Dua Profesor Ini Bicara tentang Pengujian UU Perlindungan Konsumen
Berita

Dua Profesor Ini Bicara tentang Pengujian UU Perlindungan Konsumen

Permohonan ini dianggap bukan persoalan konstiusionalitas norma, melainkan masalah penerapan norma UU Perlindungan Konsumen.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Dua Ahli yang dihadirkan pihak Pemerintah (Ki-Ka) Yohanes Gunawan dan Benadet Waluyo di Ruang Sidang Pleno Gedung MK, Senin (24/8). Foto: Humas MK
Dua Ahli yang dihadirkan pihak Pemerintah (Ki-Ka) Yohanes Gunawan dan Benadet Waluyo di Ruang Sidang Pleno Gedung MK, Senin (24/8). Foto: Humas MK
Sidang lanjutan pengujian Pasal 4 huruf c dan Pasal 7 huruf UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen) terkait kewajiban memberi informasi yang benar produk barang/jasa termasuk alamat lengkap perusahaan yang bertanggung jawab. Sidang kali ini, didengar beberapa ahli yang diajukan pihak pemerintah yakni Guru Besar Hukum Perlindungan Konsumen yakni Prof Johannes Gunawan dan Prof Bernadette M. Waluyo.

Dalam pandangan Gunawan, Pasal 8 UU ayat (1) huruf i UU Perlindungan Konsumen bisa ditafsirkan sebagai adanya kewajiban pelaku usaha untukmencantumkan alamat perusahaan secara umum. Sedangkan rincian kewajiban dimaksud biasanya diatur di luar UU Perlindungan Konsumen tentang pemasangan/pembuatan nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan barang dan jasa.

“Kewajiban itu bukan diatur dalam UU Perlindungan Konsumen, tetapi diatur lebih rinci oleh peraturan di bawah Undang-Undang sesuai dengan karakter, sifat, jenis jasa dan barang oleh masing lembaga/kementerian terkait,” ujar Gunawan dalam sidang pengujian UU Perlindungan Konsumen di MK, Senin (24/8).

Pasal 8 ayat (1) huruf i UU Perlindungan Konsumen melarang antara lain pelaku usaha yang memproduksi dan memperdagangkan tidak memasang label atau memuat nama dan alamat pelaku usaha.

Dia beralasan kewajiban pencantuman alamat domisili/alamat lengkap perusahaan diatur di luar UU Perlindungan lantaran setiap barang/jasa yang beredar di masyarakat beragam dan bervariasi. Makanya, pasal itu memuat frasa “yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat”, sehingga kewajiban letak pencantuman dengan banyak variasi tidak memungkinkan dalam UU Perlindungan Konsumen.

Dia menjelaskan barang bisa dikelompokkan menjadi barang bergerak, tidak bergerak, barang tidak bertubuh dan jasa bisa dikelompokkan menjadi jasa profesional dan komersial yang masing-masing dirinci lagi. “Ketika barang bergerak berupa minuman ringan diproduksi dua perusahaan dari produk minumannya dan botolnya, lalu perlu diatur siapa yang berkewajiban mencantumkan alamat pelaku usahanya?” paparnya.

Lagipula, kata Guru Besar Hukum Perikatan dan Hukum Perlindungan Konsumen Universitas Parahyangan Bandung ini, Pasal 23 UU Perlindungan Konsumen sudah mengatur mekanisme perolehan informasi ketika suatu produk barang/jasa merugikan konsumen. Bagi pelaku usaha yang menolak atau tidak memenuhi tuntutan ganti rugi konsumen bisa menggugat ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atau pengadilan negeri.

“Gugatan pemohon ke pengadilan negeri yang dinyatakan error in persona masalah hukum acara perdata yang tidak berhubungan langsung dengan pengujian UU Perlindungan Konsumen ini,” katanya.

Hal senada disampaikan Bernadette yang menilai permohonan ini bukan persoalan konstiusionalitas norma, melainkan masalah penerapan norma UU Perlindungan Konsumen. “Permasalahan pemohon menyangkut penerapan norma yang masuk wilayah hukum acara perdata,” tegasnya.

Harus disadari pemohon, saat UU Perlindungan Konsumen disusun, perdagangan barang di Indonesia tidak selalu dilakukan produsen. Namun, terbanyak dilakukan sebagai mata rantai perdagangan mulai produsen, distributor, subdistributor, grosir, pengecer yang langsung berhubungan dengan konsumen. Ada juga melalui agen, importir, waralaba, kerja sama yang memiliki akibat hukum yang berbeda.

“Tentunya ini sangat penting menentukan siapa pihak yang paling bertanggung jawab apabila terjadi kerugian bagi konsumen,” papar wanita yang tercatat sebagai anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN RI) ini.

Karena itu, pengaturan tentang pencantuman nama dan domisili pelaku usaha bertanggung jawab akan sangat beragam pula. “Hal ini harus diatur dalam peraturan yang lebih spesifik tentang pelaku usaha tertentu, bukan dalam UU Perlindungan Konsumen,” tegasnya.

“Kalau pihak pemohon, pemerintah tidak mengajukan saksi/ahl lagi, maka ini sidang terakhir. Para pihak kita minta menyerahka kesimpulan pada Selasa 1 September 2015, kesimpulan langsung diserahkan ke kepaniteraan MK,” ujar Arief sebelum menutup persidangan.

Sebelumnya, Samuel Bonaparte, Ridha Sjartina, dan Satrio Laskoro memohon pengujian Pasal 4 huruf c dan Pasal 7 huruf b UU Perlindungan Konsumen. Pasal 4 huruf c menjaminhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa. Lalu, Pasal 7 huruf b mengatur kewajiban pelaku usaha memberi informasi yang benar dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa.

Ketentuan itu dinilai tidak mencantumkan hak konsumen mendapatkan informasi yang benar dan lengkap atas nama badan hukum dan domisili badan hukum (rumah sakit) dari produk barang dan atau jasa yang dibeli konsumen. Selain itu, tidak ada kewajiban bagi produsen mencantumkan nama badan hukum dan domisili lengkap yang bertanggung jawab atas produk barang atau jasa yang dibeli konsumen itu.

Alasannya, salah satu pemohon pernah mengalami kasus malpraktik di sebuah rumah sakit dan kesalahan domisili developer penjualan rumah. Namun, ketika proses sidang gugatan pelanggaran hak konsumen seringkali tidak diterima pengadilan dengan alasan error in persona. 

Penggugat dinilai salah alamat menggugat lantaran alamat yang digugat bukan pihak yang bertanggung jawab. Kedua pasal itu diminta tafsir bersyarat yang mewajibkan pelaku usaha mencantumkan nama badan hukum dan domisili yang lengkap yang bertanggung jawab atas setiap produk barang atau jasa yang dijual.
Tags:

Berita Terkait