MA dan Rekam Jejak Oknum Mafia Perkara
Fokus

MA dan Rekam Jejak Oknum Mafia Perkara

Modus dan tujuannya beragam, tetapi tetap terkait dengan fulus yang banyak.

FAT
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK pada Jumat (12/2) lalu, semakin menambah daftar kasus mafia peradilan yang terjadi di dunia peradilan, khususnya di lingkungan Mahkamah Agung (MA) sebagai pemangku kekuasaan kehakiman tertinggi di Indonesia. Meskipun segala langkah reformasi termasuk diluncurkannya Cetak Biru (Blue Print) Pembaruan MA pada tahun 2003, modus pengurusan perkara ternyata masih menyisakan celah yang rentan mengundang perilaku koruptif.

Catatan hukumonline, setidaknya terdapat tiga kasus ‘kongkalikong’ yang melibatkan seorang advokat maupun pengusaha dengan oknum pejabat atau pegawai di MA sejak peluncuran Blue Print diluncurkan. Modus dan tujuannya pun beragam. Tapi tetap terkait dengan fulus yang banyak. Ada yang memanfaatkan celah penanganan perkara, upaya penyuapan, hingga ‘titipan’ agar pihak tertentu dihukum.

Sebut saja seorang pensiunan hakim tinggi yang beralih menjadi advokat, Harini Wijoso. Pertengahan tahun 2005, Harini ditangkap KPK karena upaya penyuapan terhadap Ketua MA saat itu, Bagir Manan yang kebetulan menjadi hakim ketua kasus yang melibatkan pengusaha Probosutedjo. Selain Harini, lima pegawai MA juga turut terseret dalam perkara ini. Mereka antara lain Sriyadi (anggota staf Direktorat Perdata MA), Malam Pagi Sinuhadji (Kepala Bagian Kepegawaian MA), Pono Waluyo (staf bagian kendaraan MA), Suhartoyo (Wakil Sekretaris Korpri MA), dan Sudi Ahmad (staf Suhartoyo di Korpri MA).

Persekongkolan antara advokat dengan pegawai MA kembali terulang pada pertengahan 2013 lalu. Kali ini, advokat dari Kantor Hukum Hotma Sitompoel & Associates, Mario C Bernado, terjaring OTT KPK. Selain Mario, KPK juga menangkap pegawai pada Badan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan MA, Djodi Supratman. Uang suap yang diberikan sebesar Rp150 juta melalui Deden dengan tujuan untuk diberikan kepada Suprapto, staf Hakim Agung Andi Abu Ayub Saleh. Pemberian uang tersebut guna mengurusi kasasi perkara penipuan atas nama Hutomo Wijaya Ongowarsito.

Uang tersebut dimaksudkan agar perkara kasasi yang menyeret Hutomo diterima majelis hakim agung. Bahkan, fulus tersebut diharapkan dapat menyeret Hutomo ke penjara sebagaimana memori kasasi jaksa penuntut umum. Permintaan uang tersebut datang dari klien Mario, yakni Direktur PT Grand Wahana Indonesia, Koestanto Hariyadi Widjaja dan Sasan Widjaja.

Kasus ketiga adalah yang teranyar, melibatkan Awang Lazuardi Embat, advokat yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Pimpinan Cabang Perhimpunan Advokat Indonesia (DPC PERADI) Malang kubu Fauzie Yusuf Hasibuan. Awang tertangkap tangan oleh KPK bersama seorang pengusaha bernama Ichsan Suaidi. Keduanya disangka telah menyuap Kasubdit Kasasi dan PK Perdata pada Direktorat Pranata dan Tata Laksana Perkara Perdata MA, Andri Tristanto Sutisna. Uang yang diduga sebagai suap mencapai Rp400 juta. Uang tersebut diberikan agar Andri menunda pengiriman salinan putusan kasasi perkara korupsi yang melilit Ichsan.

Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Astriyani Achmad, prosedur penanganan perkara di MA ini memang masih memiliki celah, khususnya berkaitan dengan aturan penanganan alur perkara. Dikatakan Astriyani, Surat Keputusan Ketua MA (SK KMA) Nomor 138 Tahun 2009 yang kemudian direvisi oleh SK KMA 214 Tahun 2014, sebenarnya sudah mengatur jangka waktu setiap tahapan alur penanganan perkara.

Namun, lanjut dia, masih ada yang luput diatur yakni jangka waktu pengetikan berkas perkara oleh operator pengetik.Lantaran tidak diatur, proses pengiriman putusan sejak perkara diputus oleh hakim agung sampai dikirim ke pengadilan pengaju, membutuhkan waktu yang cukup lama. “Bisa lebih dari dua bulan. Nah, celah ini lah yang dipakai sama oknum-oknum seperti ATS (Andri Tristianto Sutrisna),” ujar Astriyani.

Selain persoalan alur penanganan perkara, Astriyani mengatakan kasus Andri juga menunjukkan bahwa MA masih harus banyak melakukan perbaikan secara sistemik. Sejak Cetak Biru Pembaruan MA diluncurkan tahun 2003, dia akui MA memang banyak melakukan pembaruan terutama di sektor manajemen perkara. “Tapi beberapa masih belum total dan berkompromi dengan resistensi internal dalam proses pengambilan kebijakan,” paparnya.

Menurut Astriyani, resistensi atau penolakan di internal MA bisa muncul karena beberapa hal. Di antaranya, sebagian kalangan internal MA tidak mau pekerjaannya bertambah, atau mungkin juga karena sebagian oknum ingin tetap ada peluang untuk mendapat keuntungan pribadi dari sistem yang lemah. “Nah ketika Pimpinan berkompromi atas resistensi tersebut ya resikonya seperti yang terjadi sekarang,” katanya.

Sementara itu, Juru Bicara MA Suhadi menegaskan bahwa kasus Andri tidak ada kaitannya dengan sistem pengawasan di internal MA. Ia mengatakan, sistem pengawasan di MA sudah cukup ketat terutama dalam hal melakukan pengawasan atas berjalannya SOP penanganan perkara di MA.

Tak Jauh Berbeda
Sekira 2002 lalu, ICW telah menerbitkan buku berjudul “Menyingkap Tabir Mafia Peradilan”. Dalam buku itu, setidaknya terungkap sejumlah pola-pola korupsi dilakukan di lingkungan internal MA. Meski buku terbit sebelum peluncuran Cetak Biru Pembaruan MA, namun Peneliti ICW Aradila Caesar menilai, modus-modus yang tercatat dalam buku tak jauh berbeda pada kenyataan kasus yang terjadi usai Pembaruan MA.

Dari penelitian itu, ICW berhasil memetakan bahwa aktor-aktor yang terlibat dalam pusaran korupsi di lingkungan MA tak hanya melibatkan hakim agung. Akan tetapi terungkap juga pihak lain yang terlibat mulai dari pegawai MA, panitera, dan hakim di tingkat Pengadilan Negeri (PN).

Modus pertama adalah pemerasan. Pihak yang aktif dalam modus ini justru hakim agung yang bekerja sama dengan asistennya atau hakim yustisial (hakim non palu). Biasanya hakim yustisial akan menghubungi pihak berperkara dan memberi janji kemenangan dan juga percepatan penanganan perkara. Modus pemerasan yang lain, biasanya dilakukan juga oleh karyawan MA.

Pola pemerasan ini, biasanya dilakukan ketika majelis hakim telah menjatuhkan putusan secara lisan namun belum dilakukan pengetikan. Celah itu dimanfaatkan oleh panitera dan staf MA dengan menghubungi pihak pemenang dan menawarkan bantuan untuk memenangkan perkara. Padahal, sebetulnya pihak yang dihubungi memang sudah diputuskan menang oleh majelis hakim kasasi.

Kedua, pengaturan majelis hakim yang ‘nikmat’. Misalnya, ketika perkara jatuh ke tangan hakim yang sudah dikenal baik dan pernah bekerja sama, maka proses memenangkan perkara akan lancar dan begitu sebaliknya. Salah satu trik mengatur komposisi majelis hakim, yakni dengan tidak melengkapi berkas perkara.

Karena berkas belum lengkap, maka berkas perkara akan tertahan di direktorat. Untuk diketahui, pemeriksaan di MA didasarkan atas nomor urut perkara. Setiap nomor urut itu, telah ditetapkan majelis hakim yang menanganinya. Lantaran telah ada kongkalikongdengan direktorat MA, berkas perkara akan diatur agar jatuh ke tangan hakim yangfavourable.

Ketiga, pengaburan perkara. Cara pertama untuk mengaburkan perkara, yakni dilakukan oleh asisten hakim agung yang membuat resume setelah terlebih ada kesepakatan khusus dengan pihak yang berperkara. Oleh asisten hakim agung itu, resume akan dibuat untuk menguntungkan salah satu pihak sehingga ketika vonis kasasi diketok, pihak tertentu itulah yang dimenangkan.

Sementara, cara kedua pengaburan perkara dilakukan dengan menghilangkan sejumlah data dari berkas perkara yang biasanya dilakukan oleh panitera yang lebih senior. Namun untuk melancarkan aksinya, panitera turut bekerja sama dengan hakim yang akan memeriksa perkara yang didaftar.

Kedua cara itu dimanfaatkan oleh oknum di MA untuk menguntungkan diri sendiri lantaran mereka tahu kalau hakim agung tidak akan memeriksa perkara secara detail karena hakim agung dituntut menyelesaikan tumpukan perkara yang masuk ke MA. Sehingga, lewat jalan itu, oknum-oknum bisa melakukan pengaburan perkara yang ditangani oleh hakim agung.

Keempat, lewat ‘surat sakti’ MA. berdasarkan catatan ICW, aktor utama dalam pola ini adalah hakim dengan lawan dari pihak yang berperkara. Setelah bersepakat lewat negosiasi, nantinya Ketua MA yang akan mengeluarkan ‘surat sakti’ ini. Biasanya, surat ini dikeluarkan untuk menunda atau menghentikan eksekusi suatu perkara. Salah satu kasus berkaitan dengan ‘surat sakti’, yakni dalam kasus PT PLN ketika bersengketa dengan PT Enico National Development (Enico) sekira tahun 1998.

Kelima, pemalsuan vonis. Bocornya putusan MA berdasarkan catatan ICW bisa terjadi pada tukang pembawa berkas di lorong-lorong antar ruang hakim agung. Tukang pembawa berkas bisa berhenti sebentar untuk meng-copy putusan. Kasus seperti ini jarang terdengar lagi di MA.

Keenam, vonis yang tidak bisa dieksekusi. Pola ‘memandulkan’ vonis merupakan celah korupsi yang tidak hanya melibatkan hakim agung di MA tetapi juga hakim di tingkat pengadilan negeri. Untuk diketahui, suatu perkara yang menang di tingkat kasasi, pihak pengadilan negeri lah yang akan melakukan eksekusi.

Modus seperti ini menunjukkan bahwa kemenangan ‘di atas kertas’ benar adanya. Sebagai gambaran, vonis kasasi yang memenangkan salah satu pihak menjadi tidak bisa dieksekusi karena pihak lawan mengajukan kembali gugatan dalam perkara yang sama dan bahkan dengan objek yang sama pula.
Tags:

Berita Terkait