Perlu Ada yang Mengatur Pembinaan dan Manajemen SDM Hakim
Berita

Perlu Ada yang Mengatur Pembinaan dan Manajemen SDM Hakim

Itu sebabnya diperlukan RUU Jabatan Hakim yang nantinya bisa disahkan menjadi undang-undang.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi profesi hakim. Foto: SGP
Ilustrasi profesi hakim. Foto: SGP
Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Jabatan Hakim menjadi pusat perhatian bagi kalangan profesi hakim. RUU tersebut diharapkan mampu menjawab segala persoalan mulai aturan status pejabat negara beserta implementasinya hingga manajemen hakim. Hal ini disampaikan Ketua I Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Suhadi, di Gedung DPR, Selasa (16/2).

“RUU ini harus ada jalan keluarnya, detailnya harus ada,” ujarnya.

Aturan status jabatan hakim sebagai pejabat negara sebenarnya sudah dituangkan dalam Pasal 19 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Namun, Suhadi berpendapat realisasi di lapangan tak kunjung terlaksana. Bila hakim sebagai pejabat negara, idealnya terdapat aturan pelaksananya.

“Sampai lima tahun tidak ada aturan pelaksananya. Itu mandul UU-nya. Memang dari dulu UU Kepegawaian mengatakan hakim pejabat negara, UU kekuasaan kehakiman juga menyebutkan hakim pejabat negara, tapi realisasinya belum ada,” ujarnya.

Suhadi yang juga Juru Bicara Mahkamah Agung itu berpandangan, ketika persoalan rekrutmen hakim untuk kemudian diusulkan ke presiden mesti mengantongi sertifikasi pendidikan hakim. Selain itu, pendidikan hakim selama 2 tahun 6 bulan. Menjadi persoalan ketika hakim sebagai pejabat negara dan bukan aparatur sipil negara tidak menjadi kewenangan Kementerian Pendayagunaan Aparatur dan Negara Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) untuk melakukan rekrutmen.

“Mahkamah Agung mau minta ke mana kuota calon hakim ini, tidak ada yang bisa menjawab. Badan Kepegawaian Negara (BKN) bilang ini bukan nomenklatur kami karena bukan ASN lagi. Pergi ke Kemenkeu, kami tidak bisa berikan kuota. Sampai sekarang ‘tergantung’,” sesalnya.

Dikatakan hakim agung ini, kejelasan status pejabat negara terhadap hakim dimulai dari rekrutmen calon hakim hingga pensiun mesti terdapat aturan pelaksanaan. Berkaca dari UU tentang Kekuasaan Kehakiman, RUU Jabatan Hakim nantinya diharapkan mampu menjawab berbagai tantangan dan persoalan yang dihadapi profesi hakim.

Meski belum mengantongi draf resmi DPR, Suhadi memiliki harapan besar agar RUU Jabatan Hakim mengakomodir kepentingan profesi hakim dalam rangka menjalankan tugas dan kewenangan sebagai ‘wakil Tuhan’. “Kita lihat draf resminya dulu. Kan ini inisiatif DPR, juga ada masukan dari IKAHI, Komisi Yudisial dan sebagainya. Dan kita belum pernah diundang,” katanya.

Terpisah, peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), Della Sri Wahyuni, berpendapat UU Kekusaan Kehakiman memang mengukuhkan status hakim sebagai pejabat negara. Sayangnya, pembinaan sumber daya manusia hakim tidak diatur. Dikatakan Della, persoalan status hakim acapkali dipandang dari aspek hak dan fasilitas yang diterima hakim.

Padahal persoalan tersebut bagian dari permasalahan yang jauh lebih besar, yakni konsekuensi jabatan terhadap pembinaan manajemen SDM hakim. “Di titik inilah penting adanya RUU Jabatan Hakim yang mengatur secara khusus jabatan hakim, tetapi mengatur bagaimana seharusnya SDM hakim dikelola,” ujarnya.

Pasal 4 RUU Jabatan Hakim memang mengatur status hakim sebagai pejabat negara. Pejabat negara dimaksud tentu merujuk pada UU No.5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Menjadi persoalan, kata Della, ketika peraturan perundangan di bidang kepegawaian tidak memberikan batasan definitif tentang pejabat negara. Sebab, karakteristik pejabat negara berbeda dengan karakteristik hakim.

Terlepas itu, persoalan penting dari RUU Jabatan Hakim adalah agar DPR dan pemerintah fokus pada hal pembinaan dan manajemen SDM hakim. Tentunya pembinaan yang sesuai dengan karakteristik jabatan, tanpa pula menciderai prinsip independensi profesi hakim itu sendiri.

Tags:

Berita Terkait