IDI Ancam Pecat Dokter Eksekutor Sanksi Kebiri
Utama

IDI Ancam Pecat Dokter Eksekutor Sanksi Kebiri

MKEK dan IDI tidak setuju dokter jadi eksekutor pelaksanaan sanksi kebiri karena itu melanggar sumpah dokter dan kode etik.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Siaran Berita PB IDI terkait Perppu Kebiri. Foto: RZK
Siaran Berita PB IDI terkait Perppu Kebiri. Foto: RZK
Penjatuhan sanksi tambahan terhadap pelaku kejahatan seksual anak berupa kebiri kimia sebagaimana amanat Perppu No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak masih menuai kontroversi. Kali ini muncul dari organisasi profesi kedokteran yakni Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Majelis Kehormatan dan Etik Kedokteran (MKEK).

Ketua Umum IDI, Ilham Oetama Marsis, mengaku telah meminta fatwa kepada MKEK terkait wacana yang berkembang di masyarakat seolah-olah eksekutor sanksi kebiri kimia sudah pasti dokter. MKEK menerbitkan fatwa yang intinya agar dokter tidak menjadi eksekutor sanksi kebiri kimia.

Oetama mengatakan organisasi yang dipimpinnya akan menyebarkan fatwa itu kepada seluruh dokter di Indonesia agar dilaksanakan. Secara organisasi IDI mendukung penghukuman berat terhadap pelaku kekerasan seksual pada anak. Namun, dokter tidak akan menjadi pihak yang melakukan eksekusi kebiri kimia kepada pelaku karena itu bertentangan dengan etik dan disiplin profesi kedokteran yang berlaku internasional.

IDI mendorong keterlibatan dokter dalam rehabilitasi korban dan pelaku. Itu harus menjadi prioritas guna mencegah dampak buruk trauma fisik dan psikis yang dialami. Rehabilitasi terhadap pelaku dibutuhkan agar kejadian serupa tidak terulang lagi. Proses rehabilitasi ini membutuhkan penanganan komprehensif dan melibatkan banyak disiplin ilmu. “Dalam kode etik kedokteran, tugas seorang dokter itu menyembuhkan pasien, bukan melakukan penghukuman yang membuat pasien menderita. Tindakan kebiri itu bertentangan dengan kode etik kedokteran,” kata Oetama dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (09/6).

Menurut IDI, hingga kini belum ada bukti ilmiah yang menunjukkan kebiri kimia menjamin berkurangnya hasrat serta potensi perilaku kekerasan seksual pelaku. Oleh karenanya IDI mengusulkan agar dicari bentuk hukuman lain sebagai sanksi tambahan.

Ketua MKEK, Prijo Sidipratomo, menegaskan dokter hanya berkeyakinan teguh dan konsisten pada sumpah profesinya yakni sumpah dokter. Dokter bertugas menyembuhkan orang sakit, mengurangi rasa sakit dan meringankan penderitaan pasien. Dokter tidak boleh melakukan tindakan semena-mena terhadap tubuhnya sendiri atau orang lain. Itu tercantum dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) Tahun 2012. “Tidak ada ketentuan dalam etik kedokteran yang membolehkan dokter mencederai orang lain ,” ujar Prijo.

Semua dokter yang bekerja di instansi manapun baik sipil dan militer harus melaksanakan kode etik dan sumpah dokter secara konsisten. Prijo mengatakan dalam sumpah dokter ada ketentuan yang menyatakan dokter tidak akan menggunakan pengetahuannya untuk melawan kemanusiaan sekalipun dalam ancaman.

Prijo menegaskan bagi dokter yang melanggar kode etik dan sumpah dokter serta terbukti melakukan pelanggaran kategori berat maka organisasi profesi akan menjatuhkan sanksi yakni mengeluarkan dokter yang bersangkutan dari organisasi dan profesinya. “Kalau sanksi itu sudah dijatuhkan berarti orang tersebut bukan lagi seorang dokter,” tegasnya.

Proses pemecatan dokter dari profesi dan organisasinya itu melewati tahap berupa persidangan di MKEK. Jika dalam persidangan terbukti melakukan pelanggaran berat maka IDI akan menerbitkan penetapan yang menyatakan orang yang bersangkutan dikeluarkan dari organisasi dan profesi dokter.

Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Andrologi Indonesia, Wimpie Pangkahila, mengatakan kebiri kimia biasanya dilakukan dengan cara menyutikan anti androgen atau testosteron dalam tubuh seseorang. Setelah disuntik rutin dalam waktu 4 bulan gairah seksual pasien akan turun dalam sementara waktu. Namun, gairah seksual itu akan kembali normal saat suntikan anti testosteron itu dihentikan.

Wimpie menjelaskan gairah seksual di tubuh manusia bukan saja disebabkan oleh hormon testosteron tapi juga fisik dan psikis. Dalam jangka panjang, kebiri kimia itu berdampak negatif terhadap pasien seperti tulang keropos, anemia dan ganguan fungsi kognitif. Dengan begitu kualitas hidup pasien akan berkurang dan fisiknya cepat tua.

Beberapa negara diantaranya Amerika Serikat (AS) menggunakan sanksi kebiri, tapi itu sifatnya pilihan. Wimpie menyebut sampai saat ini belum diketahui secara jelas di negara yang menggunakan sanksi kebiri apakah hukuman itu sudah diimplementasikan atau belum.

Ketimbang menjatuhkan sanksi tambahan berupa kebiri kimia, Wimpie mengusulkan agar sanksi terhadap pelaku kejahatan seksual pada anak diperberat. Kebiri akan memberi dampak buruk terhadap pasien dalam jangka panjang. Selain itu pasien atau keluarganya bisa menuntut dokter yang telah memberikan suntikan kebiri karena memberi dampak negatif terhadap kesehatan.

Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, Danardi Sosrosumihardjo, melihat pelaku kejahatan seksual pada anak sebagian besar dilakukan oleh orang yang mengalami gangguan kejiwaan yang disebut pedofilia.Faktor yang mendorong pengidap pedofilia melakukan kekerasan seksual kepada anak bukan saja dipengaruhi hormon tapi juga ganguan kepribadian, penyalahgunaan zat dan mental.

Atas dasar itu Danardi yakin kebiri kimia tidak akan efektif untuk memberikan efek jera guna mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap anak. “Penanganannya harus komprehensif, bukan sekadar kebiri kimia,” urainya.
Tags:

Berita Terkait