Koalisi Desak MA Benahi Sistem Penanganan Perkara
Berita

Koalisi Desak MA Benahi Sistem Penanganan Perkara

MA tengah mengusulkan revisi struktur organisasi yang menempatkan fungsi penanganan perkara di bawah Kepaniteraan.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Koalisi Desak MA Benahi Sistem Penanganan Perkara
Hukumonline
Peristiwa tertangkapnya eks Kasubdit Kasasi Perdata MA Andri Tristianto Sutrisna terkait permintaan penundaan salinan putusan kasasi perkara korupsi dinilai tak lepas dari lemahnya sistem administrasi perkara. Selain lepas dari pengawasan, alur penanganan perkara dinilai masih belum efisien sehingga bisa menjadi celah bagi pelaku praktik korupsi.

Demikian pernyataan resmi Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) yang diterima hukomonline, Senin (22/2). KPP ini terdiri dari MaPPI FHUI, LeIP, YLBHI, ILR, PSHK, ICW, ICJR, ICEL dan LBH Masyarakat. Dalam pernyatannya, KPP menilai manajemen penanganan perkara di MA masih menyimpan permasalahan yang bisa jadi celah praktik korupsi di MA, seperti kasus suap yang melibatkan Andri yang diduga menerima suap dari pengusaha.

“Kejadian ini akan terus berlanjut selama sistem administrasi perkara tidak diperbaiki,” kata anggota KPP dari MaPPI FHUI, Dio Ashar Wicaksana, saat dihubungi hukumonline, Senin (22/2).

KPP mencatat tingginya produktivitas MA memutus perkara belum diimbangi percepatan proses minutasi putusan (proses pengetikan, koreksi, pembuatan salinan, dan pengiriman salinan putusan ke pengadilan pengaju). Akibatnya, beban minutasi putusan di MA membengkak. Di tahun 2014 saja, beban minutasi MA berjumlah 12.328 perkara. Angka ini mengalami kenaikan drastis dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. “Persoalan utama ketika putusan diucapkan hakim hingga terbitnya salinan putusan itu sangat lama,” kata Dio.

KPP juga menilai alur penanganan perkara di MA masih belum efisien karena prosesnya cukup panjang kurang lebih 27 tahapan, sejak berkas perkara diterima Biro Umum hingga dikirim kembali ke pengadilan pengaju. Hal ini potensial memberi celah terjadinya praktik korupsi ketika salinan putusan bisa di-order dengan “harga” tertentu, seperti terjadi dalam kasus Andri ini.

Terlebih, alur penanganan perkara melibatkan tiga unit kerja yang berbeda-beda, yaitu: Biro Umum di bawah Badan Urusan Administrasi (BUA), Direktorat Pranata dan Tata Laksana (Pratalak) di bawah Dirjen Badan Peradilan, dan Kepaniteraan Muda (Panmud) di bawah Panitera MA. Tak jarang di satu tahapan, diulang di tahapan yang lain. Misalnya, penelaahan berkas perkara dilakukan Pratalak, tapi proses yang sama dilakukan di Panmud.

“Seharusnya, administrasi penanganan perkara khusus di bawah Kepaniteraan MA, sesuai fungsi utamanya sebagai pelaksana teknis penanganan perkara,” usulnya.

Menurutnya, penyederhanaan alur penanganan perkara dengan memusatkan proses administrasi perkara di bawah Kepaniteraan MA untuk memudahkan proses monitoring (pemantauan) penyelesaian perkara dan alur penanganan perkara agar lebih efisien. “Jangka waktu minutasi maksimal 103 hari dalam SK KMA No. 214 Tahun 2014 dirasa masih terlalu lama. Penyebabnya, format atau template putusan yang tidak sederhana.”

Faktanya, terlalu banyak informasi yang sebenarnya tidak perlu dimuat kembali dalam putusan MA. Putusan MA perkara pidana khusus (Pidsus) misalnya, rata-rata berjumlah 70 halaman, padahal substansi putusan berkisar 2-3 halaman. Bisa dibayangkan, betapa tidak efisiennya proses yang harus dilalui untuk menghasilkan puluhan halaman putusan yang menjadi beban minutasi.

“Proses yang tidak efisien ini, tidak hanya memperberat anggaran (untuk pengadaan kertas dan cetak), tetapi juga menyedot SDM yang tidak sedikit. Akhirnya berimplikasi pada lemahnya jangkauan pengawasan,” tegasnya.

Sebelumnya, MA mengakui manajemen perkara di MA lemah terutama dalam hal minutasi putusan. Akibatnya, perkara ATS di luar kontrol Bawas MA karena Bawas sulit memantau semua yang dilakukan Andri dalam kasus ini. Celah ini yang akan menjadi perhatian Bawas MAmelakukan perbaikan ke depan.

Juru Bicara MA, Suhadi mengaku MA berkeinginan untuk mengubah struktur MA dengan mendudukkan penanganan perkara di bawah  Kepaniteraan MA. “Sebenarnya tugas pokok manajemen penanganan perkara ini di bawah control kepaniteraan, tetapi saat itu struktur MA yang sekarang ini yang disetujui Kemenpan,” kata Suhadi.

Mahkamah mengusulkan revisi struktur organisasi MA yang menempatkan fungsi penanganan perkara di bawah Kepaniteraan MA. “Ini sudah disusun dan akan diusulkan ke Kemenpan agar bisa dibentuk struktur seperti ini,” kata Suhadi.
Tags:

Berita Terkait