Sejumlah Persoalan dalam RUU Jabatan Hakim
Berita

Sejumlah Persoalan dalam RUU Jabatan Hakim

Kekuatan hakim bukan terletak pada status pejabat negara atau bukan, tetapi pada independensinya.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Diskusi RUU Jabatan Hakim di Gedung DPR, Selasa (29/3). Foto: RFQ
Diskusi RUU Jabatan Hakim di Gedung DPR, Selasa (29/3). Foto: RFQ
Rancangan Undang-Undang (RUU) Jabatan Hakim masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2016. Sejumlah isu penting dalam RUU Jabatan Hakim menjadi sorotan. Tak saja kalangan hakim, publik pun cukup memberikan perhatian terhadap aturan yang mengatur ‘Wakil Tuhan’.

Anggota Komisi III Arsul Sani mengatakan, setidaknya terdapat tiga isu penting dalam RUU Jabatan Hakim. Pertama, perihal status hakim. Arsul berpandangan selama ini pejabat negara yang diberlakukan terhadap hakim hanyalah hakim agung di Mahkamah Agung. Berbeda halnya dengan hakim di pengadilan tingkat pertama dan banding. Menjadi hal wajar ketika hakim di tingkat pertama dan banding meluapkan aspirasinya agar ada persamaan status sebagai pejabat negara.

Namun, Arsul berpendapat keberadaan hakim ad hoc menjadi pembahasan penting di internal Komisi III. Menurutnya, ketika hakim ad hoc menangani sebuah perkara korupsi misalnya, dalam satu majelis terdiri dari 2 hakim tetap dan 3 hakim ad hoc menjadi pembahasan mendalam dalam internal komisi.

Ia menilai bila hakim mulai di tingkat pertama, ad hoc dan hakim agung menjadi pejabat negara mesti berimbang dengan kemampuan anggaran negara. “Berarti kalau hakim dari tingkat satu sampai hakim tinggi sebagai pejabat negara akan ada sekitar 7.500 hakim sebagai pejabat negara,” ujarnya dalam sebuah diskusi bertajuk ‘RUU Jabatan Hakim’ di Gedung DPR, Selasa (29/3).

Kedua, terkait dengan aturan rekrutmen, promosi, mutasi hingga hak pensiun seorang hakim. Menurut Arsul, hal tersebut masuk dalam cluster management profesi hakim. Komisi III menurut Arsul telah mendapat masukan dari para hakim muda. Masukan tersebut menjadi pertimbangan dalam melakukan pembahasan RUU Jabatan Hakim nantinya.

Ketiga, terkait dengan pengawasan kinerja hakim. Dikatakan Arsul, evaluasi dan pengawasan dilakukan terhadap hakim agung di Mahkamah Agung. Gagasan tersebut pun sudah mulai menjadi bahan diskusi di internal komisi. Menurutnya, hakim agung merupakan pejabat negara. “Maka harus dievaluasi per lima tahunan,” ujarnya.

Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu menilai, sayangnya ketika calon hakim agung lolos seleksi dan menjadi hakim agung di usia 50 tahun misalnya, drastis tak ada evaluasi hingga masa pensiun. Oleh sebab itu, diperlukan instrumen kuat dalam melakukan pengawasan terhadap hakim agung.

“Kita tidak pernah tahu evaluasi hakim agung. Kalau Prof Gayus Lumbun kita bisa tahu, beliau sering berbicara dengan pemikirannya dan menulis buku. Tapi hakim agung yang lain, menulis tidak, bicara pun tidak di depan publik, paling cuma nulis pertimbangan hukum di putusan,” ujarnya.

Di Tempat yang sama, Hakim Agung Prof Gayus Lumbun berpendapat kedudukan hakim ad hoc dalam RUU Jabatan Hakim memang perlu diperjelas sebagai pejabat negara, atau sebaliknya. Kejelasan status hakim ad hoc pun perlu dibuat terang benderang agar adanya kesetaraan. Sebab beban yang ditanggung seorang hakim ad hoc terbilang banyak.

Terkait dengan hakim sebagai pejabat negara, Gayus mengaku tak merasakan hal tersebut. Mestinya, kata Gayus, semua yang berprofesi sebagai seorang hakim berstatus pejabat negara. Soal kemampuan anggaran negara, menjadi ranah pemerintah. Namun akhirnya, sebagai yudikatif menyerahkan sepenuhnya kepada pembuat UU.

“RUU Jabatan hakim menjadi mengikat dari hakim biasa sampai hakim agung,” ujar mantan anggota Komisi III dari Fraksi PDIP di keanggotaan DPR periode 2005-2009 itu.

Pengamat Hukum Tata Negara (HTN) Margarito Kamis berpandangan status hakim sebagai pejabat negara perlu diatur secara gamblang. Begitu pun lama waktunya seorang hakim bertugas di daerah. Terlepas dari hal tersebut, Margarito menilai RUU Jabatan Hakim perlu menekankan pada tata kelola manajemen penanganan perkara.

“Kekuatan hakim bukan terletak pada status pejabat negara atau bukan, tetapi pada independensinya,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait