Sanksi Administratif Jadi Alternatif Atas Kerugian Negara
Berita

Sanksi Administratif Jadi Alternatif Atas Kerugian Negara

Tidak semuanya harus berakhir dan diselesaikan dengan hukum pidana.

Oleh:
HAG
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi. Foto: www.bppk.kemenkeu.go.id
Ilustrasi. Foto: www.bppk.kemenkeu.go.id
Korupsi merupakan tindak pidana yang erat hubungannya dengan kerugian negara. Lalu, siapakah yang berwenang untuk menghitung kerugian negara? Dan apa sanksi yang harus dijatuhkan?

Dian Puji Simatupang, Dosen Hukum Anggaran Negara dan Keuangan Publik Universitas Indonesia, berpendapat bila KPK ingin menentukan adanya kerugian negara maka KPK harus meminta bantuan BPK untuk melakukan audit investigasi. Dan tidak semuanya harus berakhir dan diselesaikan dengan hukum pidana, tetapi dapat diselesaikan dengan sanksi administrasi.

Menurut Dian, Indonesia paling mudah untuk menilai kerugian negara yang langsung diselesaikan oleh pidana. Dia mempertanyakan untuk apa ada UU No.1 Tahun 2004  kalau semua ke pidana dan untuk apa ada hukum administrasi.

“Kalau begitu, proses keuangan negara suatu unsur yang absolut. Makanya, kemudian dilakukan audit investigatif yang merupakan audit gabungan dengan pemeriksaan keuangan dan pemeriksan performa. Pemeriksaan kinerja lah yang akan menyimpulkan ini adalah kelalaian ataupun tindak pidana. Dua itu merupakan sistem internasional yang diakui dalam peraturan BPK No.1 Tahun 2007 dan didalam sistem pemeriksaan keuangan pemerintah yang dibuat oleh BPK,” ujarnya, Kamis (21/1) di FHUI.

Dian mengatakan, audit investigatif terkait dengan audit keuangan dan audit kinerja. Pemeriksaan keuangan dengan melihat neraca keuangan, apakah terdapat kerugian negara.

“Standarnya sistemnya adalah dengan audit investigatif dengan cara membandingkan dahulu dalam melihat neraca keuangan apakah negara kekurangan uang atau tidak. Tetapi apakah kekurangan uang atau tidak maka dicek kembali dalam pemeriksaan performa. Apakah kinerja perbuatan dia yang menyebabkan uangnya kurang, atau memang hanya sebuah kelalaian atau ada ada indikasi tindak pidana,” jelasnya.

Menurut Dian, contoh yang bagus mengenai perhitungan keuangan negara adalah dengan proses pidana Hambalang. Pada asasnya menerapkan semua datanya, itu sudah tepat. “Emang agak lama tapi itu adalah proses, karena penegak hukum kan butuh kepastian mengenai prosedur,” tambahnya.

Kemudian dari hasil investigasi dapat dilihat apakah dia merugikan negara karena memang gratifikasi atau menerima suap atau apakah karena memang beda memahami peraturan. Apabila berbeda memahami aturan atau kewenangan dan malah negara sebaiknya memberikan sanksi administrasi.

“Sanksi adminitrasi percayalah di dunia lebih efektif dan tidak membebankan kerugian negara. Jadi dia langsung eksekusi dan efektif untuk mengembalikan keuangan. Sanksi nya misalnya dia harusnya lapor ke dewan komisaris tetapi tidak dia lakukan maka misalnya ditegus atau diberhentikan saja. Jadi itu adalah sanksi adminitrasi yang berat atau misalnya blacklist itu lebih cepat dan efisien,” paparnya.

Dia juga menjelaskan,hanya BPK yang diberikan kewenangan untuk menghitung kerugian negara. Sedangkan pihak lain yang diatur dalam Putusan MK hanyalah bersifat koordinasi ketika sudah diberikan surat oleh BPK. Jadi BPKP harus mendapatkan surat tertulis dari BPK, presiden atau mendapat perintah presiden atau permintaan dari daerah menyangkut keuangan daerah.

“Dapat dicek di semua peraturan perundang-undangan tidak ada lembaga lain yang diberikan kewenangan langsung tegas hanya BPK di Pasal 10 UU BPK. Sedangkan pembahasan dalam putusan MK itu boleh yang lain, boleh tetapi disitu tidak diberikan wewenang hanya diberikan koordinasi. Koordinasikan tidak memiliki wewenang. Wewenang itu kan harus diberikan oleh undang- undang,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait