecurigaan. Apa penolakan ini karena menganggu kemandirian kekuasaan kehakiman atau ancaman gangguan atas zona nyaman dalam proses seleksi calon hakim selama ini?

“Karena itu, Mahkamah tentunya memiliki tenggung jawab sejarah pula menjaga dan juga melanjutkan semangat para pengubah UUD 1945,” katanya.

Ahli KY lainnya, dosen Hukum Tata Negara UGM, Zainal Arifin Mochtar memaparkan keterlibatan KY dalam proses seleksi hingga pengangkatan hakim karir justru membuat pola seleksi lebih transparan dan akuntabel. Apalagi putusan MK tahun 2006 telah mendudukan KY mitra utama (partnership) MA dalam menjaga keseimbangan independensi dan akuntabilitas peradilan. Jadi, tidak dapat dipandang seleksi hakim oleh KY bagian dari intervensi, tetapi harus dipandang sebagai bagian memperkuat independensi.

Ia berharap tidak ada kesan yang dimaksud independensi adalah ketaatan pada MA. Jika jajaran MA menganggapkewenangan iniakan mensubordinasiindependensi peradilan, itu juga tidak beralasan. Justru melalui mekanisme yang lebih merit (based on merit system),kewenangan MA dalam seleksi hakim karir dapat diimbangi dengan KY. “Jika MK setuju model ini, sesungguhnya MK telah melakukan pemurnian atau purifikasi terhadap kewenangan KY,” harapnya.

Pengurus Pusat IKAHI telah mempersoalkan aturan yang memberi wewenang KY untuk terlibat dalam SPH bersama MA di tiga lingkungan peradilan. IKAHI memohon pengujian Pasal 14A ayat (2), (3) UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, Pasal 13A ayat (2), (3) UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, dan Pasal 14A ayat (2),(3) UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

IKAHI mengganggap kewenangan KY dalam proses SPH mendegradasi peran IKAHI untuk menjaga kemerdekaan (independensi) yang dijamin Pasal 24 UUD 1945. Selain itu, Pasal 21 UU Kekuasaan Kehakiman menyebutkan organisasi, administrasi, dan finansial MA dan badan peradilan berada di bawah kekuasaan MA.

Terlebih, Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 tidak mengamanatkan keterlibatan KY dalam SPH. Bahkan, keterlibatan KY dinilai menghambat regenerasi hakim. Karenanya, pemohon meminta agar keterlibatan KY dalam SPH dihapus dengan cara menghapus kata “bersama” dan frasa “Komisi Yudisial” dalam pasal-pasal itu, sehingga hanya MA yang berwenang melaksanakan SPH.
Tags:

Berita Terkait