RJ Lino: Kesalahan Saya, Membuat Perusahaan Terlalu Kaya
Berita

RJ Lino: Kesalahan Saya, Membuat Perusahaan Terlalu Kaya

“Saya khawatir dengan adanya kasus seperti saya ini, direksi BUMN tidak berani bekerja dan tak bisa berbuat apa-apa.”

Oleh:
YOZ/RZK
Bacaan 2 Menit
RJ Lino. Foto: RES
RJ Lino. Foto: RES
Tepat tiga hari sebelum serah terima jabatan, Pimpinan KPK Jilid III yang dinahkodai Taufiequrachman Ruki mengumumkan penetapan tersangka Richard Joost Lino sebagai tersangka. Direktur Utama Pelindo II itu disangka melakukan tindak pidana korupsi pengadaan Quay Container Crane (QCC).

Setelah menyandang status tersangka, Lino resmi diberhentikan oleh Menteri BUMN, Rini Soemarno. Kini, dengan tidak lagi menduduki jabatan sebagai nahkoda Pelindo II, Lino tengah berkonsentrasi menghadapi kasus hukum yang membelitnya. Lino berkeyakinan dirinya tidak bersalah seperti yang disangkakan oleh KPK.

Sabtu lalu (16/1) di sebuah restoran Jepang di kawasan Darmawangsa, Jakarta Selatan, hukumonline berkesempatan melakukan wawancara khusus dengan Lino. Berikut ini petikan wawancaranya:  

Penetapan tersangka anda terjadi menjelang pergantian pimpinan KPK. Bagaimana pendapat Anda?
Saya tidak mengerti kenapa bisa begitu. Saya kira ini highly politics! Semua terkesan menyambung dari Pansus sampai KPK, yang jedanya hanya sehari. At the end-nya commercial. Kesalahan saya adalah membuat perusahaan terlalu kaya sehingga terlalu menarik untuk diincar banyak orang. Dulu waktu saya pertama kali masuk, aset perusahaan cuma Rp6,5 triliun, tapi hari ini sudah Rp45 triliun. Apalagi kita punya cash triliunan di bank. Dan selama ini saya sangat straight tidak entertaint orang-orang. Jadi ya sudah, itu mungkin kesalahan kedua. 

Reaksi Anda bagaimana setelah KPK menetapkan Anda sebagai tersangka?
Itu juga saya bingung. Begitu terjadi seperti itu, saya tanya ke Pak Tumpak Hatorangan sebagai Komisaris Utama(Pelindo II). Ini ada apa?mereka tuduh saya apa?Beliau (Tumpak Hatorangan, -red) bilang ini tuduhannya maintenance. Saya bilang ke Pak Tumpa, kalau masalah maintenance itu jauh Pak dari Dirut karena itu urusan orang lapangan.

Dan yang saya heran juga, saya dikenakan pasal terkait penunjukan langsung. Saya rasa mereka juga kaget. Saya rasa mereka referred kepada hasil audit BPKP tahun 2011. Waktu bikin audit investigasi itu sendiri, yang hanya dilihat yang tahun 2010 soal pemilihan langsung itu, yang akhirnya saya batalin dan saya proses dengan penunjukan langsung. Tapi sebenarnya sampai 2010 itu sudah 9 kali lelang. Bagi saya, kalau sudah 9 kali lelang itu whats that mean? Buat saya, itu sudah situasi yang krisis. Dan tindakan yang bisa saya lakukan (penunjukan langsung, red) itu banyak menolong orang.

Sebelumnya, kapal itu biasa menunggu sampai dua minggu, pelabuhan macet, complain di mana-mana dan saya kira mereka sudah sampai di batas kesabaran. Terus mau bagaimana kalau sudah begitu, padahal lelang sudah dilakukan selama 9 kali. Jadi tindakan yang saya lakukan itu adalah tindakan yang harus dilakukan oleh seorang Dirut untuk menyelesaikan masalah dan dampaknya luar biasa sekali. Anda perlu tahu, crane yang kita beli itu harga termurah selama republik ini beli. Orang bilang itu made in China, tapi mesin di dalamnya made in Jerman. Saya ini pernah bekerja dan lama di China, jadi saya tahu pabrik mana yang punya kualitas produk bagus. Dan itu semua terbukti di lapangan. Alat-alat itu availability nya di atas 96 persen atau berjalan dengan sangat baik. 

Apa ada dasar penunjukan langsungnya? Dan keputusan krisis atau tidak itu, siapa yang seharusnya memutuskan?
Ya ada aturannya, Permen BUMN No.5 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa BUMN. Keputusan krisis atau tidak, jelas ditentukan direksi. Masa 9 kali lelang dari tahun 2007 tidak ada hasil. Justru hal semacam itu yang merugikan negara. Saya tidak menyesal karena saya juga ditugaskan Pak Sofyan Djalil untuk membenahi pelabuhan dengan menekan logistic cost. Untuk menuju misi itukan harus dicapai yang salah satunya adalah pengadaan crane. Crane itukan alat utama. Kalau tidak ada crane masa kita manual. Solusi bisnis seperti itukan diskresinya ada di direksi. Saya khawatir dengan adanya kasus seperti saya ini, direksi BUMN tidak berani bekerja dan tak bisa berbuat apa-apa. Padahal kita tahu, kita punya potensi yang besar.  

Kenapa akhirnya menunjuk Wuxi Huang Dong Heavy Machinery (HDMD) Co Ltd?
Jadi begini, salah satu alasan lelang gagal terus hingga 2009 karena aturan kita ada persyaratan menggunai perusahaan yang mempunyai agen dalam negeri. Nah, itu yang bikin jadi mahal. Begitu sering gagal, maka pada 2010, saya keluarkan aturan itu, di mana kita langsung undang pabrik tanpa ada agen dalam negeri. karena sudah sekian banyak proses lelang yang gagal, pada 2009 kita sebenarnya sudah tunjuk PT Bharata. Tapi dia tidak bisa masok dengan harga yang kita punya. Kita anggap itu sudah selesai dan cara itu sudah tidak bisa lagi.  

Kita kembali melakukan pemilihan langsung dengan mengundang tiga peserta, 2 dari China dan 1 dari Korea, yaitu ZPMC, HDHM, dan Doosan. Namun, pemasukan penawaran pengadaan 3 unit QCC yang meyampaikan dokumen penawaran hanya 2 perusahaan, taitu ZPMC dan HDHM. Sementara Doosan menyatakan tak dapat ikut. Kita pilih HDHM karena harganya masih di bawah budget kita.

Apa benar HDMD merupakan vendor pengadaan QCC milik Ahmad Kalla?
Ahmad Kalla? Tidak, itu AKR, Listed Company itu. Saya tahu perusahaan itu karena dia supplier kita waktu di Cina. Selama ini konotasi orang negatif, KKN dan sebagainya. Padahal karena mereka kerjanya bagus justru kita pakai. Dan ingat, selama saya di Pelindo tidak ada anak saya atau keluarga yang bekerja di Pelindo. Bersih semua.  

Anda dilaporkan oleh mantan pekerja. Ada history apa sebenarnya?
Ini ada dua orang. Yang satu namanya Pak Dian M Noer sebagai Direktur Keuangan. Saya kira laporan mula-mula dari dia. Dia diberhentikan waktu zaman Pak Dahlan Iskan (mantan Meneg BUMN). Pak Dahlan pasti punya alasan memecat dia. Dalam laporannya ke KPK kan saya dibilang meneken cek pembelian. Kenapa saya meneken cek, karena itu sudah keputusan direksi. Direksi itu kan bukan hanya satu orang, tapi kumpulan 4-5 orang. Kalau mayoritas direksi sudah mutusin itukan harus dialksanakan walaupun salah satu direksi dinyatakan dissenting.

Saya sendiri dulu tidak setuju lho. Tapi Pak Dian ini tidak pernah memberikan dissenting. Kemudian, tugas dia inikan membayar. Kalau direktur teknik bilang sudah seharusnya bayar, maka dia harus bayar. Tapi yang dia lakukan malah tidak membayar. Dia tunda pembayaran itu sampai akhirnya kita kena denda lebih dari AS$380 ribu. Itu sekitar Rp5 miliar. Begitu saya tahu hal itu, saya tanya mana ceknya biar saya teken. Itu saya lakukan karena dendanya sudah sampai di limit.

Satu orang lagi adalah Pak Cipto Pramono. Tapi saya rasa bukan dia yang melapor. Belakangan ada 30 orang yang mengundurkan diri, bukan saya pecat. Tapi belakangan mereka sadar bahwa mengundurkan diri itu adalah pengunduran diri dari perusahaan. Saya kan tidak bisa menolak kalau memang ada yang ingin mengundurkan diri karena melanggar hak asasi manusia.

Terkait surat ke Kementerian BUMN itu bagaimana kronologinya?
Itu soal penjelasan saya tekait pembelian crane. Karena Ibu Rini kan waktu itu baru menjabat Menteri BUMN, bisa dibilang itu masa transisi. Dia pasti tahu nama saya disebut-sebut terus belakangan dan dia minta saya membuat laporan terkait hal itu. Dan saya kasih penjelasan mengenai kronologis pembelian crane itu melalui surat.

Ada aduan juga dari politisi PDIP ke KPK soal gratifikasi perabotan rumah tangga?  
Itu lagi saya tidak mengerti. Mereka itu mencoba menghantam saya dari mana-mana, tapi tidak ketemu. Bahkan, PPATK dipanggil ke Pansus dan mereka tidak menemukan apa-apa. Cari dimana-mana tidak ketemu. Yang ketemu malah yang beginian. Itu kan lucu. Begini, istri saya itu jadi Ketua Ibu-ibu Direksi BUMN. Kalau ada rapat, mereka selama ini menggunakan kantor BUMN. Ibu Rini bilang, di tempat saya ada ruang kosong, kalau mau dipakai silakan saja. Karena ada ruang kosong, maka itu yang dipakai. Jadi istri saya itu memakai fasilitas dari kantor. Dan setiap perabotan itu ada label dibawahnya, tulisan Pelindo. Ruangan kosong itu juga kita pinjamin lukisan-lukisan. Jadi ini hanya pinjam, tapi malah itu yang dilaporin gratifikasi sama Masinton (Masinton Pasaribu, -red) ke KPK.  

Awalnya Anda menunjuk Yusril Ihza Mahendra sebagai kuasa hukum, tapi tiba-tiba berganti Maqdir Ismail?
Kalau itu tanya Pak Yusril aja deh jangan tanya ke saya (sambil ketawa). Jadi waktu pengumuman tersangka, kita lagi meeting ngomongin Pansus. Terus tiba-tiba dicari-cari wartawan karena ditetapkan sebagai tersangka. Dalam keadaan seperti itu kita langsung berpikir siapa lawyernya. Kemudian ada yang merekomendasikan Pak Yusril aja. Kebetulan ada yang kenal dengan asistennya Pak Yusril. Kemudian datanglah asistennya, akan tetapi ketika itu pak Yusril sedang ada di Afrika Selatan. Asisten Pak Yusril gabung dengan kita di meeting itu. Dan deal nya juga cuma ngomong begitu-gitu aja, ok pak kita temeni. Beberapa hari kemudian, di social media ada surat kesepakatan direksi terkait penunjukan Yusril. Jadi ini ada yang bocorin dengan angka yang disebut-sebut itu.

Akan tetapi, karena sudah bocor di social media sementara dia sendiri masih di Afrika Selatan. Kemudian, saya kan mundur. Berdasarkan peraturan perusahaan, ketika sudah mundur maka mengharuskan saya menanggung biaya sendiri. Kalau masih menjadi direksi memang masih ditanggung Pelindo II.  Jadi prosesnya begitu saja sebenarnya, tidak ada apa-apa.

Jadi Pak Yusril itu bukan hanya ditugasi untuk yang praperadilan saja, tapi Pansus dan di MK terkait pemisahan aset negara bukan aset BUMN. Kenapa? Karena menurut saya itu bukan hanya untuk kepentingan saya, tapi untuk kepentingan banyak orang, semua direksi BUMN. Saya tidak apa-apa ketika Pak Yusril menyatakan tidak menjadi kuasa hukum saya. Akan tetapi, saya bilang ke direksi Pelindo tolong terus upayakan hal ini agar UU No.17 Tahun 2003 bisa lebih jelas. Saya khawatir banyak orang yang diperlakukan seperti saya.    

Lantas kenapa memilih Maqdir?
Semua orang sebenarnya banyak menyarankan ke saya agar memilih Pak Maqdir. Bahkan, ketika saya SMS,Yusril menyarankan Pak Maqdir juga. Jadi, bukan karena Pak Maqdir pernah sukses di praperadilan Budi Gunawan.         

Tags:

Berita Terkait