Menurut Pemerintah, Nota Pemeriksaan Pegawai Bersifat Rahasia
Berita

Menurut Pemerintah, Nota Pemeriksaan Pegawai Bersifat Rahasia

Terjadi dalam kasus nota pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan. Disampaikan di ruang sidang MK.

ASH
Bacaan 2 Menit
Staf Ahli Menkominfo Bidang Ekonomi, Sosial, Budaya, Joko Agung Haryadi saat menyampaikan pandangan pemerintah dalam pengujian UU KIP di gedung MK, Senin (28/3). Foto: Humas MK
Staf Ahli Menkominfo Bidang Ekonomi, Sosial, Budaya, Joko Agung Haryadi saat menyampaikan pandangan pemerintah dalam pengujian UU KIP di gedung MK, Senin (28/3). Foto: Humas MK
Pemerintah menegaskan Nota Pemeriksaan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan (PPK) merupakan dokumen yang harus dirahasiakan sesuai Pasal 5 UU No. 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya UU Pengawasan Perburuhan No. 23 Tahun 1948. Ini juga sejalan dengan Pasal 17 huruf j UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Undang-Undang memuat antara lain ketentuan tentang informasi yang tidak boleh diungkap kepada publik karena bersifat rahasia.

Pasal 2 ayat (4) UU KIP menegaskan informasi publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan Undang-Undang, kepatutan, dan kepentingan umum, didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah dipertimbangkan dengan saksama bahwa menutup informasi publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya, atau sebaliknya.

Rumusan inilah yang dijadikan argumentasi oleh Pemerintah. “Berlakunya Pasal 2 ayat (4) UU KIP justru untuk melindungi kepentingan publik yang lebih besar dengan cara menutup informasi publik yang harus dirahasiakan atau ditutup,” ujar Staf Ahli Menkominfo Bidang Ekonomi, Sosial, Budaya, Joko Agung Haryadi saat menyampaikan pandangan pemerintah dalam pengujian UU KIP di gedung MK, Senin (28/3).

Tidak demikian halnya bagi sejumlah pekerja di Kabupaten Karawang, Bogor, dan Bekasi. Agus Humaedi Abdillah, Muhammad Hafidz, Solihin, dan Chairul Eillen Kurniawan, para pekerja dimaksud, mempersoalkan Pasal 2 ayat (4) UU KIP ke Mahkamah Konstitusi. Alasannya, para pemohon merasa terhalangi memperoleh Nota Pemeriksaan PPK. Akibat berlakunya pasal itu Dirjen Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan menerbitkan Surat No. B.20/PPK/I/2014 tanggal 23 Januari 2014.

Surat itu ditujukan ke Kepala Dinas Tenaga Kerja Provinsi, Kabupaten/Kota seluruh Indonesia yang mengkualifikasi Nota Pemeriksaan sebagai dokumen rahasia sesuai kepatutan dan kepentingan umum. Dengan begitu, Nota Pemeriksaan PPK tidak mungkin dimililki pekerja sebagai akibat titel rahasia. Alhasil, Para Pemohon tidak mengetahui informasi peralihan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT).

Padahal, lewat pengujian frasa “demi hukum” Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), Pasal 66 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, MK memaknai proses peralihan pekerja dengan PKWT menjadi PKWTT harus melalui penetapan pengadilan negeri setelah memenuhi syarat-syarat tertentu. Putusan ini jaminan hak pekerja termasuk pemohon untuk dapat mengajukan pengesahan Nota Pemeriksaan tersebut ke pengadilan. Karena itu, Para Pemohon meminta MK memaknai pasal itu agar informasi publik yang dikecualikan dan bersifat rahasia dapat digunakan sepanjang sebagai syarat proses penegakkan hukum.

Joko melanjutkan Pasal 2 ayat (4) UU KIP sebenarnya ditujukan agar keberadaan Nota Pemeriksaan PPK tersebut tidak berpotensi menghambat proses hukum selanjutnya. Sebab, hakikatnya Nota Pemeriksaan PPK berisi temuan-temuan ketidaksesuaian dalam perusahaan sekaligus perintah perbaikan-perbaikan yang bersifat perdata atau pun pidana. “Apabila perusahaan tidak patuh, bisa diselesaikan melalui mekanisme penyelesaian hubungan industrial atau pidana ketenagakerjaan,” ujar Joko menjelaskan.

Dia tegaskan keberadaan UU KIP prinsipnya setiap informasi publik bersifat terbuka dan dapat diakses setiap pengguna infomasi publik. Namun, informasi publik ada yang dikecualikan bersifat ketat dan terbatas. Adapun informasi publik yang dikecualikan ini bersifat rahasia sesuai UU, kepatutan, dan kepentingan umum yang menutup informasi itu dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya.“Jadi tidak benar Pasal 2 ayat (4) UU KIP menghalang-halangi hak konstitusional Para Pemohon,” kata dia.

Menurutnya, Pasal 2 ayat (4) UU KIP ini sama sekali tidak terkait isu konstitusionalitas berlakunya norma, tetapi menyangkut implementasi norma UU KIP, sehingga pengujian UU KIP bukan kewenangan MK. Justru, berlakunya pasal itu memberi keseimbangan antara kepentingan masyarakat untuk mendapatkan informasi dengan kepentingan negara untuk merahasiakan informasi guna menjaga hak orang lain sesuai amanat Pasal 28J UUD 1945.

“Menyatakan Pasal 2 ayat (4) UU KIP tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28F UUD 1945,” harapnya.
Tags:

Berita Terkait