Iuran Naik, BPJS Masih Terancam Defisit
Berita

Iuran Naik, BPJS Masih Terancam Defisit

Potensi defisit Rp7 triliun. Pemerintah perlu siapkan dana tambahan.

ADY
Bacaan 2 Menit
Pelayanan BPJS Kesehatan di RS Fatmawati Jakarta. Foto: RES
Pelayanan BPJS Kesehatan di RS Fatmawati Jakarta. Foto: RES
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 19 Tahun 2016  tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan, diundangkan 1 Maret 2016. Beleid itu direvisi lewat Peraturan Presiden No. 28 Tahun 2016 tentang Perubahan Ketiga Atas Perpres No. 12 Tahun 2013  tentang Jaminan Kesehatan, diundangkan 31 Maret 2016.

Perpres No. 19 Tahun 2016 mengatur adanya penyesuaian besaran iuran untuk peserta penerima bantuan iuran (PBI), peserta bukan penerima upah (PBPU) dan kenaikan batas atas upah. Iuran PBI naik dari Rp19.225 jadi Rp23.000, PBPU ruang perawatan kelas 1 disesuaikan jadi Rp80 ribu (sebelumnya Rp59.500), kelas 2 Rp51 ribu (sebelumnya Rp42.500) dan kelas 3 Rp30 ribu (sebelumnya Rp25.500). Terbitnya Perpres No. 28 Tahun 2016 merevisi kenaikan iuran untuk PBPU dari Rp30 ribu menjadi Rp.25.500.

Dirut BPJS Kesehatan, Fachmi Idris, mengatakan Perpres No. 19 Tahun 2016 dan Perpres No. 28 Tahun 2016 berdampak pada program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang diselengarakan BPJS Kesehatan. Saat ini BPJS Kesehatan masih mendalami proyeksi pelaksanaan JKN pasca terbitnya regulasi tersebut.

Fachmi menjelaskan, DJSN sejak awal sudah menghitung besaran iuran minimal untuk PBI yakni Rp27.500 dan tahun 2016 minimal Rp36 ribu. Namun pemerintah hanya mampu membiayai PBI tahun 2014-2015 sebesar Rp19.225 dan tahun 2016 Rp23 ribu. Ini menunjukkan  ketidaksesuaian antara penghitungan secara aktuaria dengan anggaran yang mampu dialokasikan pemerintah.

Menurut Fachmi iuran bukan satu-satunya sumber pendapatan yang bisa diperoleh BPJS Kesehatan. Hasil investasi dana bisa digunakan untuk dialokasikan ke dana jaminan sosial (DJS). Selain itu, Pemerintah juga bisa mengalokasikan dana tambahan BPJS Kesehatan. Tahun lalu, dana tambahan yang diberikan Rp5 triliun.

“Pemerintah sangat berkomitmen terhadap program JKN/KIS yang diselenggarakan BPJS Kesehatan,” katanya dalam jumpa pers di kantor BPJS Kesehatan di Jakarta, Rabu (13/4).

Direktur Perencanaan dan Pengembangan BPJS Kesehatan, Mundiharno, menyebut perbedaan penghitungan aktuaria dengan realisasi besaran iuran yang ditetapkan membuat BPJS Kesehatan belum bisa lepas dari potensi defisit. “Masih ada potensi defisit sekitar Rp7 triliun karena besaran iuran yang ditetapkan dalam Perpres lebih rendah dari penghitungan aktuaris,” paparnya.

Mundiharno menjelaskan penghitungan aktuaris terhadap besaran iuran PBPU kelas 3 yaitu Rp36 ribu sedangkan Perpres hanya menetapkan Rp31 ribu. Kemudian, PBPU kelas 2 mestinya Rp63 ribu tapi pemerintah mengatur Rp51 ribu dan kelas 3 harusnya Rp36 ribu direvisi lewat Perpres No. 28 Tahun 2016 jadi Rp25.500. Lalu peserta penerima upah (PPU) sesuai hitungan aktuaria mestinya prosentase besaran iurannya 6 persen tapi saat ini ditetapkan hanya 5 persen. batas atas upah diusulkan 6 kali PTKP tapi sekarang ditetapkan Rp8 juta. “Ini memicu potensi defisit,” jelasnya.

Direksi Keuangan dan Investasi BPJS Kesehatan, Kemal Imam Santoso, mengatakan strategi investasi yang digunakan BPJS Kesehatan berguna menjaga keberlanjutan program JKN/KIS. Penekanan instrumen investasi yang disasar ada pada likuiditas. “Tujuan kami agar BPJS Kesehatan sanggup membayar klaim kepada fasilitas kesehatan (faskes),” urainya.

Kemal menegaskan sesuai peraturan yang berlaku BPJS Kesehatan hanya bisa menginvestasikan dana badan, bukan DJS. Tahun 2014 imbal hasil (yield) yang diterima BPJS Kesehatan dari hasil investasi cukup baik yakni 15 persen. Tahun 2015 imbal hasilnya menurun karena dana investasi dialokasikan guna memperkuat DJS. Tahun 2016 ditargertkan imbal hasil yang diterima BPJS Kesehatan minimum 1 persen di atas BI rate.
Tags:

Berita Terkait