Mobilitas Pengacara di Sidang Sengketa Pilkada
Fokus

Mobilitas Pengacara di Sidang Sengketa Pilkada

Penyelesaian sengketa hasil pilkada di MK menjadi ajang ‘panen’ bagi pengacara. Melibatkan puluhan firma hukum dan ratusan pengacara.

Oleh:
MUHAMMAD YASIN/ADY THEA/AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Pengacara sidang pilkada di MK. Foto: RES
Pengacara sidang pilkada di MK. Foto: RES
Pilkada serentak 2015 tak hanya menjadi rebutan suara antar pasangan calon (paslon) kepala daerah, tetapi juga ajang argumentasi hukum bagi tim hukum masing-masing paslon. Peran tim hukum paslon makin penting saat ada pihak yang mengajukan permohonan penyelesaian sengketa hasil pilkada (PHP) ke Mahkamah Konstitusi. Di sinilah ajang pertarungan antar pengacara.

Sidang-sidang penyelesaian sengketa hasil pilkada 2015 seperti musim panen bagi pengacara. Bayangkan, berdasarkan penelusuran hukumonline, tidak kurang dari 1.040kuasa diberikan kepada pengacara, dan sedikitnya 82 firma hukumterlibat. Bahkan firma hukum itu bisa bertambah. Kantor pengacara Alwanih Siradj & Co., misalnya, belum masuk daftar yang disusun hukumonline sebelumnya padahal firma hukum ini mendapat kuasa dalam sengketa pilkada Tangerang Selatan. Jumlahnya juga pasti bertambah karena belum melibatkan firma hukum yang menjadi kuasa hukum KPU dan Pihak Terkait.

Secara normatif, Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) tidak mewajibkan para pihak yang bersengketa menggunakan advokat. PMK No. 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, dan perubahannya (PMK No. 5 Tahun 2015), hanya menggunakan frasa “dapat diwakili dan/atau didampingi oleh kuasa hukumnya”. Dalam UU No. 8 Tahun 2015 yang mengatur pilkada juga tak ada kewajiban menggunakan advokat.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraeni, melihat keterlibatan advokat sudah ada sejak tahapan pencalonan. Tetapi puncak keterlibatan advokat memang terlihat pada saat penyelesaian sengketa di Mahkamah Konstitusi. “Profesi advokat dan pengacara seperti ‘panen raya’ di isu pemilu,” kata Titi.

Pertarungan antar advokat dan firma hukum adalah sesuatu yang wajar untuk mempertahankan argumentasi klien masing-masing. Tetapi Titi yakin para pihak berperkara lebih memilih kuasa hukum yang sudah biasa beracara di Mahkamah Konstitusi. Dengan kata lain, firma hukum yang biasa beracara lebih berpotensi mendapatkan klien lebih banyak dibanding yang jarang litigasi di Mahkamah Konstitusi.

Di satu sisi, ada firma hukum yang mendapatkan banyak perkara sengketa, sehingga harus menyiapkan banyak sumber daya advokat. Di sisi lain, ada kebutuhan mendapatkan advokat yang sudah tahu seluk beluk beracara di Mahkamah Konstitusi. Inilah yang menyebabkan nama satu orang advokat, misalnya, tercatat di beberapa perkara dengan nama firma hukum yang berbeda. Faktanya, terjadi mobilitas pengacara dalam sidang sengketa hasil pilkada 2015.

Sekadar contoh, dalam perkara sengketa pilkada Kabupaten Bengkalis (No. 103/PHP.BUP-XIV/2016), ada nama Ade Yan Yan Hs sebagai salah seorang kuasa hukum dari Yan Yan Hasbullah & Partners. Nama yang sama juga muncul sebagai kuasa hukum dalam perkara sengketa pilkada Kabupaten Cianjur. Tetapi kali ini ia tercatat sebagai kuasa hukum dari Veritas Law Firm. Iwan Gunawan, advokat yang mewakili kantor Yan Yan Hasbullah & Partners mengakui ada mobilitas advokat sehingga mereka bekerja lintas firma hukum.

M. Fadli Nasution, contoh lain, menjadi advokat dari LNP Law Office dalam satu perkara, dan menjadi advokat di kantor pengacara Handoko Liberty Law Office di perkara lain. Nama advokat senior Maqdir Ismail tercatat sebagai penasihat hukum dalam perkara sengketa pilkada Kabupaten Karangasem dengan membawa bendera Aan Safaat Permadi & Partners, bukan memakai firma hukum Maqdir Ismail & Partners.

Itu hanya sekadar contoh. Jika ditelusuri seluruh daftar firma hukum yang ikut menangani sengketa hasil pilkada 2015, akan ditemukan beberapa nama tercantum dalam firma hukum berbeda. Penggunaan nama firma hukum tertentu lebih didasarkan pada kebutuhan pragmatis.

Mobilitas pengacara mungkin terjadi karena kebutuhan sesaat. Heru Widodo, pendiri Heru Widodo Law Office (HWL), mengakui hanya menangani satu perkara sebagai Pemohon, yaitu sengketa pilkada Kuantan Sengingi. Dengan lima orang advokat, satu kasus itu sebenarnya bisa ditangani. Tetapi HWL juga menangani beberapa perkara dalam waktu bersamaan mewakili Pihak Terkait di daerah lain seperti Kabupaten Sungaipenuh, Kota Gorontalo, Kabupaten Berau, dan Kabupaten Taliabu. Alhasil, perkara-perkara itu harus ditangani dengan melibatkan pengacara atau atau kantor hukum lain. “Kita partnership dengan kantor hukum di daerah yang bersangkutan,” jelas Heru.

Pengalaman serupa dialami ZIA & Partners Law Firm. Firma hukum yang berlokasi di Jakarta Selatan ini menangani sejumlah perkara hasil pilkada seperti Kabupate Barru, Konawe Selatan, Konawe Kepulauan, Kolaka Timur, dan pemilihan Gubernur Kalimantan Utara. Mengingat banyaknya perkara yang harus ditangani sekaligus, ada advokat dari firma hukum lain yang dilibatkan. “Ada advokat luar yang gabung, tetapi pakai nama kantor kita,” kata Andi Syafrani, pengacara dari ZIA & Partners Law Firm.

Menurut Iwan Gunawan, kerjasama antar penasehat hukum dalam sengketa pilkada justru berlanjut ke perkara lain. Jika suatu firma hukum menangani suatu perkara non-pilkada, firma hukum itu akan mengajak pengacara yang bekerjasama menangani sengketa hasil pilkada. ”Sebaliknya, kita pun mengajak mereka untuk ikut menangani perkara lain kalau ada. Itu kerjasama yang saling menguntungkan,”ujarnya.

Gabungan kekuatan
Permohonan penyelesaian sengketa hasil pilkada 2015 ke Mahkamah Konstitusi lebih banyak berasal dari luar Pulau Jawa. Pasangan paslon yang mengajukan permohonan dibantu oleh tim hukum pasangan tersebut atau firma hukum dari daerah bersangkutan. Ada juga yang langsung menunjuk kuasa hukum di luar daerahnya. Tetapi lebih dari setengah firma hukum yang ditunjuk berdomisili di Jakarta.

Firma hukum dari daerah punya kelebihan dalam hal mengumpulkan alat-alat bukti dan mengenal medan. Sebaliknya, kantor hukum di Jakarta umumnya punya pengalaman beracara di Mahkamah Konstitusi. Gabungan firma hukum itu, kata Titi Anggraeni, adalah kombinasi aspek lokal dan konstitusional yang mau diraih para pihak. “Beracara di MK itu tidak hanya memaparkan apa yang terjadi di daerah, tetapi juga meyakinkan logika konstitusi yang mereka ungkap bisa diterima majelis hakim konstitusi,” ujarnya.

Mobilitas juga tak bisa dihindari karena ada paslon atau partai pendukungnya menitipkan pengacara tertentu untuk masuk ke dalam tim. Paslon atau partai sudah mengenal dekat pengacara bersangkutan, sehingga dianggap penting untuk masuk ke dalam tim pengacara dengan menggunakan bendera lawfirm Jakarta.

Namun tak semua paslon menggunakan firma hukum. Paslon yang diusung PDI Perjuangan dan Partai Nasional Demokrat justru menggunakan tim bantuan hukum yang telah dipersiapkan partai. PDI Perjuangan mengirimkan puluhan advokat yang tergabung dalam Badan Bantuan Hukum dan Advokasi (BBHA), sedangkan Partai Nasional Demokrat menggunakan Badan Advokasi Hukum (BAHU).

Agar para pengacara parpol ini berkonsentrasi penuh, mereka tak bisa menangani perkara lain menggunakan bendera firma hukumnya. Bukan berarti tak ada firma hukum yang didirikan politisi tak menangani sengketa pilkada. Lawrence TP Siburian, tim hukum Partai Golkar versi Agung Laksono, menggunakan firma hukum Lawrence TP Siburian & Associates dalam perkara sengketa pilkada Bone Bolango, Gorontalo.

Apapun firma hukumnya dan siapapun pengacaranya, kunci dari proses persidangan sengketa hasil pilkada adalah kemampuan meyakinkan hakim Mahkamah Konstitusi berdasarkan bukti-bukti yang kuat.

“Beracara di Mahkamah Konstitusi itu adu argumentasi, ada keilmuan, pengetahuan soal yang berkaitan dengan kepemiluan dan konstitusi. Jadi, benar-benar mengadu kemampuan intelektual bagaimana meyakinkan sembilan hakim,” kata Titi Anggraeni.  “Kemampuan dialektika, berargumen dan kawah candradimuka juga berpengaruh,” sambungnya.
Tags:

Berita Terkait