Aturan Mucikari dalam KUHP Dibawa ke MK
Berita

Aturan Mucikari dalam KUHP Dibawa ke MK

Persoalan ini juga seharusnya bisa disuarakan melalui DPR yang tengah membahas RUU KUHP.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS.
Ilustrasi: BAS.
Setelah divonis bersalah, akhirnya terdakwa kasus ‘mucikari’, Robby Abbas, melayangkan permohonan uji materi konstitusionalitas Pasal 296 dan Pasal 506 KUHP ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ia beralasan normaitu dianggap tidak bisa memidanakan pihak yang meminta dicarikan penyedia jasa prostitusi alias pekerja seks komersil dan pihak yang memperoleh kenikmatan seksual itu. Padahal, dalam prostitusi biasanya terdapat tiga pihak yang terlibat yakni orang yang mencarikan (mucikari), orang yang meminta dicarikan, dan orang yang menikmati.

Pemohon menganggap hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya Pasal 296 dan Pasal 506 KUHP. Tetapi, kedua pasal itu hanya menjerat dan memberi sanksi pidana pada pemohon,” ujar salah satu kuasa hukum Robby, Supriyadi,  dalam sidang pendahuluan di ruang sidang MK, Selasa (10/11).

Pasal 296 KUHP menyebutkan “Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.” Sedangkan Pasal 506 KUHP menyebutkan Barangsiapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencarian, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun.”

Pada 27 Oktober lalu, Majelis Hakim PN Jakarta Selatan memvonis Robby Abbas dengan hukuman 16 bulan penjara karena terbukti menjalankan praktek mucikari (germo) terhadap artis bernisial AA. Majelis hakim menilai Robby terbukti bersalah dengan sengaja menyebabkan orang lain melakukan percabulan dan menjadikannya sebagai mata pencaharian.

Sebelumnya, Robby dan seorang artis berinisal AA ditangkap di sebuah hotel di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan pada 8 Mei 2015 lalu. Saat ditangkap, Robby diduga tengah menawarkan jasa AA kepada seorang polisi yang menyamar sebagai pelanggan. Atas perbuatannya, penuntut umum menuntut hukuman maksimal selama 1 tahun dan 4 bulan.Dalam kesaksian di persidangan, AA juga mengakui dirinya yang meminta Robby mencarikan pria.

Pengacara dari Heru Widodo Law Office itu menegaskan Pasal 296 jo Pasal 506 KUHP hanya dapat dikenakan kepada seseorang atau subjek hukum yang menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul atau seks komersial. Sedangkan pihak lain yang terlibat seperti pekerja seks komersial dan pihak yang mendapatkan kenikmatan seksual dengan memberi imbalan tidak dikenakan hukuman pidana. “Dalam kasus pemohon, pihak yang menghubungi pemohon untuk dicarikan artis penyedia jasa prostitusi dengan memberi imbalan uang tidak dikenakan sanksi pidana dan hanya dijadikan saksi,” kata dia.

Dia menilai ada kekosongan hukum dalam Pasal 296 dan Pasal 506 KUHP itu. Diakuinya, sanksi bagi pengguna jasa prostitusi hanya diatur melalui Peraturan Daerah. Seperti, Pasal 42 ayat (2) Perda DKI Jakarta No. 8 Tahun 2007 dan Perda Kota Tanggerang No. 8 Tahun 2005. Perda tersebut menyebutkan perbuatan hubungan seksual di luar pernikahan untuk mendapatkan imbalan jasa merupakan perbuatan melanggar hukum. “Jika hal tersebut tidak diatur dengan Undang-Undang yang lebih tinggi akan menimbulkan ketidakpastian hukum.”

Karena itu, pemohon meminta Pasal 296 KUHP bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “Barangsiapa dengan sengaja melakukan pencabulan dengan tujuan mendapatkan imbalan jasa, atau menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda berdasarkan kepatutan.”

“Pasal 506 KUHP bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai ‘Barangsiapa melakukan pencabulan dengan tujuan mendapatkan imbalan jasa atau menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencarian, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun’,” sebutnya dalam petitum permohonan.

Permohonan luar biasa
Menanggapi permohonan, Ketua Majelis Panel Patrialis Akbar mengakui pengaturan kedua pasal itu tidak bisa menjerat pelaku prostitusinya (pencabulan), tetapi hanya menjerat perantara prostitusi. “Permohonan ini luar biasa dan ada kesadaran yang mulia,” sebutnya mengawali nasihat dalam permohonan ini.

Dia menyarankan agar permohonan ini menambahkan Pasal 28 J ayat (1), (2), selain Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sebagai pasal batu uji. Sebab, ada sebagian berpendapat pelaku prostitusi adalah hak asasi seseorang (HAM). Namun, dia mengingatkan sistem hak asasi di Indonesia tidak sama dengan sistem hak asasi di negara lain yang cenderung liberal. “Pasal 28 J UUD 1945 mengatur setiap hak dan kebebasan seseorang dibatasi dengan hak dan kebebasan orang lain dengan mempertimbangkan nilai moral dan agama,” ujarnya mengingatkan.

Hal senada disampaikan anggota Majelis Panel Manahan MP Sitompul yang menilai kedua pasal itu tidak bisa menjerat pelaku pencabulan. Tetapi, persoalan ini bisa menggunakan Pasal 284 KUHP (perzinahan) kalau salah satunya terikat dengan perkawinan. “Kalau tidak,  memang ini rechtsvacuum (kekosongan hukum). Namun, harus diingat kita bukan postif legislator yang bisa menambah norma, hanya bisa pemaknaan bersyarat,” kata Manahan.

Anggota panel lainnya, Wahidudin Adams meminta agar perjuangan pemohon tidak hanya sampai permohonan pengujian kedua pasal ini. Namun, persoalan ini bisa disuarakan melalui DPR yang tengah membahas RUU KUHP. “KUHP kita sudah cukup lama, perjuangan pemohon seharusnya tidak berhenti di sini. Sebab, beberapa ketentuan yang berkaitan dengan praktik prostitusi ini seharusnya dimasukkan dalam RUU KUHP,” harapnya.
Tags:

Berita Terkait