Bantuan Hukum Struktural di Mata Tiga 'Pentolan' LBH Jakarta
Berita

Bantuan Hukum Struktural di Mata Tiga 'Pentolan' LBH Jakarta

Ketiga 'pentolan' tersebut berasal dari generasi yang berbeda, pandangan mereka soal bantuan hukum struktural pun tak sama.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Bantuan hukum struktural di mata tiga pentolan LBH Jakarta. Foto: NNP
Bantuan hukum struktural di mata tiga pentolan LBH Jakarta. Foto: NNP
Tiga orang 'pentolan' Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dari generasi yang berbeda memberikan pandangannya tentang bantuan hukum struktural. Ketiganya adalah Henny Supolo (1980-1984), Bambang Widjojanto (1984-1986), dan Asfinawati (2006-2009). Hal itu terungkap saat LBH Jakarta menggelar acara ABN Memorial Lecture, Senin (30/11).

Henny mengatakan, ketika dia mulai bergabung ke LBH Jakarta, bantuan hukum struktural lebih cenderung pada pendekatan kemanusiaan. Meski bantuan hukum struktural sering dimaknai sebagai pendekatan hukum, tapi kenyataannya tidak begitu di mata mantan Ketua Senat Fakultas Sastra Universitas Indonesia (saat ini Fakultas Ilmu Budaya, red).

“Sejak awal memahami sebagai suatu pendekatan yang bukan pendekatan hukum tapi pendekatan kemanusiaan dan pendekatan pendidikan,” ujar Ketua Yayasan Cahaya Guru sekaligus Dewan Pertimbangan Federasi Serikat Guru Indonesia itu.

Alasan Henny memandang bantuan hukum struktural lebih condong dengan pendekatan kemanusiaan dan pendekatan pendidikan bisa dilihat dari cara LBH Jakarta ketika mendampingi klien. Ia masih ingat betul ketika bersama-sama dengan Adnan Buyung Nasution mengadvokasi kaum buruh dan kaum perempuan.

Henny yang bukan berlatar belakang sarjana hukum memang tidak terlibat langsung dengan proses litigasi di pengadilan. Di LBH Jakarta, Henny bergabung dengan divisi non litigasi, sehingga selama dia bergabung di LBH Jakarta lebih banyak melakukan pendekatan-pendekatan lewat ‘obrolan’ dengan klien.

Berangkat dari pengalamannya itu, Henny berpandangan bahwa yang dilakukan LBH Jakarta lewat bantuan hukum strukturalnya itu justru berangkat dari bagaimana pendamping LBH Jakarta bisa memahami sekaligus mendalami kasus yang dialami oleh klien. Sebab, untuk mengetahui apa yang sebetulnya dihadapi klien dan juga mengetahui bagaimana latar belakang klien serta bagaimana cara berpikir klien bukanlah hal yang mudah.

“Karena yang kita lakukan adalah sesungguhnya berada di sebelah klien, belajar bersama mereka, sungguh-sungguh belajar bersama mereka. Karena kita tidak tahu apa yang mereka hadapi. Kita tidak tahu bagaimana cara mereka berpikir, kita tidak tahu latar belakang mereka. Banyak yang kita tidak tahu yang sebetulnya kita lah yang belajar,” katanya.

Atas dasar itu, para pendamping LBH Jakarta wajib memiliki kemampuan komunikasi yang baik. Tanpa kemampuan komunikasi itu, Henny khawatir apa yang sebetulnya benar-benar dialami dan dihadapi klien tidak ter-cover dengan baik. Ini dikarenakan pelayanan yang diberikan LBH Jakarta tidak hanya berhenti di ruang pengadilan. Selain komunikasi, kemampuan mendengarkan ini juga mutlak dilakukan para pendamping.

Di tempat yang sama, mantan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto punya pandangan sendiri mengenai bantuan hukum struktural. Saat awal bergabung di LBH Jakarta, Bambang melihat bantuan hukum struktural tidak sebatas strategi melainkan sebagai cara mengidentifikasi apakah seseorang mampu secara utuh pahami persoalan yang dihadapi oleh klien.

Bambang sepakat dengan Henny bahwa kemampuan berkomunikasi mutlak mesti dimiliki. Namun, konsep bantuan hukum struktural menuntut pendamping dari LBH Jakarta untuk memahami masalah yang tidak sebatas dari sesuatu yang tampak dari luar. Makanya, pendamping LBH Jakarta mesti menguasai apa yang disebut analisis sosial.

“Tapi bantuan hukum struktural menuntut kita memahami masalah tapi bukan dari sekedar sesuatu yang nampak dari luar. Teman LBH dituntut pahami soal analisis sosial. Apa persoalan, konteksnya, struktur problemnya, anatomi masalahnya,” kata Bambang.

Akan tetapi Bambang sadar bahwa untuk masuk ke dalam permasalahan bukanlah hal yang mudah. Ia menyarankan agar pendamping LBH Jakarta saat melakukan bantuan hukum struktural wajib bersifat rendah hati di hadapan klien. “Ketika di Bantuan Hukum Struktural, kita menundukkan diri. Level-nya itu kita setarakan gitu bahkan kita mendengar,” katanya.

Asfinawati memaknai berbeda mengenai bantuan hukum struktural. Ia ingat, saat masih itu LBH Jakarta menerima klien yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dari kantornya.  Namun di saat yang bersamaan, bos dari kantor yang memecat karyawannya itu adalah teman baik Adnan Buyung.

Asfin juga ingat betul ketika itu Adnan Buyung beberapa kali menghubunginya dan menanyakan tentang kasus yang diterima oleh LBH Jakarta itu. Namun, Adnan Buyung tak pernah intervensi kasus tersebut. “ABN mengajarkan tentang demokrat sejati. Ketika dia punya kedekatan seseorang dan dia meminta tolong tapi ketika intervensi dia tidak bisa karena itu langgar prinsip dia. Kita dilatih jadi demokrat, berbicara di depan dan ketika ada perbedaan pendapat juga tidak perlu saling bertegur sapa,” ujarnya.

Wajib Dilanjutkan
Banyak suara yang menilai bantuan hukum struktural tidak relevan lagi untuk diterapkan saat ini. Namun, ketiga eks petinggi LBH Jakarta ini sepakat bahwa bantuan hukum struktural masih relevan untuk tetap diterapkan. Bagi Bambang misalnya, ketika sistem kekuasaan di Indonesia belum mampu mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial, maka, bantuan hukum struktural masih dan harus dilanjutkan.

Bahkan Bambang mengatakan bahwa pengakuan dari World Bank yang melegitimasi bantuan hukum struktural sebagai access to justice bisa menjadi satu bukti. Menurutnya, bantuan hukum struktural lebih dari sekedar access to justice. Namun juga bisa menjadi tools untuk mewujudkan tujuan negara sebagaimana alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945.

“Hari ini bantuan hukum struktural semakin relevan ketika kesejahteraan sosial tidak dapat diwujudkan. Jangankan keadilan, kesejahteraan pun belum di tangan,” kata Bambang

Hal serupa juga diutarakan Henny dan Asfin. Menurut Asfin, bantuan hukum struktural harus dilakukan secara besar-besaran, kalau bisa menjangkau desa-desa dan Indonesia bagian timur. Sementara bagi Henny, ketika gap masih besar antara si miskin dan tertindas, maka bantuan hukum struktural tetap dibutuhkan.

“6 September 2015 ABN (Adnan Buyung Nasution) bilang, ‘tolong yakinkan saya bahwa anak-anak muda melanjutkan bantuan hukum struktural. Bahwa betul LBH tetap lakukan apa yg kami rintis’. Sayangnya sejak 13 September ABN masuk rumah sakit. Beliau sangat ingin diyakinkan bahwa BHS (bantuan hukum struktural) terus berkembang,” pungkas Henny.
Tags:

Berita Terkait