Menanti Payung Hukum ‘Kokoh’ untuk Sektor Migas
Fokus

Menanti Payung Hukum ‘Kokoh’ untuk Sektor Migas

Kokoh berarti minim potensi melanggar konstitusi serta mampu menjadi payung pelindung bagi kepentingan nasional dan sekaligus tetap memberi kenyamanan bagi kalangan investor asing.

RZK
Bacaan 2 Menit
Bajaj biru, salah satu pengguna bahan bakar gas. Foto: RES
Bajaj biru, salah satu pengguna bahan bakar gas. Foto: RES
Tiga belas Mei 2015 lalu, Perusahaan Gas Negara (PGN) merayakan hari jadi yang ke-50. Melihat usianya, PGN bisa dibilang termasuk kategori perusahaan ‘tua’ di Tanah Air. Bahkan, jika dirunut sejak embrionya hadir pada era penjajahan Belanda dengan nama I.J.N Eindhoven & Co yang berdiri pada tahun 1859, PGN sejatinya sudah berusia lebih dari satu abad.

PGN lahir bersamaan dengan Perusahaan Listrik Negara berdasarkan PP Nomor 19 Tahun 1965. Pasal 7 ayat (2) PP tersebut menyatakan “Perusahaan Gas Negara (PGN.) berusaha dalam lapangan penyediaan tenaga gas dan industri gas termasuk hasil tambahan (by products) dalam arti seluas-luasnya, terutama dengan tujuan mempertinggi derajat hidup masyarakat umum.”

Awalnya, sebagaimana disebut dalam Pasal 8 ayat (2) PP 19/1965, PGN diamanahkan untuk menjalankan sejumlah tugas, antara lain pengusahaan (eksploitasi) dan pengembangan perusahaan industri gas/kokas; produksi, transmisi dan distribusi tenaga gas/kokas; perencanaan dan pembangunan yang bersifat suplementer/komplementer serta pemugaran di bidang gas; dan lain-lain.

Pada perkembangannya, PGN juga menjalankan misi konversi energi. PGN mendorong agar pelaku industri dan masyarakat secara umum beralih ke gas bumi yang diyakini sebagai energi yang lebih aman, efisien, dan ramah lingkungan jika dibandingkan jenis energi lainnya seperti minyak bumi. Mewujudkan konversi energi tentunya tidak mudah karena pada periode tertentu energi minyak bumi di Indonesia sempat mengalami kejayaan.

Lambat laun, misi konversi energi mulai menunjukkan hasil positif, walaupun belum dapat dikatakan sukses total. Tetapi, setidaknya sebagaimana dikutip dari www.bumn.go.id, PGN telah berhasil membangun 6.000 kilometer pipa transmisi dan distribusi. PGN berhasil menyalurkan gas bumi untuk memenuhi kebutuhan domestik setara dengan 23 juta liter per hari.

Kini, manfaat gas bumi dapat digunakan untuk pembangkit listrik, industri, usaha komersial termasuk restoran, hotel dan rumah sakit, stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) serta rumah tangga. Dalam rangka memperluas pemanfaatan gas bumi, PGN tercatat beberapa kali meluncurkan program-program menarik yang patut diapresiasi seperti program “PGN Sayang Ibu” atau “Ayo Kita NgeGas Merdeka”.

Urgensi Perubahan UU
Terlepas dari misi konversi energi yang sudah dan masih akan terus dijalankan PGN, persoalan payung hukum juga perlu mendapat perhatian khusus. Praktis, saat ini, payung hukum yang tersedia untuk sektor gas bumi adalah UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas). Beleid ini tentunya sudah mendesak untuk segera diperbarui/diganti karena dua alasan.

Pertama, UU Migas telah berusia kurang lebih 14 tahun yang berarti perlu dilakukan penyesuaian substansi mengingat sektor energi, khususnya gas bumi, baik itu lingkup lokal maupun internasional sudah berkembang pesat. Terdapat beberapa kondisi-kondisi khusus seperti pemberlakuan masyarakat ekonomi ASEAN yang harus segera disikapi dengan penyempurnaan regulasi.

Kedua, UU Migas telah ‘dibredel’ oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui proses pengujian undang-undang yang dimohonkan sekira 32 tokoh dan 10 organisasi kemasyarakatan, salah satunya Muhammadiyah pada tahun 2012 lalu. Atas nama ‘Jihad Konstitusi’, Muhammadiyah dkk menilai dalam UU Migas membuka liberalisasi pengelolaan Migas yang sangat didominasi pihak asing karena dunia permigasan Indonesia dikuasai oleh perusahaan asing sampai 89 persen. Pasal 33 UUD 1945 menjadi batu uji yang didalilkan para pemohon.  

“UU Migas telah meruntuhkan kedaulatan negara dan kedaulatan ekonomi bangsa. UU Migas ini menjadi dzalim terhadap bangsa Indonesia sendiri,” begitu dalil para pemohon yang tertuang dalam berkas permohonan.

Atas permohonan Muhammadiyah dkk ini, Majelis MK telah mengambil putusan yang cukup mengejutkan sejumlah kalangan, kala itu. Dalam Putusan Nomor 36/PUX/2012 tanggal 13 November 2012, MK menyatakan Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) inkonstitusional. Menurut Mahkamah, keberadaan BP Migas sangat berpotensi untuk terjadinya inefisiensi dan diduga, dalam praktiknya, telah membuka peluang bagi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan.

Walaupun tidak diinstruksikan secara eksplisit dalam putusan MK, BP Migas akhirnya dilikuidasi. Sebagai pengganti, pemerintah membentuk Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas atau disingkat SKK Migas berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Migas.

Putusan Nomor 36/PUX/2012 otomatis telah menjadikan UU Migas tidak utuh lagi. Dan legislatif, dalam hal ini DPR periode 2009-2014, sebenarnya telah responsif dengan langsung mencanangkan pembahasan RUU Migas yang baru. Namun, hingga bergantinya pemerintahan dari Susilo Bambang Yudhoyono ke Joko Widodo, RUU tersebut tak kunjung rampung pembahasannya.

Lalu, DPR periode 2014-2019 ‘mewarisi’ pekerjaan rumah tersebut. Daftar Program Legislasi Nasional 2014-2019 mencantumkan RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas pada nomor 95 dari total 160 RUU yang dicanangkan. Bahkan, RUU tersebut masuk dalam prioritas pembahasan legislasi DPR tahun 2015. Sayangnya, hingga kini, menjelang akhir tahun 2015, nasib RUU Migas tidak kunjung jelas.

Anggota Komisi VII DPR RI, Satya Yudha, mengakui proses revisi UU Migas memang cukup alot. Menurutnya, ada beberapa hal yang mempengaruhi alotnya pembahasan RUU yang satu ini, di antaranya migas sebagai sumber daya alam strategis tidak terbarukan merupakan komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak. Oleh karena itu, menurutnya, harus dicari formulasi aturan agar pengelolaannya bisa optimal untuk sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Di sisi lain, Yudha menilai bahwa saat ini kegiatan usaha migas cenderung mengarah kepada liberalisasi. Akibatnya, penggodokan aturan mengenai migas menjadi bersinggungan dengan banyak aspek ekonomi. Namun dia menegaskan, pengelolaan migas harus mampu membawa dampak positif bagi kesejahteraan rakyat.

“Sektor migas tidak hanya sebagai sumber pendapatan negara, tapi harus mendorong pertumbuhan ekonomi nasional,” katanya, Februari 2015 lalu.

Kepala Bagian Bantuan Hukum Sekretariat Jenderal Kementerian ESDM, Agus Salim, menilai ada beberapa aspek yang harus segera dituntaskan dalam revisi UU Migas, antara lain posisi negara dalam pemanfaatan sumber daya alam harus kuat. Menurutnya, Pasal 33 UUD 1945 harus menjadi prinsip dasar pengelolaan dan pengusahaan migas. Dengan kata lain, hak kepemilikan atas migas ada pada negara dan negara sendiri harus memperoleh keuntungan.

Namun ia mengingatkan, keuntungan negara seharusnya bukan didapat dari faktor yang merugikan investor. Di sisi lain, Agus juga menekankan pentingnya aturan yang memastikan tak ada keuntungan bagi pihak asing dalam pengelolaan migas. Hanya saja, Agus berharap revisi UU Migas bisa memperjelas aturan yang mendukung investasi.

“Pengusahaan di bidang migas tidaklah sama dan sebangun dengan pengusahaan di bidang sumber daya alam lainnya, seperti mineral atau batu bara. Apalagi, jika dibandingkan dengan pengusahaan di bidang properti atau jalan tol,” ujarnya.

Ia mengatakan, pengelolaan migas harus didasari pemahaman yang komprehensif terhadap jenis bisnis ini. Dia mencontohkan, minyak terdapat di dalam lapisan batuan reservoar. Untuk memastikan apakah di bawah perut bumi ada minyak atau tidak, diperlukan seperangkat aktivitas, mulai survei geologi sampai dengan eksplorasi dan eksploitasi.

Petroleum Fund
Dikutip dari laman resmi DPR, RUU Migas tercatat sebagai RUU usulan inisiatif DPR yang resmi diajukan sejak 2 Februari 2015. Termasuk dalam barisan pengusul antara lain Komisi VII DPR, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, dan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

DPR menyebut terdapat dua tujuan yang ingin dicapai dengan adanya perubahan UU Migas. Pertama, untuk mewujudkan jaminan atas penyelenggaraan kegiatan usaha di bidang minyak dan gas bumi yang berpedoman pada prinsip efisiensi dan efektivitas dalam pengelolaannya. Kedua, mewujudkan tata kelola Migas baik di hulu maupun di hilir.

Penjelasan laman resmi DPR menyebutkan RUU Migas akan memuat sejumlah substansi penting antara lain Badan Pengusahaan Migas (Bentuk Badan, Kelembagaan/Struktur Organisasi, Tugas dan Wewenang BP); Penetapan dan Pengelolaan Wilayah Kerja (Pihak yg menyiapkan, Pihak yg menetapkan, Pihak yg menawarkan); Penawaran Wilayah Kerja Baru dan Perpanjangan Wilayah Kerja lama (privilege) kepada PT.Pertamina & Pemberian Participating Interest 15% ke PT.Pertamina.

Lalu, Skema Bagi Hasil, Pendapatan Negara, Cost Recovery, Participating Interest 10% ke BUMD Daerah Penghasil, Porsi Alokasi Migas Kebutuhan Dalam Negeri ≥ 25%; Ketentuan Isi Kontrak Kerja Sama (seperti jangka waktu kontrak, jangka waktu perpanjangan, dll); Pembinaan dan Pengawasan sektor migas (Hulu dan Hilir), dan Petroleum Fund (Dana Migas).

Dari substansi-substansi tersebut, Petroleum Fund termasuk yang paling hangat didiskusikan. RUU yang kini digodok DPR dan pemerintah menempatkan pengaturan khusus tentang Petroleum Fund pada Bab IX Pasal 54-56.

Secara konseptual, Petroleum Fund adalah sebagian dana penerimaan negara dari sektor migas yang didepositokan atau disisihkan untuk peruntukkan tertentu. Wacana Petroleum Fund berangkat dari kekhawatiran depletion premium, yaitu kondisi dimana sumber daya migas tersedia dalam jumlah tertentu akan menurun karena tidak ada peningkatan stok dideposit terkait, atau karena laju penggunaan melebihi laju penggantian.

Di dalam RUU dirumuskan bahwa pengusahaan dan pengelolaan Petroleum Fund diserahkan kepada menteri yang terkait dengan sektor migas, Menteri Keuangan, dan Badan Pengusahaan. Petroleum Fund akan ditempatkan di sebuah rekening bersama secara transparan dan akuntabel. Pengelolaan Petroleum Fund akan diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan akuntan publik.

Petroleum Fund ditujukan untuk kegiatan yang berkaitan dengan penggantian cadangan migas, pengembangan energi terbarukan, dan untuk kepentingan generasi yang akan datang. Sumber Petroleum Fund antara lain hasil penerimaan kotor migas bagian negara; bonus-bonus yang menjadi hak pemerintah berdasarkan kontrak kerja sama dan undang-undang; dan pungutan dan iuran yang menjadi hak negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Koordinator Nasional Publish What You Pay Indonesia (PWYP) Maryati Abdullah berpendapat skema Petroleum Fund merupakan satu hal yang penting untuk dibahas dalam konteks kebijakan umum di sektor migas. Pasalnya, skema Petroleum Fund berfungsi sebagai stabilisasi harga energi serta kepentingan generasi mendatang.

Sayangnya, kata Maryati, konsep Petroleum Fund yang tercantum dalam RUU tidak jelas. RUU tidak memberikan informasi apapun mengenai tujuan dasar ini, seperti tabungan, stabilisasi atau mencegah krisis, mendorong prioritas pembangunan, sentralisasi dan inflasi serta mengamankan pendapatan.

Rasa Nasionalis
Di luar persoalan substansi, hal menarik lainnya adalah semangat nasionalis yang coba dihembuskan pembentuk undang-undang ke dalam RUU Migas yang tengah digodok DPR. Anggota Komisi VII DPR, Bobby Rizaldi menegaskan bahwa RUU Migas akan jauh berbeda dengan UU Migas yang saat ini berlaku yang cenderung liberalisasi. RUU Migas akan kental nuansa keberpihakannya pada kepentingan nasional dalam bentuk, misalnya bagi kontrak yang habis masa kontraknya akan diberikan dahulu ke Pertamina.

Apa yang disampaikan Bobby jelas sejalan dengan semangat “Jihad Konstitusi” yang didengungkan oleh Muhammadiyah dkk selaku pemohon pengujian UU Migas pada tahun 2012 yang kemudian diamini oleh Putusan MK Nomor 36/PUX/2012. Semangat nasionalis itu pula yang ditunjukkan Muhammadiyah dkk ketika mengajukan permohonan pengujian UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan UU Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.

Nasionalis atau tidak, tentunya menjadi kewenangan sepenuhnya pembentuk undang-undang, dalam hal ini DPR dan pemerintah. Apapun pilihannya, RUU Migas seharusnya tetap mengedepankan asas keberimbangan. Bahwa, melindungi kepentingan nasional tentunya sangat penting, tetapi iklim investasi tetap harus diperhatikan. Di era globalisasi dan pasar bebas seperti saat ini, keberadaan investor asing tentunya tak bisa dielakkan. Faktanya, Indonesia yang memiliki kekayaan alam berlimpah membutuhkan investor asing yang memiliki dana banyak.

Investor asing pada prinsipnya ‘hanya’ butuh kepastian hukum. Limitasi-limitasi yang diciptakan pembentuk undang-undang demi melindungi kepentingan nasional pada akhirnya akan dipandang sebagai masalah minor oleh investor asing sepanjang kepastian hukum terjamin. Dan salah satu bentuk kepastian hukum itu adalah regulasi yang jelas.

DPR dan pemerintah harus bertanggung jawab untuk segera menuntaskan masalah regulasi ini. Tiga tahun setelah Putusan MK yang berdampak pada pembubaran BP Migas, adalah waktu yang lebih dari cukup bagi legislatif untuk menelurkan UU Migas baru yang semestinya menjadi jawaban atas beragam masalah terkait tata kelola migas nasional.

Idealnya, UU Migas yang baru adalah UU Migas yang ‘kokoh’ dalam arti minim potensi melanggar konstitusi serta mampu menjadi payung pelindung bagi kepentingan nasional dan sekaligus tetap memberi kenyamanan bagi kalangan investor asing. Jika kondisi ideal terwujud, maka PGN selaku salah satu tulang punggung sektor migas nasional dapat mencapai tujuan hakiki seperti ketika 50 tahun silam lahir lewat PP Nomor 19 Tahun 1965, yakni mempertinggi derajat hidup masyarakat umum.
Tags: