“Dengan demikian, tidak terdapat korelasi sekaligus koherensi antara dalil permohonan dan argumentasi yang digunakan untuk mendukung dalil tersebut,” ujar Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna saat membacakan pertimbangan putusan.
Mahkamah menegaskan permintaan pemohon sama sekali tidak ada hubungan dengan persoalan konstitusionalitas Pasal 81 UU PPHI yang mengatur kompetensi relatif PHI. Menurut majelis, perkara permohonan hakikatnya hanya berkaitan kepentingan sepihak saja tanpa ada sengketa dengan pihak lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan.
“Dalam konteks permohonan ini, jelas perkara PHK tidak mungkin dikonstruksikan sebagai permohonan. Sebab, perkara PHK jelas ada unsur sengketa (disputes) antara para pihak, setidak-tidaknya dua pihak. Mekanisme demikian tidak mungkin dapat dilaksanakan dalam sidang perkara permohonan,” lanjut Palguna.
Menurut Mahkamah mekanisme gugatan justru menjamin perlindungan dan kepastian hukum sekaligus keadilan. Sebab, melalui mekanisme acara gugatan dalam perselisihan hubungan industrial berupa PHK, para pihak baik buruh dan pengusaha diberikan kedudukan yang seimbang.
Salah seorang pemohon, M. Hafidz, mengatakan akan mempelajari putusan ini, untuk kemudian mempertimbangkan apakah akan mengajukan kembali permohonan ini dengan mengubah argumentasi. “Kita coba ngobrol dulu, apakah akan diajukan kembali atau tidak,” ujar Hafidz usai persidangan.
Hafidz meminta agar Pasal 81 UU PPHI ditafsirkan sebagai permohonan, bukan gugatan yang selama ini diterapkan di PHI. Namun, MK tak mempertimbangkan masa berlakunya UU No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Dalam wet ini proses PHK cukup dengan permohonan izin PHK melalui P4D. “Ini kan menggunakan permohonan proses PHK-nya,” kata Hafidz.
Putusan ini adalah jawaban Mahkamah atas permohonan sembilan buruh/pekerja di wilayah Karawang dan Bogor. Abda Khair Mufti, Agus Humaedi Abdilah, Muhammad Hafidz, Chairul Eillen Kurniawanmempersoalkan Pasal 81 UU PPHI terkait model penyelesaian hubungan industrial (termasuk perselisihan PHK) berdasarkan gugatan (contentiosa) antara buruh dan pengusaha di PHI.
“Gugatan perselisihan hubungan industrial, dikecualikan perselisihan PHK harus dengan ‘permohonan’ diajukan ke PHI pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat buruh bekerja”.
PHI untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konkrit gugatan perselisihan hubungan industrial. Namun, justru dalil permohonan sama sekali tidak bersangkut dengan kompetensi relatif, tetapi menyoroti sifat perselisihan hubungan industrial berupa PHK yang seharusnya bukan melalui mekanisme gugatan melainkan permohonan (hukum acara).